Sutejo
Ponorogo Pos
Sejak mahasiswa tingkat S1, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah ini sudah rajin menulis. Awalnya dia menulis sajak dan puisi yang dimuat majalah Time. Berangkat dari kelompok diskusi mulailah dia menulis artikel di berbagai media massa, dan buku pertama yang diterbitkan adalah tesis dan disertasinya. Hingga kini –paling tidak- telah menghasilkan 18 judul.
Menulis bagi Azyumardi menebarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dia tidak pernah memikirkan pendapatan yang dihasilkan dari menulis buku. Bahkan, dia tidak pernah tahu berapa royalti yang dia dapatkan ataupun eksemplar bukunya yang terjual. “Bagi saya, begitu selesai menulis, saya tidak memikirkan hal lain lagi, bahkan saya tidak pernah tahu persis honor yang saya terima dari hasil menulis kolom atau artikel,” ujar ayah empat anak ini.
Keseriusan dalam menulis menyebabkan dia mendapat penghargaan Buku Utama dari Yayasan di bawah naungan Depdiknas tahun 2000, buku berjudul Renaisans Islam di Asia Tenggara mendapat penghargaan karya terbaik dalam bidang humaniora dan ilmu sosial. Tahun 2002 ia mendapat penghargaan dari Mizan sebagai penulis paling produktif dan mendapat hadiah sebesar Rp 10 juta. Akan tetapi, jika dia harus menghitung, tentu saja honor menulis buku sama sekali ti¬dak menutupi biaya yang harus dia keluarkan untuk menghasilkan buku tersebut. “Saya harus riset, kadang membutuhkan waktu lama.” ujarnya.
Nah, dari pengakuan Azyumardi demikian, apa yang dapat dipetik? Pertama, menulis itu membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan untuk melakukan research -yang tentu- biayanya tidak sedikit. Di samping, pengorbanan waktu untuk meluangkan setiap saat. Menulis, dengan begitu, membutuhkan kerelaan untuk memfasilitasi, memberikan ruang, dan apa pun untuk memfasilitasi ide penulisan. Dalam banyak kasus menulis perlu mengumpulkan bahan, baik itu melalui penelitian ataupun dari berbagai sumber referensi yang memadai. Di sinilah, tergambar bagaimana menulis sesungguhnya membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Permasalahannya adalah bagaimana untuk kita yang pemula? Sebab, permodalan seringkali menjadi hambatan utamanya. Berbagai sumber bisa diakses gratis, katakanlah lewat internet, perpustakaan daerah, atau boleh jadi pinjam. Jika ini yang kita lakukan hal penting yang dapat dilakukan adalah membuat kartu kutipan yang akan berisi hal-hal penting dari berbagai sumber bacaan terperoleh.
Kedua, sebaiknya menulis tidak usah mempertimbangkan berapa honor yang kita terima, tetapi pada tingkat kepuasan dan keinginan untuk berbagi ilmu pengetahuan. Sebuah idealisme kepenulisan yang luar biasa, yang dapat dicontoh oleh siapa pun kita. Meskipun, sesungguhnya menulis juga dapat dipergunakan untuk mencari uang tetapi bagi Azyumardi hal itu dinomorduakan karena komitmen keinginan berbagi. Penulisan buku, misalnya, memang dapat menjadi jariyah bagi penulisnya. Hal ini, sebagaimana Steven Covey, pengarang buku Eight Habits, yang pernah mengatakan bahwa orang harus punya sesuatu yang bisa diwariskan setelah mati selain nama. Covey bilang, “Apa sih yang ingin orang ucapkan tentang kamu di depan makam kamu. Cuma nama saja, atau kamu ingin diumpat sebagai penjahat, atau diingat karya-karyanya atau pemikirannya?”
Keinginan berbagi, ini sebenarnya tidak saja bagi Azyumardi tetapi juga Rhenald Kasali. Bagi Rhenald Kasali, misalnya, bisa menulis buku itu satu anugerah, suatu kebanggaan yang tidak terhingga lantaran penulisnya meninggalkan warisan pemikiran kepada orang lain. Di sinilah, makna terpenting dari hal yang dapat kita petik dari Azyumardi yang dalam bahasa Rhenald dimaknakan sebagai anugerah. Bagaimana dengan kita? Berbagi pengalaman lewat tulisan tentunya akan menjadi forum komunikasi positif yang ujungnya mewariskan pengalaman pada orang lain.
Ketiga, membiasakan menulis sejak kecil sangat bermanfaat bagi kepenulisan selanjutnya. Di sinilah, menariknya andai kita mau membiasakan menulis sejak dini. Jika kita belajar dari Azyumardi, paling tidak, ketika kuliah di perguruan tinggi, penting untuk mengembangkan kepenulisan itu. Usia mahasiswa boleh jadi usia produktif secara intelektual, karena itu, jika kita ingin mengembangkannya masa-masa ini adalah “masa emas” yang penting diselamatkan.
Pelatihan yang dapat dilakukan sejak dini adalah membiasakan untuk (a) memiliki buku harian, (b) latihan mengungkapkan gagasan secara tertulis, (c) mencatat hal-hal penting yang ditemukan, (d) merespon pikiran orang lewat tulisan, (e) memberikan komentar kritis atas realita yang terjadi, (f) membuat laporan hasil kunjungan, dan (g) menulis feature hasil perjalanan, ilmu pengetahuan, maupun ketokohan. Dalam pelatihan ini, mengingatkan kita akan kiat yang dilakukan Maman S Mahayana dalam melatihkan kepenulisan kepada para mahasiswa dengan berbagai kegiatan kecil: mendeskripsikan tokoh, melukiskan peristiwa, menggambarkan tempat, merangkaikan peristiwa, dan seterusnya.
Keempat, jangan remehkan puisi. Kalau Azyumardi mengawali kepenulisannya lewat puisi yang dimuat di majalah Time maka makna yang dapat ditarik adalah dengan menulis puisi (a) kita melatih empati, (b) menuangkan ekspresi, dan (c) mengorganisasi “potongan-potongan” ekspresi. Dalam teori menulis kreatif, sebenarnya, menulis puisi relatif lebih sulit dibandingkan dengan menulis popular. Pengalaman Azymardi menjadi unik dan menarik untuk direnungkan.
Menulis puisi pada tahap awal biasanya berpusar pada masalah cinta dan kemanusiaan. Ungkapan remaja dan mahasiswa yang sedang kasmaran, misalnya, dapat dijadikan media awal latihan itu. Banyak penulis yang mengawali darinya. Untuk itu, jangan malu ketika kita arif belajar dari pesan Azyumardi ini.
Dalam pengalamannya yang mengesankan bagi saya adalah (a) bagaimana Azyumardi mendampingi tulisan-tulisan yang dihasilkan mahasiswanya, (b) mengoreksi, dan (c) memberikan rekomendasi untuk dikirimkan ke media tertentu yang cocok. Pengorbanan seorang Azyumardi, karenanya, adalah contoh keteladanan intelektual yang menarik untuk dibudidayakan di masyarakat kita. Dalam kasus ini, akan menjadi wahana penting dalam belajar menulis.
Akhirnya, belajar dari pengalaman Azyumardi itu ada baiknya kita bertanya: maukah kita menulis? Mengorbankan waktu dan finansial untuk berbagi ilmu? Jika kita ingin dikenang dalam sejarah peradaban manusia, maka menulis tentu akan menjadi pilihan yang harus dilakukan. Mudah-mudahan.
***
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2008/11/belajar-menulis-dari-azyumardi-azra/
Minggu, 14 Oktober 2012
BELAJAR MENULIS DARI AZYUMARDI AZRA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar