Sutejo
Kompas, 2 Jan 1996
Mengapa dalam novel-novel Indonesia wanita sering dipotret sebagai
sosok yang lemah? Sosok yang tidak berdaya oleh kultur dan budaya
masyarakat, kesadaran dan daya hidup yang lemah, atau hanya sebagai
subordinat laki-laki.
Gambaran demikian seringkali menimbulkan kecemburuan kaum wanita
manakala membaca novel-novel Indonesia. Bahkan, tak jarang potret wanita
dalam novel kita diformulasikan sebagai hiasan dan alat imaji seksual.
Gejala menarik ini tampaknya tidak saja terjadi pada genre novel, tetapi
cerita pendek. Meski demikian, tak boleh dipandang sebagai sastra
demikian sebagai asusila.
Umar Kayam pernah menyarankan bahwa karya sastra yang mengandung
unsur seks sesekali pun tidak boleh kita pandang melanggar kesusilaan,
bila dia didukung oleh ide yang baik, dipersiapkan dengan mendalam dan
matang, dan memberikan pengertian tentang kehidupan dan kemanusiaan.
Dalam novel-novel kitsc Indonesia pun wanita berpose dalam
gambar yang tidak berbeda. Novel-novel Ike Supomo, Mira W, dan Marga T,
dapat dijadikan contoh. Bahkan, barangkali wanita dalam novel-novel kitsch Indonesia
sebagian besar adalah sosok yang tak berdaya, hiasan imajinasi, dan
bahkan menjadi korban yang tak dipihaki. Wanita-wanita seperti Miranti-nya Ike Supomo dalam Kabut Sutera Ungu dan Karmila-nya Marga T. adalah sedikit contoh. Dari novel pertama tampak, bagaimana Miranti
yang menjadi korban dari sesat persepsi masyarakat, atau lebih tepatnya
pemikiran masyarakat yang tidak adil terhadap potret janda Miranti. Sedangkan, Karmila adalah figur wanita yang gagal akibat makhluk bernama modernitas yang mengorbankan nilai etika dan moral.
Agenda sastra kita (khususnya novel), menunjukkan keberpihakannya
pada laki-laki. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pihak
berpendapat, diskursus literer sastra kita masih didominasi oleh
keberadaan wanita yang terkalahkan, baik psikologis maupun
sosiokulturalnya.
Gejala ini terjadi bukan saja pada ‘’sastra sejati’’ tetapi juga apa yang sering disebut orang dengan kitsch. Karya awal novel Indonesia, Azab dan Sengsara-nya Merari Siregar memotret sosok Maria Amin yang tidak merdeka, bahkan mengalami ‘’kesengsaraan’’. Demikian halnya, manakala kita membaca novel Bekisar Merah-nya Ahmad Tohari, tak luput dengan ‘’kesengsaraan’’ wanita yang bernama Lasi. Potret ‘’kesengsaraan’’ wanita seperti ini juga dapat kita telusuri pada trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala-nya.
Lasi dalam Bekisar Merah, bercerita tentang wanita
yang terkemas dan dilingkupi oleh budaya global, sebuah budaya
‘’modern’’ yang berwajah pembangunan, sehingga Ismet N.M. Haris,
menyebutnya sebagai ‘’wanita di persimpangan jalan’’. Namun sebenarnya, Lasi dalam Bekisar Merah lebih afdol
jika kita sebut dengan ‘’wanita sengsara’’. Karena begitu sulitnya
tokoh bertarung dengan wajah kemiskinan, gunjingan masyarakat, sampai
pemberontakannya yang tidak mau ‘’dikelasduakan’’ dari laki-laki. Dan
ini, tentu sebuah tantangan besar sebagai stereotip wanita Jawa yang selalu disubordinatkan laki-laki.
Wanita dalam kadar ‘’kesengsaraan’’ yang berbeda juga terjadi pada trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang telah mendahuluinya. Liku-liku dan makna ‘’ketidakberdayaan’’ dalam melawan kultur adat Ronggeng Dukuh Paruk, yang menyudutkan Srintil di lembah sengsara.
Potret wanita dengan ragam kesengsaraannya, juga akan kita temukan pada Siti Nurbaya (Marah Rusli), atau Belenggu (Armin Pane), atau pun Layar Terkembang-nya
Sutan Takdir Alisyahbana. Makna ‘’kesengsaraan’’ itu dapat ditelusuri
pada pemberontakan Nurbaya, Tini, dan Tuti, yang paralel dengan ide
gerakan emansipasi Kartini yang harus bertarung dengan kuatnya adat dan
budaya masyarakat.
Nurbaya, dalam roman Siti Nurbaya adalah sentral wanita yang
menjadi korban dari tradisi, dogma, adat, agama, dan bangsa. Meskipun
Nurbaya mampu protes, tapi justru jadi pelengkap ‘’kesengsaraannya’’.
Berontaknya, ‘’Dari Tuhan kita telah mendapat halangan, yaitu dalam hal
mengandung, dan menjaga anak sehingga tiada dapat melawan laki-laki,
tentang apa pun; agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab
laki-laki diizinkan beristri sampai empat, tetapi perempuan ke luar
rumah pun tak boleh; oleh suami dihina dan disia-siakan oleh ibu-bapa
dan negeri pun tiada pula hendak menolong.’’ (hal.205).
‘’Kesengsaraan’’ itu diperpanjang dengan fenomena Tini (Sukartini) dan Yah (Rokayah) dalam Belenggu-nya
Armin Pane. Keduanya tampak tak berkeputusan manakala berhadapan dengan
alternatif nilai. Sehingga sosok feminim Tini lebih tampak sebagai
persoalan, terkesan ganjil, dan tak tahu adat dalam ukuran zamannya.
Demikian juga, figur Tuti dalam Layar Terkembang, meskipun
dalam alur ceritanya terkesan ekspansif, dinamis, rasional, dan aktif
dalam kegiatan Putri Sedar, namun toh tak mampu menaklukkan dinding
tradisi dan benteng adat yang sudah berlapis-lapis. Sebaliknya, justru
satu persoalan bagi dirinya dan keluarga Partadiharja.
Dari agenda novel Indonesia yang bersejarah itu, tampak bagaimana
‘’kesengsaraan’’ wanita-wanita yang harus takluk dan terkalahkan,
bagaimanapun ‘’pemberontaknya’’. Meskipun tampak juga bagaiamana
fenomena wanita dalam agenda novel tersebut seakan terentang pada dua
kutub yang berbeda. Di satu sudut muncul wanita-wanita yang pasrah
terhadap kodrat, pasif, dan menerima dari Sananya apa adanya. Ini tampak
pada sosok Fatimah (Siti Nurbaya), Rokayah (Belenggu), dan Maria (Layar Terkembang).
Pada kutub lain berdiri figur wanita lain yang tidak mudah menyerah,
dinamis, dan progresif meskipun tak mampu menggempur adat dan tradisi
yang melingkupinya. Ini tampak pada Nurbaya (Suti Nurbaya), Tini (Belenggu), dan Tuti (Layar Terkembang).
Novel Harimau Harimau-nya Muchtar Lubis sekalipun yang
sebenarnya menceritakan tentang kisah para pemburu, tak luput dari
hiasan wanita Siti Rubiah, isteri muda Wak Katok, sehingga terlibat
cinta dengan tokoh Buyung. Siti Rubiah yang tak mampu melepaskan diri
dari cengkeraman Wak Katok, dia lebih dekat sebagai wanita sengsara dan
tumbal keganasan seksual suaminya.
Sinema kesengsaraan wanita dalam novel Indonesia mencapai puncak
ketika prosa liris Linus Suryadi AG, melontarkan ketidakberdayaan wanita
Pariyem. Pariyem dalam Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG jelas-jelas menerjemahkan diri sebagai wanita Jawa. Satu dunia lego lilo,
dan pasrah sumarah dalam menerima kodrat. Puncak seorang wanita Jawa
yang demikian bangga dengan menggenggam ‘’takdir’’ teraliri donya gedhe.
***
NOVEL-novel kitsch seperti disebutkan sebelumnya tampaknya tak jauh berbeda dengan sinema wanita dalam novel-novel sejati. Figur Karmila dalam Karmila-nya
Marta T adalah cermin wanita yang tersaruk-saruk dan harus berhadapan
dengan tembok-tembok dalam upayanya memasuki kehidupan modern. Erosi
etika moral kehidupan modern mempurukkan Karmila dalam pola hidup
permisif, Karmila harus hamil ketika menjalin cinta.
Sinema serupa, yang mengisahkan lemahnya kesadaran wanita akan kita temukan manakala membaca novel kitsch Marga T. yang lain, seperti Setangkai Edelweis dan Badai Pasti Berlalu. Marianne Katoppo dalam Raumanen juga
memotret sisi wanita yang lemah. Roumanen memilih jalan bunuh diri
untuk menyelesaikan problem-problem kehidupannya ketika puncak
pergaulannya dengan Monang berbuah janin.
Sinema wanita dalam novel Indonesia berada dalam posisi yang
disalahkan, dikorbankan, dan dinafikkan. Dengan kata lain, diskursus
literer Indonesia didominasi oleh sosok wanita yang tak mandiri, tak
merdeka, tak berkembang, tak mampu melawan kodrat dan tembok adat sosial
masyarakat.
Pengarang-pengarang kita, tampaknya belum berpihak kepada wanita.
Artinya, bagaimana menjadikan tokoh wanita bukan saja penghias
imajinasi, perumit konflik, atau korban cerita. Tapi mendudukkannya
untuk menawarkan persepsi positif tentang entitasnya kepada apresian
sastra kita. Dengan demikian, laki-laki adalah ordinat wanita sedangkan
wanita sekadar subordinat yang seringkali tereduksi negatif. Ideologi
gender akhirnya menjadi karakter kuat novel-novel Indonesia.
Selanjutnya, genderistik novel Indonesia demikian pada akhirnya justru
mengukuhkan kolonialisme laki-laki atas potensi wanita kita-yang secara
simbolik- jelas merupakan diskriminasi wanita dalam konteks makro
kehidupan. Baik itu ekonomi, adat budaya, sosial kemasyarakatan, ataupun
religi keagamaan.
*) Sutejo atau S.TEDJO KUSUMO, Penulis tinggal di Jawa Timur (Ponorogo).
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/10/sinema-wanita-dalam-novel-indonesia/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar