Minggu, 14 Oktober 2012

Sinema Wanita dalam Novel Indonesia

Sutejo
Kompas, 2 Jan 1996

Mengapa dalam novel-novel Indonesia wanita sering dipotret sebagai sosok yang lemah? Sosok yang tidak berdaya oleh kultur dan budaya masyarakat, kesadaran dan daya hidup yang lemah, atau hanya sebagai subordinat laki-laki.

Gambaran demikian seringkali menimbulkan kecemburuan kaum wanita manakala membaca novel-novel Indonesia. Bahkan, tak jarang potret wanita dalam novel kita diformulasikan sebagai hiasan dan alat imaji seksual. Gejala menarik ini tampaknya tidak saja terjadi pada genre novel, tetapi cerita pendek. Meski demikian, tak boleh dipandang sebagai sastra demikian sebagai asusila.

Umar Kayam pernah menyarankan bahwa karya sastra yang mengandung unsur seks sesekali pun tidak boleh kita pandang melanggar kesusilaan, bila dia didukung oleh ide yang baik, dipersiapkan dengan mendalam dan matang, dan memberikan pengertian tentang kehidupan dan kemanusiaan.

Dalam novel-novel kitsc Indonesia pun wanita berpose  dalam gambar yang tidak berbeda. Novel-novel Ike Supomo, Mira W, dan Marga T, dapat dijadikan contoh. Bahkan, barangkali wanita dalam novel-novel kitsch  Indonesia sebagian besar adalah sosok yang tak berdaya, hiasan imajinasi, dan bahkan menjadi korban yang tak dipihaki. Wanita-wanita seperti Miranti-nya Ike Supomo dalam Kabut Sutera Ungu dan Karmila-nya Marga T. adalah sedikit contoh. Dari novel pertama tampak, bagaimana Miranti yang menjadi korban dari sesat persepsi masyarakat, atau lebih tepatnya pemikiran masyarakat yang tidak adil terhadap potret janda Miranti. Sedangkan, Karmila adalah figur wanita yang gagal akibat makhluk bernama modernitas yang mengorbankan nilai etika dan moral.

Agenda sastra kita (khususnya novel), menunjukkan keberpihakannya pada laki-laki. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pihak berpendapat, diskursus literer sastra kita masih didominasi oleh keberadaan wanita yang terkalahkan, baik psikologis maupun sosiokulturalnya.

Gejala ini terjadi bukan saja pada ‘’sastra sejati’’ tetapi juga apa yang sering disebut orang dengan kitsch. Karya awal novel Indonesia, Azab dan Sengsara-nya Merari Siregar memotret sosok Maria Amin yang tidak merdeka, bahkan mengalami ‘’kesengsaraan’’. Demikian halnya, manakala kita membaca novel Bekisar Merah-nya Ahmad Tohari, tak luput dengan ‘’kesengsaraan’’ wanita yang bernama Lasi. Potret ‘’kesengsaraan’’ wanita seperti ini juga dapat kita telusuri pada trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala-nya.

Lasi dalam Bekisar Merah, bercerita tentang wanita yang terkemas dan dilingkupi oleh budaya global, sebuah budaya ‘’modern’’ yang berwajah pembangunan, sehingga Ismet N.M. Haris, menyebutnya sebagai ‘’wanita di persimpangan jalan’’. Namun sebenarnya, Lasi dalam Bekisar Merah lebih afdol jika kita sebut dengan ‘’wanita sengsara’’. Karena begitu sulitnya tokoh bertarung dengan wajah kemiskinan, gunjingan masyarakat, sampai pemberontakannya yang tidak mau ‘’dikelasduakan’’ dari laki-laki. Dan ini, tentu sebuah tantangan besar sebagai stereotip wanita Jawa yang selalu disubordinatkan laki-laki.

Wanita dalam kadar ‘’kesengsaraan’’ yang berbeda juga terjadi pada trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang telah mendahuluinya. Liku-liku dan makna ‘’ketidakberdayaan’’  dalam melawan kultur adat Ronggeng Dukuh Paruk, yang menyudutkan Srintil di lembah sengsara.

Potret wanita dengan ragam kesengsaraannya, juga akan kita temukan pada Siti Nurbaya (Marah Rusli), atau Belenggu (Armin Pane), atau pun Layar Terkembang-nya Sutan Takdir Alisyahbana. Makna ‘’kesengsaraan’’ itu dapat ditelusuri pada pemberontakan Nurbaya, Tini, dan Tuti, yang paralel dengan ide gerakan emansipasi Kartini yang harus bertarung dengan kuatnya adat dan budaya masyarakat.

Nurbaya, dalam roman Siti Nurbaya adalah sentral wanita yang menjadi korban dari tradisi, dogma, adat, agama, dan bangsa. Meskipun Nurbaya mampu protes, tapi justru jadi pelengkap ‘’kesengsaraannya’’. Berontaknya, ‘’Dari Tuhan kita telah mendapat halangan, yaitu dalam hal mengandung, dan menjaga anak sehingga tiada dapat melawan laki-laki, tentang apa pun; agama tiada pula disamakan dengan laki-laki, sebab laki-laki diizinkan beristri sampai empat, tetapi perempuan ke luar rumah pun tak boleh; oleh suami dihina dan disia-siakan oleh ibu-bapa dan negeri pun tiada pula hendak menolong.’’ (hal.205).

‘’Kesengsaraan’’ itu diperpanjang dengan fenomena Tini (Sukartini) dan Yah (Rokayah) dalam Belenggu-nya Armin Pane. Keduanya tampak tak berkeputusan manakala berhadapan dengan alternatif nilai. Sehingga sosok feminim Tini lebih tampak sebagai persoalan, terkesan ganjil, dan tak tahu adat dalam ukuran zamannya. Demikian juga, figur Tuti dalam Layar Terkembang, meskipun dalam alur ceritanya terkesan ekspansif, dinamis, rasional, dan aktif dalam kegiatan Putri Sedar, namun toh tak mampu menaklukkan dinding tradisi  dan benteng adat yang sudah berlapis-lapis. Sebaliknya, justru satu persoalan bagi dirinya dan keluarga Partadiharja.

Dari agenda novel Indonesia yang bersejarah itu, tampak bagaimana ‘’kesengsaraan’’ wanita-wanita yang harus takluk dan terkalahkan, bagaimanapun ‘’pemberontaknya’’. Meskipun tampak juga bagaiamana fenomena wanita dalam agenda novel tersebut seakan terentang pada dua kutub yang berbeda. Di satu sudut muncul wanita-wanita yang pasrah terhadap kodrat, pasif, dan menerima dari Sananya apa adanya. Ini tampak pada sosok Fatimah (Siti Nurbaya), Rokayah (Belenggu), dan Maria (Layar Terkembang). Pada kutub lain berdiri figur wanita lain yang tidak mudah menyerah, dinamis, dan progresif meskipun tak mampu menggempur adat dan tradisi yang melingkupinya. Ini tampak pada Nurbaya (Suti Nurbaya), Tini (Belenggu), dan Tuti (Layar Terkembang).

Novel Harimau Harimau-nya Muchtar Lubis sekalipun yang sebenarnya menceritakan tentang kisah para pemburu, tak luput dari hiasan wanita Siti Rubiah, isteri muda Wak Katok, sehingga terlibat cinta dengan tokoh Buyung. Siti Rubiah yang tak mampu melepaskan diri dari cengkeraman Wak Katok, dia lebih dekat sebagai wanita sengsara dan tumbal keganasan seksual suaminya.

Sinema kesengsaraan wanita dalam novel Indonesia mencapai puncak ketika prosa liris Linus Suryadi AG, melontarkan ketidakberdayaan wanita Pariyem. Pariyem dalam Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG jelas-jelas menerjemahkan diri sebagai wanita Jawa. Satu dunia lego lilo, dan pasrah sumarah dalam menerima kodrat.  Puncak seorang wanita Jawa yang demikian bangga dengan menggenggam ‘’takdir’’ teraliri donya gedhe.
***

NOVEL-novel kitsch seperti disebutkan sebelumnya tampaknya tak jauh berbeda dengan sinema wanita dalam novel-novel sejati. Figur Karmila dalam Karmila-nya Marta T adalah cermin wanita yang tersaruk-saruk dan harus berhadapan dengan tembok-tembok dalam upayanya memasuki kehidupan modern. Erosi etika moral kehidupan modern mempurukkan Karmila dalam pola hidup permisif, Karmila harus hamil ketika menjalin cinta.

Sinema serupa, yang mengisahkan lemahnya kesadaran wanita akan kita temukan manakala membaca novel kitsch Marga T. yang lain, seperti Setangkai Edelweis dan Badai Pasti Berlalu. Marianne Katoppo dalam Raumanen juga memotret sisi wanita yang lemah. Roumanen memilih jalan bunuh diri untuk menyelesaikan problem-problem kehidupannya ketika puncak pergaulannya dengan Monang berbuah janin.

Sinema wanita dalam novel Indonesia berada dalam posisi yang disalahkan, dikorbankan, dan dinafikkan. Dengan kata lain, diskursus literer Indonesia didominasi oleh sosok wanita yang tak mandiri, tak merdeka, tak berkembang, tak mampu melawan kodrat dan tembok adat sosial masyarakat.

Pengarang-pengarang kita, tampaknya belum berpihak kepada wanita. Artinya, bagaimana menjadikan tokoh wanita bukan saja penghias imajinasi, perumit konflik, atau korban cerita. Tapi mendudukkannya untuk menawarkan persepsi positif tentang entitasnya kepada apresian sastra kita. Dengan demikian, laki-laki adalah ordinat wanita sedangkan wanita sekadar subordinat yang seringkali tereduksi negatif. Ideologi gender akhirnya menjadi karakter kuat novel-novel Indonesia. Selanjutnya, genderistik novel Indonesia demikian pada akhirnya justru mengukuhkan kolonialisme laki-laki atas potensi wanita kita-yang secara simbolik- jelas  merupakan diskriminasi wanita dalam konteks makro kehidupan. Baik itu ekonomi, adat budaya, sosial kemasyarakatan, ataupun religi keagamaan.

*) Sutejo atau S.TEDJO KUSUMO,  Penulis tinggal di Jawa Timur (Ponorogo).
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/10/sinema-wanita-dalam-novel-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo SMA 1 Badegan Ponorogo STKIP PGRI Ponorogo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo