Kamis, 15 November 2012

Sinema Pengajaran Sastra Kita

Sutejo
MG, Minggu III Agu 1995

Mengapa pengajaran sastra kita banyak dikeluhkan orang? Mungkin karena keberadaannya yang berandil besar dalam penanaman kecintaan bangsa ini terhadap karya sastra. Paradigma demikian, barangkali terlalu bombastis. Tapi, setidaknya jika kita mau jujur sebenarnya pengajaran sastralah yang yang pertama-tama menentukan iklim dunia sastra kita. Sebagaimana keberartian pendidikan suatu bangsa yang akan memberikan corak dan kualitas bangsanya.
Lalu, sejauh manakah pengajaran sastra kita bergerak? Dengan penuh prihatin barangkali kita akan menjawab ‘’pengajaran sastra selama ini telah mengalami kegagalan total’’. Dus, pengajaran sastra hanya mengajarkan tentang sastra dan sejarahnya. Padahal, sebagaimana disadari sastra adalah seni. Sastra adalah rentetan kode-kode estetis. Sastra adalah hasil petualangan kreatif-imajinatif. Sastra bukanlah ilmu, kata Jakob Sumardjo. Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa pengajaran sastra selama ini telah mengalami kesesatan. Ironisnya lagi, banyak pengajar sastra yang tidak berkompetensi.

Berbagai Sebab

Sinema pengajaran sastra kita, kata Jakob Sumardjo, keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan dengan kegiatan bidang penciptaan karya-karya sastra, penerbitannya, kritik sastra, penelitian dan pengkajian sastra, sampai keberadaan iklim budaya kita secara umum. Maka, manakala kita menelusuri kegagalan pengajaran sastra dewasa ini, mau tidak mau harus meihatnya sebagai sebuah sistem makro.

Banyak pihak menganalisis bahwasanya pengajaran sastra selama ini dengan mengungkapkan berbagai sebab yang melingkupinya. Minusnya kompetensi pengajar sastra, kurang optimalisasinya media alternatif yang ada, dan beragamnya bakat dan minat siswa. Di samping, kehidupan sastra dan kritiknya yang belum establised. Penerbitan karya sastra misalnya, dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir mau tidak mau harus berhutang budi pada media massa koran khususnya. Tak heran bila akhir-akhir ini: trend sastra koran muncul ke permukaan dan banyak menjadi bahan pembicaraan. Termasuk penggugatan terhadap redaksi budaya media massa yang dicurigai berkolusi dengan sastrawan, tidak adanya norma estetis yang jelas, sampai perannya yang tempat pembabtisan sastrawan sebagaimana disindiri oleh seniman muda Solo, Sosiawan Leak.

Anehnya, pengajar sastra sepertinya mengelak dari realitas perkembangan mutakhir sastra Indonesia. Artinya, hampir tak pernah ada pengajaran sastra yang memanfaatkan sastra koran ini menjadi bahan pelajaran. Hal ini, bisa jadi karena minusnya kreativitas, kurangnya komunikasi sastra para pengajar, atau bahkan semacam ketidakpedulian terhadap fenomena sastra koran, sastra media massa itu, kualitasnya rendah. Tak ayal, pemikiran semacam ini pernah membuat Satyagraha Hoerip gemas terhadap sebagian sastrawan kita yang mereduksikan kualitas sastra koran dan menganggap Horison sebagai barometer dan ukuran kualitas sastra (Republika, ‘’Bingkai’’, 6  Oktober 1994).

Pengajar sastra, juga tak pernah memperkenalkan kririk sastra sebagai pengalaman jiwanya. Hal ini, bisa jadi karena, sekali lagi, minusnya kompetensi pengajar sastra. Di samping kaburnya dunia kritik sastra kita. Budi Darma menyebutnya sebagai dunia Kritik yang centang berenang (Horison, Nomor II, edisi November 1992). Putu Wijaya, prihatin karena sosok HB Jassin yang jujur, rajin, dan menjadi jembatan apresiasi tidak ada lagi. Sebaliknya, kritik sastra seperti yang diimpor Andrea Hardjana dan Umar Yunus  misalnya, tidak banyak memberikan sumbangan dalam menumbuhkan dan mengembangkan bakat dan minat siswa (juga mahasiswa) terhadap sastra. Tak heran, kalau banyak pihak mengusulkan perlunya semacam kritik sastra yang khas Indonesia. Sebagaimana seminar Mencari Sosok Teori yang Khas Indonesia, 10 November 1987, di Bulak Sumur Yogyakarta. Atau, bagaimana gemuruh pencarian kritik sastra relevan (23-26 Maret 1988), yang diadakan Universitas Bung Hatta, Padang, yang banyak mengundang pakar dan sastrawan seperti: Budi Darma, Rachmat Djoko Pradopo, Subagyo Sastrowardoyo, dan masih banyak lagi.

Barangkali yang sangat membantu dalam pengajaran sastra adalah model kritik sastranya HB Jassin. Sebab dengan kritik sastranya HB Jassin, dengan cepat akan kita temukan tiga hal pokok yang mengantarkan siswa memahaminya, yakni (i) pengenalan dan penceritaan biografi pengarang, (ii) adanya rekonstruksi alur cerita, dan (iii) sejauh manakah keterlibatan feeling pembaca. Pengenalan kritik sastra HB Jassin demikian, besar artinya bagi perkembangan dan penumbuhan minat dan bakat siswa. Terlebih, dengan berlakunya kurikulum 1994 yang berasektuansi pada adanya tema-tema dan muatan lokal. Pengajaran sastra mau tidak mau, perlu memperkenalkan pengarangnya, di samping teks sastra, dan bagaimanakah melatih keterlibatan perasaan dan kejiwaan siswa. Karena sebagaimana pernah disinggung Jakob Sumardjo bahwasanya penciptaan karya sastra itu untuk dinikmati. Sehingga pengajaran sastra harus juga diarahkan agar siswa menemukan kenikmatan yang terdapat padanya. Kenikmatan itu sendiri meliputi kenikmatan dalam bentuk perkembangan jiwa dan penghargaan terhadap keterampilan sastrawannya. Dan kenikmatan yang berupa kekaguman pada sastrawan dalam membuka peluang hingga terjadinya perubahan rohani. Mungkin ide Jakob Sumardjo ini berlebihan, tapi setidaknya jika mengaitkannya dengan pengajaran sastra, paradigma demikian sangat relevan untuk diturunkan.

Di samping kedua hal di atas, hal penting yang menyebabkan kegagalan pengajaran sastra adalah tidak adanya pelatihan reproduksi sastra yang nyaris dikesampingkan. Siswa tak lebih sebagai botol kosong yang setiap hari diisi dengan cerita tentang sastra dan sejarahnya. Tanpa pendekatan yang memungkinkan siswa menikmati secara langsung, ataupun mengembangkan aspek reproduksi sastra yang akan memberikan pengalaman batin. Tuntutan iklim demikian, adalah prasyarat penting untuk memberikan pengalaman langsung ‘’bersentuhan’’ dengan karya sastra. Bukan hanya memperkenalkan sinopsis atau sastrawannya.

Optimalisasi Media Alternatif

Maka di ujung tulisan ini, perlu kiranya dilontarkan pemikiran akan perlunya optimalisasi terhadap media alternatif yang ada. Bagaimana memanfaatkan media massa sebagai media pengajaran sastra baik apresiatif maupun reproduktif. Hal demikian, mestinya dapat dilakukan karena hampir bisa dipastikan sekolah berlangganan koran.

Di samping itu, media radio bisa menjadi alternatif yang juga bisa dimanfaatkan. Hampir semua radio menyediakan waktu untuk lembaran sastra. Pengajaran sastra dapat melibatkan siswanya untuk berpartisipasi, baik aktif maupun pasif. Sebagai alat evaluasi, dapat juga mengikutkan siswa dalam berbagai ajang uji kreativitas. Sebab jika menonton dengan sarana yang ada di sekolah, maka bisa dipastikan pengajaran sastra tidak akan berkembang dengan positif.

Karenanya, bagaimanapun karya sastra adalah seni yng menawarkan berbagai kemungkinan pada pembacanya. Sastra menjadi semacam mikrofon yang akan mentralisir ketegangan antara dunia imajinatif dengan realita. Sebagaimana semoboyan Hemingway, yang mengatakan bahwa hakikatnya tugas sastrawanlah menyampaikan kebenaran yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, tentu, pengajaran sastra yang baik akan memberikan pengalaman batin dalam menemukan nilai-nilai kebenaran, sosial kemasyarakatan, dan nilai keindahan yang ada dalam sebuah karya sastra. Maka pengajaran sastra arifnya: perlu mendapat kerlingan mata dari berbagai pihak. Siswa, pengajar, lembaga, maupun pemerintah. Kata A.Teuw, ‘’Celakalah sebuah negeri di mana suara penyair tidak lagi didengarnya!’’. Karenanya, akan lebih celaka bila siswa dan pengajar sastra sendiri tidak lagi mendengar suara penyair dan sastrawan.

*) Penulis  adalah dosen Kopertis VII Surabaya, pengasuh Sanggar Wahana Sastra RKPD Suara Ponorogo, Jawa Timur.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2012/11/sinema-pengajaran-sastra-kita/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo SMA 1 Badegan Ponorogo STKIP PGRI Ponorogo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo