Sutejo
MG, Minggu III Agu 1995
Mengapa pengajaran sastra kita banyak dikeluhkan orang? Mungkin
karena keberadaannya yang berandil besar dalam penanaman kecintaan
bangsa ini terhadap karya sastra. Paradigma demikian, barangkali terlalu
bombastis. Tapi, setidaknya jika kita mau jujur sebenarnya pengajaran
sastralah yang yang pertama-tama menentukan iklim dunia sastra kita. Sebagaimana
keberartian pendidikan suatu bangsa yang akan memberikan corak dan
kualitas bangsanya.
Lalu, sejauh manakah pengajaran sastra kita
bergerak? Dengan penuh prihatin barangkali kita akan menjawab
‘’pengajaran sastra selama ini telah mengalami kegagalan total’’. Dus,
pengajaran sastra hanya mengajarkan tentang sastra dan sejarahnya.
Padahal, sebagaimana disadari sastra adalah seni. Sastra adalah rentetan
kode-kode estetis. Sastra adalah hasil petualangan kreatif-imajinatif. Sastra bukanlah ilmu, kata Jakob Sumardjo. Dengan kata lain, kita dapat menyimpulkan bahwa pengajaran sastra selama ini telah mengalami kesesatan. Ironisnya lagi, banyak pengajar sastra yang tidak berkompetensi.
Berbagai Sebab
Sinema pengajaran sastra kita, kata Jakob Sumardjo, keberadaannya
tidaklah dapat dipisahkan dengan kegiatan bidang penciptaan karya-karya
sastra, penerbitannya, kritik sastra, penelitian dan pengkajian sastra,
sampai keberadaan iklim budaya kita secara umum. Maka, manakala kita
menelusuri kegagalan pengajaran sastra dewasa ini, mau tidak mau harus
meihatnya sebagai sebuah sistem makro.
Banyak pihak menganalisis bahwasanya pengajaran sastra selama ini
dengan mengungkapkan berbagai sebab yang melingkupinya. Minusnya
kompetensi pengajar sastra, kurang optimalisasinya media alternatif yang ada, dan beragamnya bakat dan minat siswa. Di samping, kehidupan sastra dan kritiknya yang belum establised.
Penerbitan karya sastra misalnya, dalam perkembangan sastra Indonesia
mutakhir mau tidak mau harus berhutang budi pada media massa koran
khususnya. Tak heran bila akhir-akhir ini: trend sastra koran muncul ke permukaan dan banyak menjadi bahan pembicaraan. Termasuk penggugatan terhadap redaksi budaya media massa yang dicurigai berkolusi dengan sastrawan, tidak adanya norma estetis yang jelas, sampai perannya yang tempat pembabtisan sastrawan sebagaimana disindiri oleh seniman muda Solo, Sosiawan Leak.
Anehnya, pengajar sastra sepertinya mengelak dari realitas
perkembangan mutakhir sastra Indonesia. Artinya, hampir tak pernah ada
pengajaran sastra yang memanfaatkan sastra koran ini menjadi bahan
pelajaran. Hal ini, bisa jadi karena minusnya kreativitas, kurangnya komunikasi sastra para pengajar, atau bahkan semacam ketidakpedulian terhadap fenomena sastra koran, sastra media massa itu, kualitasnya rendah. Tak ayal, pemikiran semacam ini pernah membuat Satyagraha Hoerip gemas terhadap sebagian sastrawan kita yang mereduksikan kualitas sastra koran dan menganggap Horison sebagai barometer dan ukuran kualitas sastra (Republika, ‘’Bingkai’’, 6 Oktober 1994).
Pengajar sastra, juga tak pernah memperkenalkan kririk sastra sebagai
pengalaman jiwanya. Hal ini, bisa jadi karena, sekali lagi, minusnya
kompetensi pengajar sastra. Di samping kaburnya dunia kritik sastra
kita. Budi Darma menyebutnya sebagai dunia Kritik yang centang berenang (Horison, Nomor II, edisi November 1992). Putu Wijaya, prihatin karena sosok HB Jassin yang jujur, rajin, dan menjadi jembatan apresiasi
tidak ada lagi. Sebaliknya, kritik sastra seperti yang diimpor Andrea
Hardjana dan Umar Yunus misalnya, tidak banyak memberikan sumbangan
dalam menumbuhkan dan mengembangkan bakat dan minat siswa (juga
mahasiswa) terhadap sastra. Tak heran, kalau banyak pihak mengusulkan
perlunya semacam kritik sastra yang khas Indonesia. Sebagaimana seminar Mencari Sosok Teori yang Khas Indonesia, 10 November 1987, di Bulak Sumur Yogyakarta. Atau, bagaimana gemuruh pencarian kritik sastra relevan
(23-26 Maret 1988), yang diadakan Universitas Bung Hatta, Padang, yang
banyak mengundang pakar dan sastrawan seperti: Budi Darma, Rachmat Djoko
Pradopo, Subagyo Sastrowardoyo, dan masih banyak lagi.
Barangkali yang sangat membantu dalam pengajaran sastra adalah model
kritik sastranya HB Jassin. Sebab dengan kritik sastranya HB Jassin,
dengan cepat akan kita temukan tiga hal pokok yang mengantarkan siswa
memahaminya, yakni (i) pengenalan dan penceritaan biografi pengarang, (ii) adanya rekonstruksi alur cerita, dan (iii) sejauh manakah keterlibatan feeling pembaca.
Pengenalan kritik sastra HB Jassin demikian, besar artinya bagi
perkembangan dan penumbuhan minat dan bakat siswa. Terlebih, dengan
berlakunya kurikulum 1994 yang berasektuansi pada adanya tema-tema dan muatan lokal.
Pengajaran sastra mau tidak mau, perlu memperkenalkan pengarangnya, di
samping teks sastra, dan bagaimanakah melatih keterlibatan perasaan dan
kejiwaan siswa. Karena sebagaimana pernah disinggung Jakob Sumardjo
bahwasanya penciptaan karya sastra itu untuk dinikmati. Sehingga
pengajaran sastra harus juga diarahkan agar siswa menemukan kenikmatan
yang terdapat padanya. Kenikmatan itu sendiri meliputi kenikmatan dalam
bentuk perkembangan jiwa dan penghargaan terhadap keterampilan
sastrawannya. Dan kenikmatan yang berupa kekaguman pada sastrawan dalam
membuka peluang hingga terjadinya perubahan rohani. Mungkin ide Jakob
Sumardjo ini berlebihan, tapi setidaknya jika mengaitkannya dengan
pengajaran sastra, paradigma demikian sangat relevan untuk diturunkan.
Di samping kedua hal di atas, hal penting yang menyebabkan kegagalan
pengajaran sastra adalah tidak adanya pelatihan reproduksi sastra yang
nyaris dikesampingkan. Siswa tak lebih sebagai botol kosong yang setiap
hari diisi dengan cerita tentang sastra dan sejarahnya. Tanpa pendekatan
yang memungkinkan siswa menikmati secara langsung, ataupun
mengembangkan aspek reproduksi sastra yang akan memberikan pengalaman
batin. Tuntutan iklim demikian, adalah prasyarat penting untuk
memberikan pengalaman langsung ‘’bersentuhan’’ dengan karya sastra.
Bukan hanya memperkenalkan sinopsis atau sastrawannya.
Optimalisasi Media Alternatif
Maka di ujung tulisan ini, perlu kiranya dilontarkan pemikiran akan
perlunya optimalisasi terhadap media alternatif yang ada. Bagaimana
memanfaatkan media massa sebagai media pengajaran sastra baik apresiatif
maupun reproduktif. Hal demikian, mestinya dapat dilakukan karena
hampir bisa dipastikan sekolah berlangganan koran.
Di samping itu, media radio bisa menjadi alternatif yang juga bisa
dimanfaatkan. Hampir semua radio menyediakan waktu untuk lembaran
sastra. Pengajaran sastra dapat melibatkan siswanya untuk
berpartisipasi, baik aktif maupun pasif. Sebagai alat evaluasi, dapat
juga mengikutkan siswa dalam berbagai ajang uji kreativitas. Sebab jika
menonton dengan sarana yang ada di sekolah, maka bisa dipastikan
pengajaran sastra tidak akan berkembang dengan positif.
Karenanya, bagaimanapun karya sastra adalah seni yng menawarkan
berbagai kemungkinan pada pembacanya. Sastra menjadi semacam mikrofon
yang akan mentralisir ketegangan antara dunia imajinatif dengan realita.
Sebagaimana semoboyan Hemingway, yang mengatakan bahwa
hakikatnya tugas sastrawanlah menyampaikan kebenaran yang terjadi dalam
masyarakat. Dengan demikian, tentu, pengajaran sastra yang baik akan
memberikan pengalaman batin dalam menemukan nilai-nilai kebenaran,
sosial kemasyarakatan, dan nilai keindahan yang ada dalam sebuah karya
sastra. Maka pengajaran sastra arifnya: perlu mendapat kerlingan mata
dari berbagai pihak. Siswa, pengajar, lembaga, maupun pemerintah. Kata
A.Teuw, ‘’Celakalah sebuah negeri di mana suara penyair tidak lagi didengarnya!’’. Karenanya, akan lebih celaka bila siswa dan pengajar sastra sendiri tidak lagi mendengar suara penyair dan sastrawan.
*) Penulis adalah dosen Kopertis VII Surabaya, pengasuh Sanggar Wahana Sastra RKPD Suara Ponorogo, Jawa Timur.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/sinema-pengajaran-sastra-kita/
Kamis, 15 November 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar