Sutejo *
Swadesi, 31 Okt 1993
Secara historis bahasa Indonesia memegang peranan kunci sebagai alat
vital berkomunikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah
dalam Sumpah Pemuda begitu prasastial bahasa Indonesia mampu mengikat
aneka suku bangsa untuk cita-cita yang luhur, persatuan dan kesatuan? Ironis
sekali, jika kita mengamati isu yang sedang berkembang sekarang,
mahasiswa dan pelajar lebih suka menggunakan bahasa Inggris sebagai
‘’upaya internasionalisasi’’.
Apa yang menarik berbicara tentang bahasa Indonesia (BI) dalam Bulan
Bahasa Nasional kita patut merenung kembali tentang eksistensi dan
realitas pemakaian BI. Alangkah sukarnya berbahasa Indonesia yang baik
dan benar, inilah yang menarik untuk diperbincangkan. Kenapa? Mungkin
ini benar, mungkin juga tidak. Lagi pula, siapa yang sebenarnya yang
bertanggungjawab atas terpeliharanya pemakaian BI yang baik dan benar?
BI barangkali memang bahasa yang paling kompleks dan rumit. Karena
diadopsi dari berbagai bahasa. Istilah Lambertus Lusi Murek dalam Kompas
12, September 1993 menyebutnya, dengan bahasa ‘’Rumpu-rampe’’ (semacam
masakan dengan memasukkan aneka sayur ke dalamnya).
Secara historis, BI memegang peranan kunci sebagai alat vital
berkomunikasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukankah dalam
Sumpah Pemuda begitu prasastial BI mampu mengikat aneka suku bangsa
untuk cita-cita yang luhur persatuan dan kesatuan? Ironis sekali jika
kita mengamati isu yang berkembang sekarang, para mahasiswa dan pelajar
lebih hingga menggunakan bahasa Inggris sebagai upaya
‘’internasionalisasi’’. Atau alangkah memprihatinkannya jika kita mau
mengamati bahasa para pelajar dan remaja di kota-kota besar.
Jika menilik Politik Bahasa Nasional maka dalam salah satu fungsinya
dapat dimanfaatkan untuk menentukan ciri-ciri BI yang baku, menggariskan
prosedur pembakuan BI, memberikan arahan pada kegiatan-kegiatan
pembinaan dan pengembangan BI, memberikan penyuluhan penggunaan BI, dan
memberikan pertimbangan serta pengarahan kepada pembinaan dan
pengembangan BI (cf.Halim, dalam Politik Bahasa Nasional, I, 1976). Maka
dalam urainnya implisit bahwa setiap pemakai BI ikut bertanggung jawab
atas penggunaan secara baik dan benar. Bukan sekadar tanggung jawab
Pusat Pembinaan Bahasa ataupun pengajar BI saja.
PERMASALAHAN
Harimurti Kridalaksana sebagai ahli dan pengamat bahasa mengakui
manakala muncul ungkapan atau kata baru sering timbul komentar dari
berbagai lapisan (Kompas, 2 Agustus 1993). Padahal secara historis BI
memang banyak mengambil dari berbagai bahasa. Di jelang dan paska
kemerdekaan misalnya BI banyak didominasi oleh bahasa Minangkabau,
kemudian bahasa Inggris di era 70-an, dan yang terakhir (sampai sekarang
bahkan) banyak dikuasai oleh bahasa Jawa. Di sinilah mulai timbul
problema di samping persoalan lain dalam realitas pemakaian BI secara
umum.
Ketika masih duduk di bangku SMP penulis merasa geli ketika menemukan
kata majemuk ‘’tempik-sorak’’ (maaf, pen), karena pada leksikon pertama
kita majemuk itu bermakna nama alat kelamin wanita sehingga begitu
tabu untuk diucapkan. Demikian halnya terhadap kata ‘’semena-mena’’
seperti disindir Labertus L.H, bagi penduduk Flores Timur kata ‘’mena’’
haram diucapkan. Karena bermakna sama seperti ‘’tempik’’ dalam bahasa
Jawa. Konon, kata ‘’semangat’’ juga tabu untuk penutur Minangkabau.
Pada akhir era 80-an pernah diperkenalkan kata ‘’sangkil’’ dan
‘’mangkus’’ sebagai pengganti ‘’efektif’’ dan ‘’efisien’’, kemudian kini
tidak produktif lagi. Mungkin satu penyebabnya karena nuansa bunyi yang
kurang ‘’sedap’’. Di samping kata ‘’sangkil’’ itu sendiri pada sebagian
penutur Jawa juga bernuansa negatif (semacam umpatan kekurang puasan,
pen). Hal demikian terjadi karena nilai bahasa masing-masing daerah kita
berbeda-beda.
Problema lain yang menarik untuk dipersoalkan adalah peran bahasa
pejabat dalam pembinaan BI secara baik dan benar. Seperti pada kongres
BI V (1998) di Jakarta, orang begitu gencar mempersoalkannya. Sampai
sekarang ini, tentu sangat relevan untuk dicermati. Slamet Djbarudi
misalnya, pada sebuah kolom Tempo 14 April 1990, menunjukkan beberapa
kelemahan bahasa pejabat. Dicontohkan, kata ganti, ‘’kita’’ dipergunakan
sering untuk menggantikan ‘’kami’’, pelafalan bunyi ‘’k’’ diganti
dengan glotal stop (‘), seperti pada kata memiliki dan pendidikan yang
dilafalkan ‘’memili’’-i’’ dan ‘’pendidikan’’. Frekuensi kesalahan yang
paling besar terjadi ketika para pejabat dilafalkan ‘’kan’’ menjadi
‘’ken’’.
Lebih dari apa yang dikemukakan oleh Slamet Djabarudi, kita dapat
mendiskripsikan sekian banyak kelemahan yang lain seperti banyaknya
penggunaan kata-kata yang salah seperti ‘’daripada’’, ‘’disebabkan oleh
karena’’, ‘’adalah merupakan’’, ‘’kepada dirgahayu HUT’’, agar supaya
dan sebagainya.
Kata ‘’daripada’’ misalnya, sebagai kata depan majemuk hanya
berfungsi sebagai suatu perbandingan sering dipergunakan secara tidak
tepat sehingga merusak makna, di samping bersifat redudansi. Contoh:
Daripada penduduk Kedung Ombo pembangunan bendungan itu sangat besar
artinya.
Frase ‘’disebabkan oleh karena’’ sebagai konjungsi kausatif
sebenarnya tidak perlu terjadi. Karena frase itu dapat diganti dengan
kata penghubung ‘’sebab’’ atau ‘’karena’’ saja. Sedangkan kata adalah
sebagai kopula penanda predikat nominal tidaklah semestinya diikuti
dengan kata ‘’merupakan’’. Misalnya, Tanggal 1 Oktober adalah merupakan
hari bersejarah bagi bangsa Indonesia. Demikian juga penggunaan kata
depan ‘’kepada’’ sering mengakibatkan kalimat yang dimaksudkan tidak
efektif.
Hal ini tampak pada kalimat berikut: kepada generasi muda dituntut
berperan aktif dalam pembangunan. Sehingga terjadi, subjek yang
sebenarnya (=generasi muda) telah berubah jadi objek penyerta. Sedangkan
‘’dirgahayu HUT’’ dan ‘’agar supaya’’ menunjukkan gejala hiperkorek
yang dalam bahasa Indonesia tidaklah baku. Karenanya cukuplah dipakai
salah satu kata saja, ‘’dirgahayu’’ atau ‘’HUT’’, ‘’agar’’ atau
‘’supaya’’.
Di samping problema-problema di atas, terdapat problema (baca:
kesalahan) lain yang juga sering terjadi yaitu terjadinya interferensi.
Mengikuti pengertian yang dikemukakan Haugen, bahwa interferensi itu
terjadi karena adanya kontak dua bahasa dan bagian-bagian yang rumpang
dari setiap bahasa saling ditutup oleh bahasa-bahasa yang berkontak dan
sekaligus penerapan dua buah sistem bahasa secara serempak dalam satu
bahasa.
Dengan begitu dimungkinkan interferensi yang terjadi dalam BI dapat
berasal dari bahasa daerah maupun bahasa asing. Hal ini tampak dalam
beberapa contoh berikut: (i) Kita sebagai pengelolal PTS harus
menguraikan sikap dependence pada PTN, (ii) Apakah saya boleh sowan ke
rumah Bapak?, (iii) Ibu sedang merencana ke Yogja, dan (iv) tak apalah,
it dosen’t matter. Jika diamati kesalahan interferensi ini dapat
meliputi bidang leksikal, morfologi, dan sintaksisnya.
Terkait dengan interferensi, kata–kata asing yang sering dipakai oleh
para pejabat dalam pidato, sambutan, ataupun dalam keterangan pers,
bagi Ali Audah (Kolom Tempo, 19 Oktober 1991), hal itu dapat menghambat
pembinaan BI. Di sinilah letak perbedaan dengan pejabat tempo dulu
seperti Bung Hatta, Muhammad Yamin, H.Agus Salim, yang tidak saja
menghindari penggunaan kata-kata asing namun juga tak jarang turut
membina langsung untuk berbahasa yang baik dan benar.
ALTERNATIF
Dari berbagai problema dan kesalahan yang sering terjadi barangkali
sikap yang penting diambil adalah kesadaran pemakai itu sendiri untuk
berusaha menggunakan BI dengan baik dan benar. Menghindarkan sekecil
mungkin pengaruh bahasa asing dan daerah serta adanya sikap positif dan
bangga dalam menggunakannya. Dan yang tak kalah penting tauladan
berbahasa para ‘pejabat’ untuk ikut memberi contoh semangat sedemikian
fungsional kedudukannya.
Bukan sebaliknya seakan masa bodoh, atau tak mau tahu. Sehingga bulan
Oktober yang kita tetapkan sebagai bulan Bahasa Nasional tidak sia-sia.
Minimal tidak kehilangan fungsinya untuk senantiasa menyadarkan kembali
berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Tapi semuanya juga berpulang
baik pada pemakai BI secara umum dan sistem pembinaan BI kita secara
makro.
*) Sutejo (S.Tedjo Kusumo), peneliti dan pengajar bahasa di lingkungan Kopertis VII Surabaya dpk pada STKIP PGRI Ponorogo.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/04/banyak-pejabat-yang-merusak-bahasa-indonesia/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar