Sutejo *
Radar Madiun, 19 Okt 2000
Pada Akhir bulan lalu, LIPI bersama kedutaan besar Perancis di
Jakarta, mengadakan workshop internasional tentang otonomisasi di
Indonesia. Dari workshop tersebut, terbesit bagaimana sikap pesimistis
masyarakat dan peneliti dalam menyikapi pelaksanaan otonomisasi daerah.
Sikap pesimis ini, paling tidak tercermin di antara pembicara macam
Deddy Supriyadi Bratakusumah, Dr. Soedjati Djiwandono, Dr. Andi Alfian
Malarangeng, Dr. Syamsudin Harris, dan Dr. Andree Feillard dari
Perancis.
Pesimisme para ahli ini, dilandasi oleh sikap pemerintah yang
dinilainya setengah hati dalam menggulirkan otonomi daerah. Lain
Jakarta, lain pula realita di daerah. Pesimisme serupa barangkali akan
tajam, jika kita mengamati fenomena daerah yang nyaris sekadar
menjalani. Padahal, daerah menjadi subjek dari otonomi daerah itu
sendiri.
Fenomena yang penulis alami setahun lalu, ketika harus mengurus roya
tanah namun baru enam bulan berikutnya selesai, barangkali dapat menjadi
isyarat buruk dari realita daerah. Demikian juga, ketika penulis
mendapat “order” untuk menulis biografi Dr. Markum Singodimejo ketika
sudah di-ACC oleh bupati, kemudian Sekwilda, dan meluncur di bagian
umum, namun “mangkrak” di Kabag Humas. Sayang, satu bulan penulis
menunggu surat pengantar untuk mengadakan wawancara dengan enam kali
datang belum juga selesai. Baru kehadiran yang ketujuh namun dengan
bahasa koruptif-kolutif Orde Baru yang kental KKN itu sulit dihilangkan,
aku engko pikirno! Pikiren. Jadwal yang tersusun pun buyar, dan tidak dapat direalisasikan.
Padahal, jika kita menilik UU No. 28 tahun 1999, tentang
Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme, dalam salah satu pasalnya (pasal 3), mengisyaratkan
pentingnya salah satu asas profesionalitas dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan konteks Otda. Jika UU No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi
Daerah jelas mengedepankan pentingnya kemandirian, etos kompetisi,
kreativitas, dan adanya etos kerja yang tinggi, maka dua fenomena di
atas menjadi peringatan penting bagi daerah untuk berbenah. Kasus
serupa, bisa jadi banyak dan bertumpuk, dan bisa jadi tidak saja terjadi
di Ponorogo, tetapi juga Pacitan, Madiun, maupun Magetan.
Kalau masyarakat birokrasi menyadari, bahwa asas profesionalitas
merupakan kunci awal suksesnya pelaksanaan otonomi daerah, maka
reformasi mental merupakan pilihan awal jika menginginkan mulusnya
pelaksanaan otonomi daerah. Kemulusan operasionalisasinya yang bukan
karena ulah kolutif birokratnya, tetapi bagaimana menciptakan mekanisme
dan sistem pemerintahan daerah yang profesional dan bertanggung jawab.
Profesionalisme birokrat daerah, karenanya mengamanatkan sekian
parameter yang harus dipenuhi. Meminjam profesionalisme manajemen,
sebagaimana pernah dikemukakan oleh Prof. Dr. Mukhtar Lutfi, maka suatu
profesi (termasuk jabatan tentu), harus memiliki 8 kriteria utama: 1.
Adanya panggilan hidup, 2. Pentingnya pengetahuan, kecakapan, dan
keahlian, 3. Adanya kebakuan yang universal, 4. Adanya pengabdian, 5.
Pentingnya kecakapan diagnosis dan kompetensi aplikatif, 6. Urgennya
sebuah otonomi, 7. Pentingnya ketaatan terhadap kode etik, dan 8.
Pentingnya penghormatan terhadap klien (yang dilayani).
Panggilan hidup. Dalam ciri profesionalisme profesi (jabatan), maka
masyarakat dan birokrat diharapkan harus memiliki panggilan hidup dalam
melaksanaannya. Sepenuh jiwa dan sepanjang hayat untuk mau mengemban dan
melaksanakan sebuah profesi (jabatan) dengan tanpa pamrih dan pandang
bulu.
Demikian juga, parameter kedua yang menekankan pentingnya seseorang
yang mengemban profesi (jabatan) memiliki pengetahuan, kecakapan, dan
keahlian dalam melaksanakan fungsi jabatan profesinya. Fungsionalisasi
masing-masing, menjadi kunci sukses dalam memaksimalisasi profesi itu
sendiri. Pengetahuan saja tentunya, tidaklah mencukupi jika tidak
dibarengi dengan kecakapan dan kehlian profesi. Terlebih jika hanya
sekadar sertifikasi kesarjanaan (ijazah)!
Dalam melaksanakan dan mengemban profesi, dalam asas profesionalisme
juga dituntut adanya norma dan kebakuan prinsip yang universal, dapat
diukur tanpa melihat siapa pun yang melakukannya. Tetapi semata-mata
didasarkan pada intensitas dan kebakuan yang ada.
Profesionalisme masyarakat dan birokrat dalam menggulirkan otonomi
daerah, ternyata dipersyaratkan pula adanya pengabdian, loyalitas
terhadap profesi untuk rela berkorban dan bersama-sama mamajukan dan
memberdayakan daerahnya. Itu pun harus dibarengi dengan kecakapan
mendiagnosis persoalan yang muncul di daerah, dan pentingnya kompetensi
aplikatif untuk memecahkan persoalan di daerah.
Parameter lain profesionalisme adalah adanya otonomi, yakni semacam
kemerdekaan otonom atas dasar prinsip-prinsip atau norma-norma yang
berketepatan dan hanya dapat diuji oleh rekan seprofesinya. Di sinilah,
tampaknya otonomi profesi menjadi kunci penting. Ini pun harus dibarengi
dengan ketaatan terhadap kode etik yang telah disepakati bersama.
Aturan main keprofesionalitasan yang dapat dipegang dan dijadikan
rujukan bersama, dalam menggulirkan otonomi daerah.
Sedangkan prinsip terakhir, adalah adanya pelayanan yang baik
terhadap klien (masyarakat). Sikap melayani, dalam konteks
operasionalisasi otonomi daerah misalnya, menjadi taruhan penting akan
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah nanti. Otonomi daerah
menggelorakan semangat kompetisi dan profesionalisme. Permasalahannya
sekarang, sudahkah parameter profesionalisme di atas tercermin dalam
masyarakat dan birokrat kita di daerah?
Jika kita merujuk pada dua fenomena yang telah dikemukakan
sebelumnya, boleh jadi puluhan fenomena serupa dapat menimpa puluhan
lagi pada masyarakat. Terlebih jika, mengamati adanya kecenderungan
birokrat kita yang tidak produktif, tidak kompetitif, dan akreatif yang
sering dikeluhkan masyarakat. Untuk itu, maka penting untuk melakukan
semacam reformasi mental terhadap mentalitas birokrat kita. Berikutnya,
juga penting untuk melakukan reformasi mental masyarakat sendiri, untuk
tidak terjebak kembali pada sikap-sikap kolutif, koruptif, dan nepotik.
Di sinilah barangkali pentingnya penyadaran ulang terhadap reformasi
mental birokrat kita. Di masa Orba, barangkali bolehlah birokrat
dikukuhkan sebagai “ndara”, “boss”, atau apapun namanya.
Tetapi dalam konteks “gong otonomi daerah” yang menekankan pada
profesionalisme, tentunya tidak boleh terjadi. Sebaliknya,
profesionalisme pejabat mengamanatkan perlunya sikap melayani, bukan kumandara, atau adigang adigung adiguna. Apalagi
sikap-sikap mental masyarakat dan birokrat kita yang cenderung malas,
tidak produktif, tidak bertanggungjawab, loyal semu, sampai yang oleh
Hanry Murrray disebutnya dengan naluri (etos?) ingin menguasai orang
lain (need of dominance) (lihat: Ekplorations in Personality (New York:1938)) penting untuk dihapuskan.
Di sinilah, urgensifnya reformasi mental masyarakat dan birokrat
kita, untuk memaksimalkan operasionalisasi otonomi daerah. Sebab, jika
sikap-sikap reformatif hanya sekedar retorika, maka bersiaplah kita
tergulung oleh era globalisasi dunia yang sudah berada diambang daerah.
Kalau masyarakat dan birokrat kita masih juga saling menyalahkan,
membenarkan diri sendiri, berdalih, dan bahkan menyerah dengan apa yang
terjadi, maka hal demikian merupakan persoalan dasar (besar?) yang oleh
Bobbi De Porter disebutnya dengan “Hidup di Bawah Garis Tanggung jawab”.
Dalam menggulirkan otonomi daerah, karenanya mutlak dibutuhkan sikap
hidup yang “Di Atas Garis Tanggung jawab”. Bobbi De Porter, karenanya
menyarankan perlunya “reformasi mental” dengan membiasakan diri untuk
bertanggungjawab, mencari pilihan, menentukan solusi hidup,
berkebebasan, dan berkamauan untuk melakukan perubahan terhadap sesuatu
(termasuk profesi) yang sedang dihadapi (lihat: Quantum Teaching, 2000:197).
Meski saran De Porter ini ditujukan dalam pendidikan, tampaknya
menarik untuk ditransformasikan dalam “mereformasi mental” masyarakat
dan birokrat, yang sedang getol-getolnya meningkatkan profesionalitas
untuk menyongsong otonomi daerah 2001. Jika reformasi mental tidak
ditempuh, maka kecil kemungkinan masyarakat madani dan masyarakat
birokrat yang profesional, yang digemborkan berbagai pihak akan
terwujud. Sebab, kemadanian (kemodernan) hanya dapat diwujudkan jika
salah satu parameternya (profesionalisme) ini, juga terwujud dalam
kehidupan profesi/birokrat di daerah.
Akankah kita bergerak maju dalam perubahan zaman yang
“berkeotonomi-daerahan” dan “berkemadanian” atau tergulung dalam arus
pusaran zaman karena derasnya arus globalisasi.
*) Dosen STKIP PGRI Ponorogo, Mahasiswa Pascasarjana UNS.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/04/reformasi-mental-kunci-sukses-otonomi-daerah/
Senin, 08 April 2013
Reformasi Mental, Kunci Sukses Otonomi Daerah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar