Sutejo
Kata Prof. Suwardi Endraswara, secara simpel literasi itu "melek". Ya, melek aksara, melek makna, melek budaya, melek solusi (sintesa). Generasi yang melek (literat) dengan demikian adalah mereka yg cerdas dalam hidup (dan kehidupan).
Masalah misalnya, seorang yang melek (hidup) akan memandangnya sebagai "cara Tuhan" mencerdaskan kita (meliterasikan) diri. Tak ada yg bisa hindar, karena itu, menikmati, menghayati, dan memaknainya adalah tugas literasi hidup yang indah. Masalah hanyalah cara Ilahi mengindahkan pengalaman diri.
Melek cinta misalnya dalam konteks kekinian jadi begitu penting. Delapan bulan terakhir, saya dihentakkan oleh realita remaja (pelajar dan mahasiswa) yg belasan kali pacaran berganti pasangan. Hati kecil saya bertanya, "Apa yang mereka bayangkan tentang cinta?"
Cinta remaja mutakhir, sungguh bisa menguras pikir, bagi mereka yg masih percaya tentang hukum perbuatan. Hukum "gema kehidupan", dimana kehidupan hanya akan memantulkan perbuatan dan kata yg kuta lakukan.
Cinta remaja mutakhir, sungguh bisa menguras pikir, bagi mereka yg masih percaya tentang hukum perbuatan. Hukum "gema kehidupan", dimana kehidupan hanya akan memantulkan perbuatan dan kata yg kuta lakukan.
Merenungkan lterasi hidup dalam konteks modern wajib terdukung oleh kematangan literasi lainnya. Khususnya literasi media, digital, dan teknologi. Tersebab, ketiga literasi ini yg sering menjerumuskan remaja mutakhir. Kasus di Slahung (Ponorogo) dua hari lalu, gadis 14 tahun menjadi korban seksualitas remaja 20-an tahun adalah fakta gunung es akan rendahnya literasi hidup masyarakat.
Bukankah ini tugas bersama kita?
Bukankah ini tugas bersama kita?
Kegagalan "Literasi hidup" seakan hanya dipenuhi masalah cinta, perkawinan, dan ekonomi material. Literasi (melek) kehidupan akhirnya, menjadi kunci segala sendi hidup. Perkawinan misalnya bagi yang melek hidup akan dipahami sebagai medan juang (jihad yang indah). Kemelekan pasangan hidup sungguh jadi tuntutan. Bukan sebaliknya.
Jija kita sepakat bahwa "tak ada jalan lurus", paling jalan yg lurus terbatas, maka keloknya jalan hanyalah keindahan sebuah perjalanan. Jalan cinta, misalnya, selalu ada dua: terlarang dan terpadang (terang). Di sinilah dibutuhan kearifan, kebijaksanaan, dan seperangkat mental spiritual yang kuat dan mengikat.
Kita bisa belajar kedamaian dari kucing yang sedang bahagia bersama keenam cemengnya. Foto ini adalah pesan literasi hidup dari sisi lain.
Salam literasi hidup,
Kuktumku malam ini.
Kuktumku malam ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar