Sutejo
Aku mengetikkan kata tetapi bukan sekadar diksi tetapi juga hati, rasa, dan jiwa. Pergulatan terbesar seorang pembelajar adalah ketika di pelupuk matanya hinggap (a) fenomena yang ansurd, (b) realita yang ironis, (3) perbuatan dan kegiatan yang paradoks, (4) informasi "ngelantur", dan (5) pameran perangai dan bahasa kebohongan. Sesungguhnya, jiwa penulis selalu terguncang, sakit, teriris, membuncah, dan meracau barangkali. Hehe.
Literasi misalnya adalah ajaran tentang kemelekan (melek) sehingga begitu banyak menuntut hal macam (a) pemahaman, (b) kesadaran, (c) pemaknaan, dan (d) pensintesaan atas kahanan (realita, teks, nonteks, wacana, dan apapun). Puncak literasi adalah harmonisasi berbasis kesadaran. Keseimbangan lahir batin, kesamaan lahir batin, kejujuran lahir batin, perbuatan lahir batin, dan bahasa lahir batin. Bukan sebaliknya.
Kesadaran lalu lintas misalnya, bukan sekadar kita mengenal makna rambunya, tetapi bagaimana ia melebur dalam budaya perilaku sehingga melahirkan keselamatan bersama. Kesadaran etik berlalulintas antara beroda dua dan diatasnya, sungguh mengerikan jika sedang berkendaraan. Alangkah indahnya jika, kesadaran etik tanpa mengganggu hak berkendara orang lain.
Sementara, kehidupan umum macam pacaran remaja --terang terang telah mengganggu stabilitas sosial-- tak pernah mendapat perhatian maksimal. Entah itu keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara. Korban-korban berjatuhan dimana-mana, tetapi sungguh "kecelakaan literasi cinta" tak pernah diseriusi sehingga kualitas generasi terus mengalami erupsi sosialnya. Lantas, di mnana, kemana, dan bagaimana literasi sosial-budaya?
20.05
Tidak ada komentar:
Posting Komentar