Sutejo
Surabaya Post, 9 Okt 1994
Bagaimanakah fenomena pengajaran sastra dewasa ini? Banyak isu yang
menyudutkan para guru sastra , dari minusnya apresiasi sampai kurangnya
inovasi dalam pengajarannya.
Isu demikian menarik untuk dicermati karena secara makro kita melihat
banyak aspek yang kurang mendukung dalam operasional pengajaran sastra
itu sendiri. Dari segi siswa jelas tidak semuanya berminat dan berbakat
terhadap bidang sastra. Apalagi jika
dikaitkan dengan sarana pengajarannya, maka kendala yang akan segera
tampak adalah minusnya pustaka sastra, tidak adanya sanggar sastra di
sekolah, apalagi semacam ‘’laboratorium sastra’’. Di samping keberadaan
kurikulum yang memberikan alokasi waktu untuk bidang sastra begitu
minim, hanya sekitar 16% pada kurikulum 1984. kemudian pada kurikulum
1994 menjadi sekitar 30%. Itu pun apresiasi bahasa dan sastra Indonesia.
Romo Mangun pernah menyindir bahwasanya kegagalan selama ini
disebabkan pengajaran sastra di sekolah hanya memfokuskan pada sejarah
sastra dan pengajaran tentang sastra, bukan pelatihan apresiasinya.
Sedangkan dari kacamata Jakob Sumardjo, kegagalan itu lebih disebabkan
tidak berkembang dan tertanamnya apresiasi seni yang baik di lingkungan
pelajar dan remaja kita. Mereka lebih suka membaca novel terbaru Marga
T. daripada Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad
Tohari. Mereka lebih punya apresiasi karya seni yang tidak diajarkan di
sekolah, melainkan yang diajarkan masyarakat sendiri lewat jalur dagang.
Parodi Pengajaran Sastra
Jika kegagalan pengajaran sastra dianggap karena kurangnya kompetensi
guru, maka sinyalemen itu menjadi lebih menarik. Realitasnya, banyak
guru sastra yang apresiasinya rendah. Tak jarang seorang guru sastra
dalam pengajarannya menggunakan petunjuk apresiasi tanpa mencoba
berkreasi-apresiasi sendiri. Sehingga transfer apresiasi yang dilakukan
pun bak mengenakan ‘’seragam apresiasi’’. Tanpa adanya pelatihan yang
berarti.
Fakta lain yang segera tampak adalah ketika guru mengajarkan novel
misalnya, tak jarang mereka hanya mengajarkan sinopsis tanpa mengajak
siswa membaca novelnya secara langsung.
Realitas lain yang menarik adalah guru sastra cenderung tidak berani
mengambil karya-karya yang tersebar di media massa. Sebaliknya sudah
terpola dalam buku paket. Karenanya, logis jika Jakob Sumardjo menyindir
bahwa remaja dan pelajar kita lebih suka membaca novel-novel pop
daripada novel sastra. Karena iklim pengajaran sastra kita yang kurang
mengenalkan buku dan karya sastra secara langsung. Sementara novel-novel
pop diajarkan tiap hari oleh iklim hiburan.
Kalau sapek aspek apresiasi saja sudah direduksikan pengajarannya
menjadi apresiasi sinopsis maka reproduksi sastra pun akan terdepak dari
dunia pengajaran. Kurikulum 1984 misalnya, aspek reproduksi tampak pada
kelas I dan II, yakni tentang pembuatan cerita pendek sederhana yang
merupakan uraian dari pokok bahasan apresiasi. Dan pembuatan drama
perjuangan yang merupakan uraian dari pokok bahasan apresiasi. Dan
pembuatan naskah drama perjuangan yang merupakan pokok bahasan menulis.
Dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang memberikan porsi bidang
sastra lebih besar dari sebelumnya, maka minusnya alokasi waktu akan
dapat teratasi. Minimal terkurangi. Aspek reproduksi juga lebih
terkembangkan. Karena dalam kurikulum 1994 siswa dituntut mampu menulis
puisi, prosa, dan drama. Sedangkan untuk program bahasa ditambah
reproduksi kritik dan esai sastra.
Aspek reproduksi seperti yang diisyaratkan kurikulum 1994 demikian
jelas menjadi tantangan bagi guru-guru sastra. Kalau aspek apresiasi
sastra saja yang ditekankan dalam kurikulum 1994 sudah banyak melahirkan
parodi sumbang maka aspek reproduksi orientasi kurikulum 1994
diharapkan tidak akan memperpanjang pergunjingan akan kegagalan
pengajaran sastra selama ini.
Dengan demikian jelas dipersyaratkan figur guru sastra yang
benar-benar mempunyai kompetensi resepsi sastra yang andal di samping
kemampuan reproduksinya. Sebagaimana bidang seni yang lain , yang
memberikan pelatihan reproduksi maka dalam pengajaran sastra tentunya
bukan hal mustahil untuk dibinakan. Toh, aneka pengakuan proses kreatif
penyair sudah banyak dipublikasikan. Seperti yang terkumpul dalam ‘’Proses Kreatif I, II, III’’ yang dieditori Panusuk Este.
Figur Guru Sastra Alternatif
Dari kendala pengajaran sastra selama ini, maka menyongsong berlakunya kurikulum 1994 dapat dialternatifkan sebagai berikut: Pertama,
guru sastra harus benar-benar berkompetensi, baik itu yang bersifat
reseptif-kreatif maupun kreatif-produktif. Dalam kriteria ini guru
dimaksudkan mempunyai ketajaman apresiasi, wawasan kesastraan, dan mau
terlibat dalam proses produksi karya. Kedua, guru sastra
hendaknya mau terlibat langsung dalam aneka kegiatan sastra dan budaya,
minimal mengikuti lewat media massa. Dengan persyaratan ini dikehendaki
guru sastra punya dinamika wawasan kesastraannya. Ketiga, guru
sastra harus kreatif mengambil materi pelajaran dari karya-karya yang
telah terpublikasikan lewat media massa. Bukan ter’’plot’’ oleh buku
paket dan petunjuk apresiasi.
Keempat, guru sastra harus berani memfragmentasikan
karya-karya sastra yang sesuai dengan nuansa kejiwaan siswa. Dengan
begitu akan diperoleh aneka penghayatan aneka nuansa dan karakter dalam
karya sastra. Kelima, guru sastra harus membimbing kemampuan
reproduksi siswa dengan pendekatan empiris, kemudian mengikutkannya
dalam aneka lomba cipta puisi dan prosa. Keenam, guru sastra
hendaknya mempunyai pustaka sastra yang memadai meskipun perpustakaan
sekolah tidak memungkinkannya. Dengan kekayaan kepustakaan sekolah tidak
memungkinkannya. Dengan kekayaan kepustakaan begitu diharapkan guru
semakin mengakrabinya.
Ketujuh, kemampuan guru menciptakan semacam ‘’sanggar
sastra’’ atau ‘’laboratorium sastra’’. Adanya laboratorium sastra dengan
fasilitas yang cukup: ruang pengkajian, lengkapnya pustaka, dan sarana
lain yang memadai. Namun sebagaimana disadari bersama, bahwa pengajaran
sastra itu pada hakikatnya suatu yang kompleks dan rumit. Maka mesti
alternatif ini terpenuhi bukan jaminan akan keberhasilan pengajarannya.
Sebab sistem pengajaran secara makro akan tetatp berandil besar, seperti
bakat siswa dan iklim sekolah tertentu.
Namun dengan alternatif demikian, kita boleh berharap akan lenyapnya
isu kegagalan pengajaran sastra selama ini. Sehingga perjuangan para
perumus dan pengembang kurikulum 1994 yang mengalternatifkan alokasi
waktu sekitar 30% dalam pengajarn Bahasa Indonesia tidak sia-sia.
Tapi semuanya memang bergantung pada praktik empiris di lapangan nanti di samping sistem pengajaran sastra kita secara makro.
*) Dosen Kopertis VII Surabaya, pengasuh Sanggar Wahana Sastra RKPD Suara Ponorogo, Jawa Timur.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/10/figur-guru-sastra-yang-ideal/
Sabtu, 20 Oktober 2012
Figur Guru Sastra yang Ideal
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar