Sutejo *
Karya Darma, 30 Nov 1994
Berlakunya kurikulum bahasa Indonesia 1994 dalam dunia pendidikan
kita secara teoritis akan menuansakan warna baru dalam pengajarannya. Di
samping alokasi waktu yang lebih besar dibandingkan dengan kurikulum
sebelumnya, juga ditingkatkannya aspek reproduksi sastra yang menekankan
pada kemampuan dan bakat siswa untuk melahirkan karya sastra.
Kalau selama ini sering disinggung oleh banyak pihak bahwasannya
pengajaran sastra telah mengalami kegagalan, maka kita sebagai pengajar
sastra akan merasa ikut bertanggung jawab atas terhapusnya suara sumbang
berkaitan dengan isu pengajaran sastra yang demikian. Sebagaimana
bidang seni yang lain, tentunya aspek reproduksi sastra sebenarnya tidak
berbeda dengan reproduksi seni yang lain. Kalau menggambar bisa
diajarkan kepada siswa yang menekankan pada kemampuan melukis, dan bukan
pengetahuan tentang seni lukisnya, maka pengajaran sastra pun mestinya
juga harus mengarah pada orientasi yang demikian. Dan gejala ke arah
demikian tampaknya sudah ada, yakni dengan berlakunya kurikulum Bahasa
Indonesia (BI) 1994.
Isyarat kurikulum
Kurikulum 1994 Bahasa Indonesia dalam hal pengajaran sastra sudah
mendiktum akan pentingnya pengajaran reproduksi sastra. Hal demikian
tampak pada kelas satu, dua dan tiga, yang tentunya berbeda dengan
kurikulum 1984. Adapun aspek pembelajaran reproduksi sastra seperti yang
diisyaratkan kurikulum 1994 itu dapat dikemukakan sebagai berikut pada
cawu 2 kelas I, siswa dituntut mampu menulis puisi, cerita pendek, atau
drama, dan mempublikasikannya di majalah dinding, majalah sekolah, atau
media massa.
Pada cawu I kelas II, siswa juga dituntut sampai membuat puisi,
cerita pendek atau drama, dan mempublikasikannya. Berikutnya siswa harus
membuat tanggapan terhadap karya sastra. Sedangkan pada cawu 3 kelas
II, aspek reproduksi juga dibelajarkan secara lebih spesifik, yakni (i)
siswa diharapkan mampu menulis karya sastra yang berkaitan dengan
keindahan alam, (ii) mampu menuliskan pengalaman yang paling menarik
dalam bentuk drama, dan (iii) mampu membahas drama yang telah disusun
dan memperbaiki berdasarkan hasil pembahasan.
Pada kelas III cawu 1 siswa juga dibelajarkan untuk mampu menyusun
resensi sebuah novel karya pengarang Indonesia. Untuk program bahasa di
kelas III, siswa dalam hal aspek reproduksi ini juga dituntut untuk (i)
menyusun kritik terhadap karya sastra baik prosa, puisi, drama, dan
film, dan (ii) menyusun esai terhadap karya sastra baik prosa, puisi,
drama dan film.
Isyarat kurikulum BI demikian menuntut pengajar sastra secara
teoritis-logis mampu secara reproduktif menghasilkan karya sastra. Maka,
tak ada jalan lain kecuali membekali diri bagi pengajar sastra dengan
kemampuan reproduksi karya, bukan saja sebagai selama ini terjadi, yang
hanya mengajarkan teori sastra, sejarah sastra, dan sedikit pelatihan
apresiasi.
Problema dan alternatif
Kalau kurikulum 1994 sudah memberikan rambu reproduksi sastra yang
demikian leluasa maka permasalahan yang segera tampak adalah
bagaimanakah pengajar sastra mampu menerjemahkan rambu-rambu itu dalam
aplikasi pengajarannya? Sudahkah pengajar sastra kita mempunyai
kemampuan reproduksi sastra? Tampaknya kita harus membuka diri dan
memasang cermin lebar-lebar untuk mendapatkan bayangan sejujurnya
tentang realitanya.
Pengajar sastra (dalam hal ini guru BI) kalau mau jujur tidaklah
semuanya berkompetensi terhadap sastra. Oleh sebab itu, pengajarannya
tak lebih hanya bercerita tentang teori dan sejarah sastra.
Pengajarannya hanya bercerita tentang sinopsis cerpen, sinopsis novel,
tanpa pengenalan secara langsung terhadap karya sastra secara utuh.
Demikian juga tentang puisi pengajarannya masih sepenggal-penggal, tanpa
melibatkan siswa dalam proses kreatif-rekreatif sehingga tidaklah
memberikan pengalaman batin yang dalam. Sebaliknya, hanya pengulangan
sejarah sastra yang kian hari tambah menjemukan.
Sastra mestinya dapat secara reproduktif aktif dibinakan kepada siswa
didik. Sebagaimana pengajaran seni lukis dan seni tari. Karenanya,
sudah waktunya ada semacam upaya peningkatan mutu kualitas pengajaran
sastra untuk mengembangkan semaksimal mungkin reproduksi sastra sehingga
minimal akan memberikan bekal sastra yang akan sangat berguna dalam
kehidupan siswa didik.
Sebagaimana respon berlakunya kurikulum 1994 maka alternatif pengajaran sastra dapat dikemukakan sebagai berikut: Pertama, pengajar
sastra dipersyaratkan mampu secara aktif terlibat langsung dalam
melahirkan karya sastra (minimal karya fiksi imajinatif). Dengan begitu,
akan dapat mengenali, mengarahkan, dan membimbing siswa didiknya untuk
mereproduksi karya. Bagaimana mungkin kalau pengajar sastra tidak
mempunyai pengalaman langsung, kreatif imajinatif, untuk mengajarkan
kepada anak didiknya, menggelutinya secara langsung. Lembaran-lembaran
budaya dan sastra yang hampir tiap pekan terpublikasikan di berbagai
media massa dapat dimanfaatkan sebagai tempat mengasah dan mempertajam
kemampuan reproduksinya.
Kedua, pengajar sastra hendaknya mampu memanfaatkan
pengakuan “proses kreatif” para penyair kita, yang banyak ditemukan
dalam berbagai wawancara dan dialog di berbagai media massa, atau yang
sudah terkumpulkan dalam tiga buku Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang,
yang dieditori Pamusuk Eneste. Pengalaman proses kreatif para penyair
demikian penting artinya bagi siswa didik untuk menumbuhkan aspek
reproduksi sastranya. Meskipun, pengalaman proses kreatif itu sendiri
sangat khas dan individual sifatnya, namun setidaknya secara umum kita
dapat mengambil mutiara hikmah yang ada pada mereka.
Sebagai contoh: proses kreatif Arswendo Atmowiloto yang pada
awal-awal kepenulisannya diilhami dengan kisah dan keinginan batinnya
untuk mendapatkan seorang gadis idamannya. Kemudian dia gubah sebuah
cerita pendek dan dimuat dalam media massa. Ditunjukkan pada sang gadis,
sayang gadis idamannya tidak percaya kalau itu karya Arswendo. Kemudian
dia menulis lagi, dan menulis lagi. Sayang tulisan berikutnya tidak
dimuat. Sementara, gadis yang diburunya sudah tergaet cowok lain yang
bervespa. Dalam buku Proses Kreatif I, dia menuliskan pengakuan begini: Seandainya saya putus asa ketika itu barangkali saya tidak akan menjadi penulis.
Ketiga, pengajar sastra juga harus mampu menawarkan
buku-buku yang berkaitan langsung dengan kegiatan reproduksi, yakni
buku-buku bimbingan menulis. Buku-buku semisal Mengarang itu Gampang-nya Arswendo Atmowiloto, Menggebrak Dunia Mengarang-nya Eka Budianta (1992), ataupun Yuk, Nulis Cerpen Yuk (1994, cet. ke-2)
dari Muhammad Diponegoro patut kiranya diperkenalkan kepada siswa didik
untuk memberikan bimbingan praktis dalam mengembangkan aspek reproduksi
sastra.
Keempat, pengajar sastra harus mampu memanfaatkan motto para
penyair. Putu Wijaya misalnya menyebutnya mengarang itu berjuang. Budi
Darma menyebutnya dengan mengarang itu berpikir dan berfilsafat, atau
juga Arswendo yang menyebutnya bahwa mengarang itu gampang. Dalam
konteks langkah ini, siswa didik akan diajak mengenal dan menggeluti
proses kreatif mereka dengan teknik “Menggareng dan Mempetruk”. Gareng
biasanya dalam cerita wayang terkenal dengan kemampuan memberikan
motivasi sementara Petruk suka menakut-nakuti. Keadaan demikian,
tentunya akan menawarkan keseimbangan kejiwaan dalam mengembangkan
kemampuan reproduksi sastra pada diri siswa didik.
Kelima, perlunya pelatihan reproduksi siswa sehingga anak
akan memetik langsung hikmah pengembaraan jiwanya untuk memberikan
pengalaman yang baik. Melibatkan siswa dalam berbagai kegiatan uji coba
kreativitas, dan kegiatan lain yang membimbing kedewasaan reproduksi
untuk mencapai pengembangan potensi kepenulisannya secara maksimal.
Dari alternatif di atas barangkali akan dapat membantu pengajar
sastra dalam menerjemahkan “aspek reproduksi sastra” sebagaimana yang
diisyaratkan dalam kurikulum 1994 di mana hakikatnya siswa didik
dituntut mampu menulis (memproduksi) puisi, cerpen, maupun drama dan
mempublikasikannya.
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo penulis adalah pengasuh Sanggar Wahana
RKPD Suara Ponorogo dan Staf Pengajar di lingkungan Kopertis Wilayah
VII Surabaya.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/reproduksi-sastra-dalam-kurikulum-1994/
Kamis, 13 Desember 2012
Reproduksi Sastra Dalam Kurikulum 1994
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar