Judul : Titik Nadir Demokrasi
Pengarang: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Zaituna, November 1997
Tebal: xvi + 368 halaman
Peresensi : Sutejo *
Kompas, 27 April 1997
ADAM Schwarz dalam bukunya berjudul A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s (1994),
mensinyalir bahwa tiada aturan-aturan yang jelas tentang apa yang
disebut dengan pelanggaran atau kepatutan di bidang politik di masa Orde
Baru: hak sosial rakyat dan individu dalam demokratisasi. Tujuan hukum,
tulisnya, bukan untuk menjunjung hukum tapi untuk menjunjung kemauan
pemerintah.
Fokus demokratisasi di Indonesia, dalam era mutakhir, sangat
tergantung pada bagaimana suksesi berlangsung. Karenanya, proses
tawar-menawar berlangsung tertutup: pejabat eksekutif, ABRI, usahawan
besar, politik Islam, kaum cendekiawan, dan kalangan yang berkepentingan
di luar negeri. Problem (dilema?) terbesar Indonesia adalah bagaimana
perlunya perencanaan arif dan terbuka di tengah-tengah semakin
tertutupnya kemungkinan perencanaan yang demikian – karena sifat
patrimonial dari sumbu kekuasaan Orde Baru.
Format politik Orde Baru telah tersusun sedemikian rupa sejak 1969
dan siapa pun yang menggantikannya (1998 atau 2003) –tentu– bobot dan
kharismanya akan terjadi kesenjangan yang tajam.
Hal-hal itulah dalam anasir-anasir Emha pada Titik Nadir Demokrasi,
mengalami pendalaman dan penggalian yang “menggigit”. Sebuah potret
kesunyian manusia di tengah-tengah hiruk pikuk manipulasi demokrasi.
Karena itu, dia mensiniskan bahwa potret manusia macam Bambang Warih dan
Bintang Pamungkas yang GR jadi wakil rakyat (hal. 216-217).
***
MENCERMATI Titik Nadir Demokrasi, seperti membaca kolom dan tulisan Emha di berbagai media: Tiras, Gatra, Matra, Forum Keadilan, Sinar Target, Bernas, dan Kedaulatan Rakyat. Satu bab yang paling menarik dari buku ini adalah Gara-gara (Goro-Goro?). Kalau Goro-Goro dalam pakem Pewayangan adalah sebuah babak di mana kekacauan (chaos?) terjadi pada kalangan pangreh praja: sinema chaos yang diperdalam dengan menyatunya rohaniawan dengan penguasa, yang tak punya lagi suara kritis, rohaniawannya tan bangkit anemu, manjing praja, minta pitulungane ratu (lari ke keraton minta pertolongan raja) maka Goro-Goro dalam Titik Nadir Demokrasi hakikatnya juga presentasi dan refleksi kritis dari fenomena kekacauan kehidupan politik dan demokrasi di Republik yang keratonis dalam bahasa Emha ini.
Goro-Goro karenanya memotret panca-tema absurdis di jalan lingkar demokrasi-PDI: Mega dan Mendung, Ijazah buat Megawati, Tak Kan Lari Mega Dibuang, Demokrasi, Bumbu dan Transaksi, serta Bunker-Bunker Demokrasi.
Sekaligus puncak (komplikasi) dari prahara demokrasi yang membutuhkan
kehadiran seorang Semar. Dalam ideologi wayang, kehadiran Semar beserta punakawan lain: Gareng, Petruk, dan Bagong adalah semacam modus-metodologis untuk meleraikan chaos para ksatria yang alpa. Karena sebutan pono bagi mereka adalah sebuah metafor untuk memahami sesuatu dengan hening untuk mencapai kesempurnaan. Tapi dalam bagian ini, Emha tidak mau “menghadirkan” Semar.
Goro-Goro buku ini, lebih mengarah pada upaya reportase dari
kekacauan demokrasi politik itu sendiri, yang karenanya Semar –yang
hakikatnya adalah rakyat– biarlah akan bicara dan hadir dengan
sendirinya. Dalam Mega dan Mendung misalnya (hal. 219-227),
bagaimana penulis sendiri melakukan semacam “tawar-menawar” dari
kebimbangannya sebagai “orang yang tahu” atas kenadiran
demokrasi-politik. Semula judul yang dikehendaki adalah The Untouchable dan Sindroma Drestajumena.
The Untouchable, menurut Emha, semacam instrumen untuk
menjelaskan sesuatu yang diketahuinya persis, namun karena berbagai
pertimbangan –politis dan kultural– terpaksa tak bisa dipaparkan. Sebab,
ia menjadi semacam kias dari potret obrolan sehari-hari yang suka
menuding “rekayasa” dan “dalang di balik peristiwa”, namun semuanya
nyaris tak terbahasakan pada ujungnya.
Sedang Sindroma Drestajumena pada hakikatnya adalah elegi politik-demokrasi yang ditransfer dari
alam pewayangan. Elegi itu berawal dari tidak diakuinya Drestajumena
(titisan Prabu Bambang Ekalaya) sebagai cantrik Durna. Karena itu ia
membuat patung Durna dan bersemedi di hadapannya. Walhasil, ia lebih
sakti ketimbang cantrik-cantrik resmi Durna.
Konflik terjadi ketika skandal seks Arjuna dengan permaisuri Ekalaya.
Mereka duel, Arjuna tumpas. Namun ini menyalahi skenario Dewa, sehingga
Arjuna dihidupkan kembali oleh Kresna – mandataris utama “suprastruktur
kekuasaan alam semesta”. Tapi Arjuna ogah hidup kalau Ekalaya tidak
mati. Maka Kresna pun menyamar jadi Durna: membunuh Ekalaya.
Fokus permasalahannya adalah tahunya si Ekalaya bahwa si pembunuh
adalah Durna, bukan Kresna. Karenanya, generasi penerus Ekalaya akan
dendam kesumat kepada Durna: orang yang sama sekali tak bersalah! Kresno
sendiri -yang licik itu– tetap menjadi super hero yang gemerlap
eksistensinya. Dengan serius Emha kemudian bertanya, “Siapa Durna, siapa
Kresna, dan siapa Ekalaya? Bukankah kita harus siap dengan kewaspadaan
pertanyaan semacam itu dalam melihat apa dan siapa pun saja di sekitar
kita, apalagi jika itu menyangkut masalah-masalah besar nasional?” (hal.
223).
***
MAKA sekadar inventarisasi dari Goro-Goro Indonesia mutakhir, para pangreh praja bersembunyi di balik eufemisme dan arbiter-nya
bahasa: “Ada dalangnya” (kerusuhan Tasikmalaya), penyimpangan prosedur
(kasus Adi Andoyo), “penghinaan Presiden” (kasus Bintang Pamungkas),
“gerakan makar” dengan “sejumlah orang hilang” (kasus 27 Juli),
“penyalahgunaan wewenang” (kasus Eddy Tansil) dan sebagainya. Yang
semuanya sebenarnya, dalam bahasa Emha bermuara pada narkotika
kebudayaan Indonesia.
Dan inilah ironisnya, ketika masyarakat madani (civil society) yang lazim disebut voluntary organization –LSM untuk sebutan Indonesia– gencar melakukan semacam pemberdayaan (empowering) masyarakat di satu sisi, dan melakukan advokasi terhadap pemerintah terhadap berbagai policy pada
sisi yang lain. Pemerintah sendiri dengan “angkuh” menembakkan peluru
pamungkas: kegiatan makar, komunis, anasionalis. Pada hal sesungguhnya,
LSM (civil society?) dalam bahasa Peter Berger jelas-jelas sebagai “institusi perantara” (intermediary institution)!
Dengan demikian, membaca tulisan-tulisan Emha dalam Titik Nadir Demokrasi ini menjadi semacam media alternatif karena buntunya multi-akses yang ada. Semacam pencerahan jiwa dalam teori Katarsis. Sebagaimana lazimnya
buku-buku Emha, sarat dengan diksi Arab dan Inggris –acapkali juga
idiom khusus–, maka tanpa bekal bahasa yang “cukup” tentu akan
menyulitkan para pembaca yang awam. Sebab sebagaimana Mohammad Sobary,
yang pernah me-rehal Markesot Bertutur, dengan rendah hati bilang pada mulanya dia mengalami kesulitan memahaminya. Bagaimana dengan Anda? Gampang, cukup sesekali nyerupit kopi hangat, berkernyit, dan cekikikan seperti “perawan-perawan” yang menunggu “pinangan”.
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/demokrasi-di-babak-goro-goro/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar