Judul: Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi
Pengarang: Syaifullah
Penerbit: Pustaka Utama Grafiti,1997
Tebal: xxix + 298 halaman
Peresensi: Sutejo *
Kompas, 15 Mei 1997
TRAGEDI yang dialami Amien Rais “tergelincir” dari kursi Ketua Dewan Pakar ICMI bukanlah tragedi “politik” Muhammadiyah. Pertama, karena ICMI tidak ada “sangkut pautnya” secara organisatoris dengan politik. Kedua, Muhammadiyah pun bukan sebuah partai politik. Meski keduanya, “geliat-lakunya” berinspirasi dan beraspirasi politik.
Dan ini, berbeda dengan Masyumi yang dibubarkan Presiden Soekarno di
zaman Orde Lama, sehingga Muhammadiyah sebagai sayap utamanya: patah!
Berbeda lagi dengan NU, yang pernah menjadi parpol dominan –pasca
Masyumi dibredel- namun tergelincir di panggung Orde Baru yang licin.
Buku Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi ini memang tidak berbicara masalah peran politiknya di pantas Orde Baru. Tapi merupakan deskripsi dan eksposisi historis di
masa demokrasi liberal dan terpimpin. Secara historis karenanya,
Muhammadiyah punya pengalaman pahit-getir selama menjadi sayap Masyumi.
***
BERASAL dari tesis pasca sarjana Syaifullah di IAIN Syarif
Hidayatullah, pada prinsipnya buku ini menyorot tiga corak perilaku
politik Muhammadiyah, yang tercermin pada bab empat (hlm. 141-214). Dan
pada salah satu sub-bab Dinamika Hubungan Muhammadiyah-Masyumi, secara kronologis bisa disimak bagaimana kemesraan itu tercipta, “konflik-kerenggangan” sebelum akhirnya ending “perceraian”-nya.
Corak pertama Muhammadiyah adalah revivalisme formal legalistik. Ini
juga corak golongan Islam secara umum. Secara historis, momen itu
mengagendakan dua persoalan penting: penentuan Islam sebagai dasar
negara (sidang BPUPKI) dan persyaratan agama Islam bagi presiden dan
wakil presiden (sidang BPUPKI 14 Juli 1945).
Pascapemilu 1955 revivalisme ini semakin tampak kental pada
sidang tanwir 1956 Kaliurang, Yogyakarta. Pada sidang itu muncullah
empat pemikiran politik Muhammadiyah. Pertama, mereka yang menghendaki putusnya hubungan dengan Masyumi kemudian menjadikan Muhammadiyah sebagai parpol. Kedua, mereka
yang menghendaki putusnya hubungan dengan Masyumi namun tidak
menjadikan Muhammadiyah parpol, tetapi memberikan kebebasan berpolitik
individu. Ketiga, mereka yang menghendaki putus, menjadikan
Muhammadiyah parpol, dan menjalin hubungan dengan parpol Islam lain
untuk membentuk federasi. Sedangkan pemikiran keempat, tetap menginginkan jalinan hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi.
Corak revivalisme Muhammadiyah ini terwakili dengan
munculnya tokoh-tokoh puncak seperti Prof. A. Kahar Muzakkir, KH Mas
Mansur, Dr Sukiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadi Kusumo dalam mengukir
landasan negara (hlm. 223).
Corak kedua adalah modernis. Ini merupakan corak
perilaku politik Muhammadiyah yang menginginkannya sebagai gerakan
nonpolitik namun tidak antipolitik. Hal ini didasari rasional bahwa
Muhammadiyah dalam mencapai cita-citanya berpijak pada dua titik
gerakan: pembaharuan ajaran Islam dan kemenangan dunia Islam. Di
samping, pentingnya wadah politik di luar Muhammadiyah. Karena itu,
–urusan politik- harus didasarkan pada strategi jangka panjang (hlm.
225, 230-234). Khittah Ponorogo (1969) karenanya, menjadi
cermin penting corak modernisme politik Muhammadiyah pada awal Orde
Baru. Namun prakteknya kemudian berakhir setelah adanya kebijakan
politik Muhammadiyah dalam Muktamar Muhammadiyah ke-38 (1971) di
Ujungpandang –kembali ke corak survivalisme- (hlm. 234).
Dan, di sinilah tampaknya, bisa dipahami bahwa tergelincirnya Amien
Rais –bukan karena peran politik Muhammadiyah- namun lebih pada
kevokalannya akan analisis politik terhadap Busang, Freeport, dan
kerusuhan yang terjadi di Tanah Air beberapa waktu lalu.
Tak pelak, hal itu menimbulkan banyak pihak cemas dan merinding. Dr H Nasri Rustam karenanya, perlu mengirimkan nasihat terbuka melalui surat pembaca di Forum (No
21/V/ 1997). Katanya, sebagai ketua umum PP Muhammadiyah, seyogyanya
kebebasan pribadinya untuk bicara (tajam) harus disesuaikan dengan
kultur Muhammadiyah yang sejuk. Agar Muhammadiyah tidak terkena
getahnya. Begitu pula dengan posisinya sebagai Ketua Dewan Pakar ICMI.
Sebaliknya jika masih ingin bicara lantang sebagai pribadi, sebaiknya
perlu mempertimbangkan kedua posisi terhormat yang sekaligus bermanfaat
buat Bung Amien Rais. Karena itu, dengan kerangka “corak perilaku
modernis” ini tampaknya memang membutuhkan perilaku “kompromis” terhadap
realitas modern.
Akankah fenomena Amien Rais menjadi simbol bergesernya perilaku politik baru bagi Muhammadiyah? (Wallahu a’ lam). Hanya sebagai ormas yang punya strategi dari atas ke bawah, kondisi yang sejuk dan adem ayem, hakikatnya
bukan refleksi yang modern. Sebab, agama sebagai suatu “aqidah” –yang
kebenaranya diakui berasal dari Allah- menuntut pelakunya mampu berperan
secara politis: memilih jadi oposan atau sekadar legitimator. Karena
itu, ayat Allah yang mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan Rasul (Nya) dan ulul amri di antara kamu.” (QS 4:59), hematnya bukanlah keharusan tunduk tanpa melakukan “kritik” dan melakukan “perlawanan”.
Akhirnya, corak ketiga perilaku politik Muhammadiyah adalah sekularisme. Yakni:
yang menghendaki Muhammadiyah menjadi partai politik. Secara historis,
corak ini selalu gagal karena –menurut Syaifullah- tidak punya alasan
historis yang kuat di satu sisi, sebaliknya karena kuatnya akar
survivalisme dan modernisme pada sisi yang lain (hlm. 236).
***
BUKU ini, memang tidak memaparkan ikhwal politik Muhammadiyah
mutakhir, namun pelajaran penting yang bisa dipetik adalah semangat dari
Khittah Ponorogo (1969), benar-benar terimplementasi pada realitas
kehidupan politik Muhammadiyah di Indonesia. Tak heran, jika
Muhammadiyah kemudian bisa menyusup di berbagai dahan dan ranting
birokrasi Indonesia.
Sebaliknya, peran dominan politik NU di zaman demokrasi terpimpin
tampaknya yang harus ikhlas hanya menjadi akar dan tak pernak sampai di
dahan dan ranting Orde Baru. Karena itu strategi NU kembali ke Khittah
1926 misalnya, bisa menjadi pesawat supersonik untuk mengejar
ketinggalannya. Dan, inilah barangkali yang seperti dikatakan oleh
Nurcholis Madjid, Islam akan bisa maju karena punya dua sayap.
Persoalannya tentu bagaimana memelihara agar sayap ini tida patah?
Jawabanya adalah dengan Khittah 1926 dan Khittah Ponorogo (1969).
*) Sutejo atau S Tedjo Kusumo, dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo, Jawa Timur
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/01/peran-muhammadiyah-dalam-politik/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar