Minggu, 17 Februari 2013

Manajemen Kekerasan

Judul Buku : Demokrasi, Kekerasan, dan Disintegrasi
Pengantar : Jakob Oetama
Penerbit : Kompas, April 2001
Tebal : (xvii + 208) halaman
Peresensi : Sutejo
Kompas, 22 Juli 2001

FENOMENA Fraksi TNI/POLRI di DPR beberapa bulan lalu yang secara tegas mendukung lahirnya memorandum pertama, secara ‘’simbolik’’ hal itu mengingatkan akan perdebatan penting mengenai apakah sejarah demokrasi konstitusional di Indonesia ‘’gagal’’ atau ‘’digagalkan’’ sebagaimana disoroti dalam buku Democracy in Indonesia 1950s and 1990s (Centre of Southeast Asian Studies, Monas Australia, 1994), disunting David Bourchier dan John Legge.

Bagaimana ‘’perjalanan’’ demokrasi di Indonesia sejak tahun ’50-an hingga ’90-an yang ‘’dipasung’’ oleh kekuatan tertentu. Salah seorang penulis dalam buku itu, Daniel Lev, sejak awal tulisannya mensinyalir dengan tegas bahwa demokrasi konstitusional di Indonesia telah digagalkan oleh Angkatan Darat.

Para penulis dalam buku itu  -Jamie Mackie, Daniel Lev, dan George Mc T Kahin- kemudian bersifat pesimis terhadap kehidupan demokrasi era ’90-an. Pesimisme itu akhirnya terbukti dengan tumbangnya kekuasaan Orde Baru oleh gelombang reformasi yang menuntut demokrasi.

Persoalannya kini: mengapa demokrasi yang dicita, namun anarki yang tiba? Hal inilah yang menjadi salah satu kajian kritis dalam buku Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi  yang diterbitkan Kompas. Meski, buku ini tidak mendiskusikan demokrasi konstitusional era ’50-an; namun, substansi persoalan dalam konteks mutakhir seperti mengukuhkan kembali kekerasan atau ‘’kekerasan’’ yang dapat menjadi ancaman demokrasi- entah dari mana pun asalnya kekerasan itu.
***

SEBAGAIMANA disinyalir Jakob Oetama,  bahwa perubahan besar dalam tahun 1965 bukan mengembalikan Demokrasi Terpimpin ke demokrasi, melainkan mengubah sistem otokrasi. Dalam perkembangannya kemudian, sistem ini disertai tindakan represif dan kekerasan terhadap rakyat (hlm. xii).

Hal tersebut tampaknya yang menjadi background penting terhadap paparan mendalam dan kritis dalam buku ini untuk direnungkan kembali akan hakikat demokrasi dalam makna keindonesian.

Berbagai kasus di Indonesia seperti Aceh, Kalimantan Barat, dan Poso, telah mengukuhkan bagaimana kekerasan politik menjadi bahasa kekuasaan (secara spekulatif menjadi manajemen sisa kekuatan lama), telah menyentakkan keprihatinan hampir semua orang. Nirwan Ahmad Arsuka, ‘’mempersonifikasikan’’ Tanah Air kita sebagai tubuh, dan inderanya berubah ganjil (hlm. 28).

Hal itu, tulisnya, banyak disebabkan oleh adanya kekerasan politik, bencana, dan kerusuhan-kerusuhan berdarah yang sambung-menyambung. Itu, nyata-nyata adalah sebuah ironi yang paradoksal ketika kita bersepakat membangun ‘’jembatan demokrasi’’ menuju Indonesia baru.

Secara epistimologis, fenomena demikian –sebagaimana dikemukakan Ignas Kleden-, karena sejak awal kelahirannya reformasi yang ditandai adanya dua gejala (ganjil?) yang kontradiktif yakni munculnya kebebasan di satu pihak dan kekerasan di pihak yang lain (hal. 39). Tanpa imajinasi yang berlebihan, tambahnya, hal itu (jelas!) merupakan reaksi langsung terhadap dua gejala sosialpolitik sebelumnya.

Tak mengherankan jika sistem represi  politik dan demokrasi selama itu -manajemen kekerasan demi kesatuan- dibalas dengan kekerasan demi pemisahan. Akankah fenomena demikian terus berlanjut? Secara tentatif, tampaknya, ya.

Mengapa? Ya, karena ada fenomena macam ‘’kekerasan demokrasi’’ yang dibangun untuk melawan ‘’pemerintahan demokratis’’ dengan ‘’manajemen utang’’ pada awal 2001 sebagaimana disindirkan Bre Redana (hal. 51); telah mengkristalkan betapa kokohnya ‘’arogansi kekuatan’’ tipikal lama.

Bahkan kemudian, bagaimana otonomi daerah sebagai wujud dari ‘’demokrasi pemerintahan’’ telah melahirkan munculnya banyak kekerasan di berbagai daerah. Ironisnya, hal demikian luput dari kajian DPR; yang mestinya mampu mendiskusikan kemunginan risiko negatif yang ditimbulkan pascapelaksanaannya. Perhatian DPR, kata Ignas Kleden, dalam kasus ini mendekati nol (hal. 4).

Cita-cita menuju demiliterisasi dan terbentuknya civil society akhirnya hanya ‘’mimpi siang bolong’’, karena dalam praktiknya elite politik -dalam perkembangannya-  lebih militeristik daripada militer itu sendiri.

Mengapa demokrasi sulit dibangun? Cornelis Lay sebagaimana dikutip Rakaryan Sukarjaputra, menegaskan berbagaimana fenomena militer yang sejak lama telah menjadi penghadang bagi perkembangan demokrasi di Indonesia (hlm. 69).

Kajian kritis yang membidik persoalan ini, sebelumnya sudah banyak ditemukan dalam hasil penelitian maupun pemikiran kritis. Sebut misalnya Democracy in Indonesia 1950s and 1990s (David Bourchier dan John Legge, 1994), A Nation in Waiting: Indonesia in 1990s (Adam Schwarz, 1994), dan Democracy and Diffusion: Transnational Lesson-Drawing among Indonesia Pro-Democracy Actors (Anders Uhlin, 1995).

Karena itulah, Cornelis Lay berpendapat: demokrasi Indonesia mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan militer, melakukan perubahan terhadap militer itu sendiri. Masyarakat sipil diharapkan mampu memfasilitasinya.
***

Secara keseluruhan, buku Demokrasi, Kekerasan, dan Disintegrasi  ini sangatlah menarik. Berawal dari edisi khusus Kompas 20 Desember 2000, buku ini menyajikan gagasan kritis seputar demokrasi, kekerasan, dan gejala disintegrasi, yang menggelitik untuk direnungkan kembali dalam merajut ‘’benang keindonesian’’. Sebuah cermin dialog yang menyuguhkan pantulan bayang idealisme demokrasi.

*) Sutejo, Ketua Ikatan Sarjana NU PC Ponorogo, dosen kopertis VII Surabaya, mahasiswa Pascasarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/01/manajemen-kekerasan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo SMA 1 Badegan Ponorogo STKIP PGRI Ponorogo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo