Judul Buku : Demokrasi, Kekerasan, dan Disintegrasi
Pengantar : Jakob Oetama
Penerbit : Kompas, April 2001
Tebal : (xvii + 208) halaman
Peresensi : Sutejo
Kompas, 22 Juli 2001
FENOMENA Fraksi TNI/POLRI di DPR beberapa bulan lalu yang secara
tegas mendukung lahirnya memorandum pertama, secara ‘’simbolik’’ hal itu
mengingatkan akan perdebatan penting mengenai apakah sejarah demokrasi
konstitusional di Indonesia ‘’gagal’’ atau ‘’digagalkan’’ sebagaimana
disoroti dalam buku Democracy in Indonesia 1950s and 1990s (Centre of Southeast Asian Studies, Monas Australia, 1994), disunting David Bourchier dan John Legge.
Bagaimana ‘’perjalanan’’ demokrasi di Indonesia sejak tahun ’50-an
hingga ’90-an yang ‘’dipasung’’ oleh kekuatan tertentu. Salah seorang
penulis dalam buku itu, Daniel Lev, sejak awal tulisannya mensinyalir
dengan tegas bahwa demokrasi konstitusional di Indonesia telah
digagalkan oleh Angkatan Darat.
Para penulis dalam buku itu -Jamie Mackie, Daniel Lev, dan George Mc
T Kahin- kemudian bersifat pesimis terhadap kehidupan demokrasi era
’90-an. Pesimisme itu akhirnya terbukti dengan tumbangnya kekuasaan Orde
Baru oleh gelombang reformasi yang menuntut demokrasi.
Persoalannya kini: mengapa demokrasi yang dicita, namun anarki yang
tiba? Hal inilah yang menjadi salah satu kajian kritis dalam buku Demokrasi, Kekerasan, Disintegrasi yang diterbitkan Kompas.
Meski, buku ini tidak mendiskusikan demokrasi konstitusional era
’50-an; namun, substansi persoalan dalam konteks mutakhir seperti
mengukuhkan kembali kekerasan atau ‘’kekerasan’’ yang dapat menjadi
ancaman demokrasi- entah dari mana pun asalnya kekerasan itu.
***
SEBAGAIMANA disinyalir Jakob Oetama, bahwa perubahan besar dalam
tahun 1965 bukan mengembalikan Demokrasi Terpimpin ke demokrasi,
melainkan mengubah sistem otokrasi. Dalam perkembangannya kemudian,
sistem ini disertai tindakan represif dan kekerasan terhadap rakyat
(hlm. xii).
Hal tersebut tampaknya yang menjadi background penting
terhadap paparan mendalam dan kritis dalam buku ini untuk direnungkan
kembali akan hakikat demokrasi dalam makna keindonesian.
Berbagai kasus di Indonesia seperti Aceh, Kalimantan Barat, dan Poso,
telah mengukuhkan bagaimana kekerasan politik menjadi bahasa kekuasaan
(secara spekulatif menjadi manajemen sisa kekuatan lama), telah
menyentakkan keprihatinan hampir semua orang. Nirwan Ahmad Arsuka,
‘’mempersonifikasikan’’ Tanah Air kita sebagai tubuh, dan inderanya
berubah ganjil (hlm. 28).
Hal itu, tulisnya, banyak disebabkan oleh adanya kekerasan politik,
bencana, dan kerusuhan-kerusuhan berdarah yang sambung-menyambung. Itu,
nyata-nyata adalah sebuah ironi yang paradoksal ketika kita bersepakat
membangun ‘’jembatan demokrasi’’ menuju Indonesia baru.
Secara epistimologis, fenomena demikian –sebagaimana dikemukakan
Ignas Kleden-, karena sejak awal kelahirannya reformasi yang ditandai
adanya dua gejala (ganjil?) yang kontradiktif yakni munculnya kebebasan
di satu pihak dan kekerasan di pihak yang lain (hal. 39). Tanpa
imajinasi yang berlebihan, tambahnya, hal itu (jelas!) merupakan reaksi
langsung terhadap dua gejala sosialpolitik sebelumnya.
Tak mengherankan jika sistem represi politik dan demokrasi selama
itu -manajemen kekerasan demi kesatuan- dibalas dengan kekerasan demi
pemisahan. Akankah fenomena demikian terus berlanjut? Secara tentatif,
tampaknya, ya.
Mengapa? Ya, karena ada fenomena macam ‘’kekerasan demokrasi’’ yang
dibangun untuk melawan ‘’pemerintahan demokratis’’ dengan ‘’manajemen
utang’’ pada awal 2001 sebagaimana disindirkan Bre Redana (hal. 51);
telah mengkristalkan betapa kokohnya ‘’arogansi kekuatan’’ tipikal lama.
Bahkan kemudian, bagaimana otonomi daerah sebagai wujud dari
‘’demokrasi pemerintahan’’ telah melahirkan munculnya banyak kekerasan
di berbagai daerah. Ironisnya, hal demikian luput dari kajian DPR; yang
mestinya mampu mendiskusikan kemunginan risiko negatif yang ditimbulkan
pascapelaksanaannya. Perhatian DPR, kata Ignas Kleden, dalam kasus ini
mendekati nol (hal. 4).
Cita-cita menuju demiliterisasi dan terbentuknya civil society
akhirnya hanya ‘’mimpi siang bolong’’, karena dalam praktiknya elite
politik -dalam perkembangannya- lebih militeristik daripada militer itu
sendiri.
Mengapa demokrasi sulit dibangun? Cornelis Lay sebagaimana dikutip
Rakaryan Sukarjaputra, menegaskan berbagaimana fenomena militer yang
sejak lama telah menjadi penghadang bagi perkembangan demokrasi di
Indonesia (hlm. 69).
Kajian kritis yang membidik persoalan ini, sebelumnya sudah banyak
ditemukan dalam hasil penelitian maupun pemikiran kritis. Sebut misalnya
Democracy in Indonesia 1950s and 1990s (David Bourchier dan John Legge, 1994), A Nation in Waiting: Indonesia in 1990s (Adam Schwarz, 1994), dan Democracy and Diffusion: Transnational Lesson-Drawing among Indonesia Pro-Democracy Actors (Anders Uhlin, 1995).
Karena itulah, Cornelis Lay berpendapat: demokrasi Indonesia
mendatang sangat ditentukan oleh bagaimana kita memperlakukan militer,
melakukan perubahan terhadap militer itu sendiri. Masyarakat sipil
diharapkan mampu memfasilitasinya.
***
Secara keseluruhan, buku Demokrasi, Kekerasan, dan Disintegrasi ini sangatlah menarik. Berawal dari edisi khusus Kompas
20 Desember 2000, buku ini menyajikan gagasan kritis seputar demokrasi,
kekerasan, dan gejala disintegrasi, yang menggelitik untuk direnungkan
kembali dalam merajut ‘’benang keindonesian’’. Sebuah cermin dialog yang
menyuguhkan pantulan bayang idealisme demokrasi.
*) Sutejo, Ketua Ikatan Sarjana NU PC Ponorogo, dosen kopertis VII Surabaya, mahasiswa Pascasarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/01/manajemen-kekerasan/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar