Minggu, 17 Februari 2013

Politik dalam Manejemen Dakwah

Judul Buku: Dakwah dan Politik ‘’Da’i Berjuta Umat’’ KH. Zainuddin M.Z
Penulis : Idris Toha (ed)
Penerbit: Mizan, Maret 1997
Tebal: 333 halaman
Peresensi: Sutejo *
Kompas, 13 Mei 1997

BANYAK ungkapan dan sirah politik yang dapat disimak kembali dalam menatap panorama pemilu 1997. Zainuddin misalnya, dalam buku ini bilang bahwa politik itu ibarat pisau (hlm. 198). Mungkin orang lain akan bilang: politik itu senapan, pelor, atau serdadu!

Samuel Jhonson, seorang penyair Inggris bilang, bahwa politik itu tak lebih dari alat untuk menanjak di dunia ini. Seorang negarawan Italia, Niccolo Machiavelli, mengingatkan: bahwa politik tidak ada sangkut pautnya dengan moral (politics has no relations to moral). Dan yang tak kalah menarik adalah pesan seorang dokter Skotlandia, Jhon Arbuthnot (1667-1775), dengan tegas menghujat: semua partai politik pada akhirnya mati karena menelan dustanya sendiri. Generalisasinya –jelas– politik bisa berkonotasi dengan pisau, amoral, dan dusta!

Di sinilah letak kemenarikan buku Dakwah & Politik “Da’i Berjuta Umat” mengambil peran. Karena politik ber-probabilitas dengan pisau, pelor, dan dusta! Peran dibalik tabir politik menjadi penting, -the man behind the gun– ilstilah Zainuddin (hlm. 198). Mengapa? Agar politik tidak sadis, apalagi penuh kekerasan. Di samping, banyak anasir-anasir spontannya yang tajam: politik Islam, ICMI, DPR, dan demokrasi kita yang ibarat bunga dalam jambangan.
***

Kalau format politik di era mutakhir tidak bisa lepas dari isu-isu tentang politik kekerasan, terselubung, diskriminatif, ataupun politik dalam manajemen chaos dan agama, maka buku ini dalam satu bagiannya mendiskusikan semacam risalah politik dalam selempang dakwah –agar politik bermoral-. Setelah melewati fase “manejemen chaos” –ingat kasus Mega-, maka di awal pelaksanaan kampanye (27 April) policy berubah menjadi manejemen moral. Karenanya penting untuk doa bersama: Ketua MUI, Ketua LPU (Pak Yogie), dan ketiga ketua umum OPP (lihat Kompas, 26/4/1997). Di samping parade spiritual istighoisah-nya Gus Dur-Mbak Tutut yang rajin “bersafari” ke kantung-kantung NU.

Dan di sinilah ironisnya realitas politik kita: di satu sisi, formatnya yang sudah tersusun sedemikian rupa –sehingga kadang “sadis”- dalam melanggengkan status quo. Karena itu, kata Zainuddin, umumnya para penguasa cenderung mempertahankan kekuasaannya. Seninya saja yang berbeda. Ada yang kasar, ada yang halus. Tapi sama-sama tirani (!) Apalagi, kalau kekuasaan dipaksakan (hlm. 203). Dan, di sisi lain mengharapkan masyarakat “patuh” di tengah prahara politik.

Kalau doktrin populisme politik menekankan pentingnya partisipasi secara luas dalam kehidupan politik dan ekonomi, maka apa yang terjadi selama ini barangkali semacam “antonimnya”: parpol tidak boleh berbasis ekonomi kuat macam –katakanlah- di Korea dan Amerika.

Akibatnya, DPR dalam retorika Zainuddin tidak aspiratif, di samping berideologi PNS (hlm. 202). Mirip-mirip politik burung unta atau politik dagang sapi. Inilah fenomena politik kita yang bahasa Zainuddin –sekali lagi– bagai bunga dalam jambangan. Dipertahankan keberadaannya, dirawat, dan disirami. Tapi dijaga jangan sampai tumbuh terlalu besar. Akarnya tak boleh menghujat dalam (hlm. 203). Tak heran, kalau kemudian banyak pengamat mensinyalir bahwa politik Orde Baru mengingkari karakternya sendiri sebagai politik.

Inilah sesungguhnya yang menyebabkan DPR mandul dan tidak inspiratif. Apalagi, kenyataannya mereka bukan orang yang dekat dengan rakyat. Belum lagi adanya budaya recall yang semakin mengecilkan nyali –karenanya jelas- menunjukkan politik yang kian berlapis.
***

Pada bagian lain, Zainuddin mengungkapkan “peran politis” ICMI dalam percaturan politik. Image ICMI katanya, bukanlah kerakyatan, Ormas bukan, profesi juga tidak. Tapi mewakili Islam (?). Tak heran, banyak pengamat bilang ICMI tak lebih sebagai instrumen politis-eksekutif/pemerintah. Plus, semacam subordinat atau komponen saja. Zainuddin menyebutnya, ICMI lebih mementingkan tempat bergantung daripada tempat berpijak (hlm. 212).

Kalau boleh meng-qiyas-kan ICMI sebagai “jamaah ulama”, maka tampaknya ada pesan menggelitik yang mesti direnungkan ulang. Dari kecenderungan politik kontemporer, ada dua hal urgen.

Pertama, sebaik-baik umara adalah umara yang mendekati ulama¸ dan sejelek-jelek ulama adalah ulama yang mendekati umara (hlm. 266). Kedua, ungkapan Imam Ghazali yang berpesan begini: kekuasaan akan langgeng jika didukung agama, dan agama akan kuat jika didukung dengan kekuasaan (hlm. 209). Mudah-mudahan ICMI dan ulama-ulama di Indonesia bisa menemukan simbiosis mutualisme bukan simbiosis semu karena lazimnya sudah terjadi semacam politisi agama.

Sebab bagaimanapun, agama entitasnya oposan terhadap kekuasaan “anarkis” –ingat sirah Daud, Ibrahim, Musa, dan Muhammad-. Bukan sebaliknya berkonspirasi-mesra, menyembunyikan kebenaran, melakukan semacam “kekufuran metaforis” dalam bahasa Ibrahim Gazur-I-lahi.

Dengan demikian kehadiran Dakwah & Politik “Da’i Berjuta Umat”, akan menajamkan kesadaran kembali akan pentingnya khittah. Melalui buku ini, pembaca bisa menelusuri “jalan pintas” berpolitik umat Islam. Paralel dengan Nurcholish Madjid yang perna ber-yel: Islam Yes, Partai Islam No. Sekalian, peleraian terhadap “doktrin” Cak Nun yang pernah mendukung PPP: Islam Yes, Partai Islam Yes. Pentingnya keseimbangan! (hlm. 188).

Dan yang paling penting: mengingatkan warga NU untuk tidak terjebak kembali. Sebagaimana digambarkan Syafi’i Ma’arif dalam Islam dan Politik (1995), bahwa NU pernah demikian besar peran politiknya di masa Orde Lama – di masa Demokrasi Terpimpin. Ironisnya kemudian NU terpental, termarginalisir dari format sistem kekuasaan Orde Baru! Sekali berarti/Setelah itu mati, kata penyair Chairil. Wong Ketua Dewan Pakar ICMI saja bisa terpental kok!

*) Sutejo atau S Tedjo Kusumo, dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo, Jawa Timur.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/02/politik-dalam-manejemen-dakwah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo SMA 1 Badegan Ponorogo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) STKIP PGRI Ponorogo Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo