Judul Buku: Dakwah dan Politik ‘’Da’i Berjuta Umat’’ KH. Zainuddin M.Z
Penulis : Idris Toha (ed)
Penerbit: Mizan, Maret 1997
Tebal: 333 halaman
Peresensi: Sutejo *
Kompas, 13 Mei 1997
BANYAK ungkapan dan sirah politik yang dapat disimak kembali dalam menatap panorama pemilu 1997. Zainuddin misalnya, dalam buku ini bilang bahwa politik itu ibarat pisau (hlm. 198). Mungkin orang lain akan bilang: politik itu senapan, pelor, atau serdadu!
Samuel Jhonson, seorang penyair Inggris bilang, bahwa politik itu tak
lebih dari alat untuk menanjak di dunia ini. Seorang negarawan Italia,
Niccolo Machiavelli, mengingatkan: bahwa politik tidak ada sangkut
pautnya dengan moral (politics has no relations to moral). Dan
yang tak kalah menarik adalah pesan seorang dokter Skotlandia, Jhon
Arbuthnot (1667-1775), dengan tegas menghujat: semua partai politik pada
akhirnya mati karena menelan dustanya sendiri. Generalisasinya –jelas–
politik bisa berkonotasi dengan pisau, amoral, dan dusta!
Di sinilah letak kemenarikan buku Dakwah & Politik “Da’i Berjuta Umat” mengambil peran. Karena politik ber-probabilitas dengan pisau, pelor, dan dusta! Peran dibalik tabir politik menjadi penting, -the man behind the gun– ilstilah
Zainuddin (hlm. 198). Mengapa? Agar politik tidak sadis, apalagi penuh
kekerasan. Di samping, banyak anasir-anasir spontannya yang tajam:
politik Islam, ICMI, DPR, dan demokrasi kita yang ibarat bunga dalam jambangan.
***
Kalau format politik di era mutakhir tidak bisa lepas dari isu-isu
tentang politik kekerasan, terselubung, diskriminatif, ataupun politik
dalam manajemen chaos dan agama, maka buku ini dalam satu
bagiannya mendiskusikan semacam risalah politik dalam selempang dakwah
–agar politik bermoral-. Setelah melewati fase “manejemen chaos” –ingat kasus Mega-, maka di awal pelaksanaan kampanye (27 April) policy berubah
menjadi manejemen moral. Karenanya penting untuk doa bersama: Ketua
MUI, Ketua LPU (Pak Yogie), dan ketiga ketua umum OPP (lihat Kompas, 26/4/1997). Di samping parade spiritual istighoisah-nya Gus Dur-Mbak Tutut yang rajin “bersafari” ke kantung-kantung NU.
Dan di sinilah ironisnya realitas politik kita: di satu sisi,
formatnya yang sudah tersusun sedemikian rupa –sehingga kadang “sadis”-
dalam melanggengkan status quo. Karena itu, kata Zainuddin, umumnya para penguasa cenderung mempertahankan kekuasaannya. Seninya saja
yang berbeda. Ada yang kasar, ada yang halus. Tapi sama-sama tirani (!)
Apalagi, kalau kekuasaan dipaksakan (hlm. 203). Dan, di sisi lain
mengharapkan masyarakat “patuh” di tengah prahara politik.
Kalau doktrin populisme politik menekankan pentingnya partisipasi
secara luas dalam kehidupan politik dan ekonomi, maka apa yang terjadi
selama ini barangkali semacam “antonimnya”: parpol tidak boleh berbasis
ekonomi kuat macam –katakanlah- di Korea dan Amerika.
Akibatnya, DPR dalam retorika Zainuddin tidak aspiratif, di samping berideologi PNS (hlm. 202). Mirip-mirip politik burung unta atau politik dagang sapi. Inilah fenomena politik kita yang bahasa Zainuddin –sekali lagi– bagai bunga dalam jambangan. Dipertahankan
keberadaannya, dirawat, dan disirami. Tapi dijaga jangan sampai tumbuh
terlalu besar. Akarnya tak boleh menghujat dalam (hlm. 203). Tak heran,
kalau kemudian banyak pengamat mensinyalir bahwa politik Orde Baru
mengingkari karakternya sendiri sebagai politik.
Inilah sesungguhnya yang menyebabkan DPR mandul dan tidak inspiratif.
Apalagi, kenyataannya mereka bukan orang yang dekat dengan rakyat.
Belum lagi adanya budaya recall yang semakin mengecilkan nyali –karenanya jelas- menunjukkan politik yang kian berlapis.
***
Pada bagian lain, Zainuddin mengungkapkan “peran politis” ICMI dalam percaturan politik. Image ICMI
katanya, bukanlah kerakyatan, Ormas bukan, profesi juga tidak. Tapi
mewakili Islam (?). Tak heran, banyak pengamat bilang ICMI tak lebih
sebagai instrumen politis-eksekutif/pemerintah. Plus, semacam subordinat
atau komponen saja. Zainuddin menyebutnya, ICMI lebih mementingkan
tempat bergantung daripada tempat berpijak (hlm. 212).
Kalau boleh meng-qiyas-kan ICMI sebagai “jamaah ulama”, maka
tampaknya ada pesan menggelitik yang mesti direnungkan ulang. Dari
kecenderungan politik kontemporer, ada dua hal urgen.
Pertama, sebaik-baik umara adalah umara yang mendekati ulama¸ dan sejelek-jelek ulama adalah ulama yang mendekati umara (hlm. 266). Kedua, ungkapan
Imam Ghazali yang berpesan begini: kekuasaan akan langgeng jika
didukung agama, dan agama akan kuat jika didukung dengan kekuasaan (hlm.
209). Mudah-mudahan ICMI dan ulama-ulama di Indonesia bisa menemukan simbiosis mutualisme bukan simbiosis semu karena lazimnya sudah terjadi semacam politisi agama.
Sebab bagaimanapun, agama entitasnya oposan terhadap kekuasaan
“anarkis” –ingat sirah Daud, Ibrahim, Musa, dan Muhammad-. Bukan
sebaliknya berkonspirasi-mesra, menyembunyikan kebenaran, melakukan
semacam “kekufuran metaforis” dalam bahasa Ibrahim Gazur-I-lahi.
Dengan demikian kehadiran Dakwah & Politik “Da’i Berjuta Umat”, akan menajamkan kesadaran kembali akan pentingnya khittah.
Melalui buku ini, pembaca bisa menelusuri “jalan pintas” berpolitik
umat Islam. Paralel dengan Nurcholish Madjid yang perna ber-yel: Islam Yes, Partai Islam No. Sekalian, peleraian terhadap “doktrin” Cak Nun yang pernah mendukung PPP: Islam Yes, Partai Islam Yes. Pentingnya keseimbangan! (hlm. 188).
Dan yang paling penting: mengingatkan warga NU untuk tidak terjebak kembali. Sebagaimana digambarkan Syafi’i Ma’arif dalam Islam dan Politik (1995),
bahwa NU pernah demikian besar peran politiknya di masa Orde Lama – di
masa Demokrasi Terpimpin. Ironisnya kemudian NU terpental,
termarginalisir dari format sistem kekuasaan Orde Baru! Sekali berarti/Setelah itu mati, kata penyair Chairil. Wong Ketua Dewan Pakar ICMI saja bisa terpental kok!
*) Sutejo atau S Tedjo Kusumo, dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo, Jawa Timur.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/02/politik-dalam-manejemen-dakwah/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar