Judul Buku: Ada Udang di Balik Busang: Dokumentasi Pers Kasus Amien Rais
Penyunting: Hamid Basyaib, Ibrahim Ali-Fauzi
Penerbit: Mizan, Juni 1997
Tebal: xiv + 475 halaman
Peresensi: Sutejo *
Merdeka, 19 Okt 1997
ADA yang bilang bahwa kritik nahi munkar Amien Rais adalah sebuah permainan high politic.
Ada juga yang menganggap hal itu sebagai panggilan nuraninya sebagai
intelektual (Arief Budiman). Sementara Th. Sumartana berpendapat bahwa
Amien Rais telah mewakili suara moral yang bersih dan berani.
Dakwah politik-kritiknya tentang Busang, Freeport, dan kerusuhan
sosial yang merebak di Tanah Air, tak pelak menjadi perhatian serius
banyak kalangan: pemerintah sendiri sebagai ‘terdakwa’, pengamat
politik, ormas, dan ICMI serta Muhammadiyah sendiri sebagai organisasi
tempat Amien Rais menduduki ‘kursi emas’.
Fenomena ini mengingatkan akan sinyalemen yang pernah diungkapkan
filosof Spanyol, Jose Ortega Y. Gasset (1883-1955) yang pernah
mengungkapkan bahwa terheran-heran, kagum yang berarti mulai memahami
sebagai sebuah sport, kemewahan, yang khas bagi seorang intelektual.
Kalau Amien Rais ‘terheran-heran’ ketika berkunjung ke Kuala Kencana
(Irja) –atas undangan Manajemen & Himpunan Masyarakat Muslim PT
Freeport Indonesia– untuk meresmikan masjid seharga Rp5,2 miliar, maka
keheranannya bukan disebabkan oleh kepedulian perusahaan asing itu pada
kegiatan ibadah, tetapi pada perpanjangan kontrak kerja (KK) Freeport
yang sudah diulur 30 tahun mendatang. Plus, bisa diulur lagi 2X10 tahun.
Pada hal, seperempat abad berlalu, kata Amien Rais, penambangan emas
saja sudah menghasilkan Rp400 triliun yang digotong orang asing
(Amerika).
Dalam definisi Amien Rais, itu sebuah penyimpangan (baca: inskonstitusional). Inskonstitusional
itu tampak pada bagaimana ‘kekuasaan’ yang diulurkan pada perusahaan
asing dalam mengeruk kekayaan alam. Padahal UUD ’45 (pasal 33) –dengan
tegas dan jelas– mengamanatkan agar seluruh kekayaan alam (natural resources) yang berada dalam perut bumi dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (hal. 3).
Sejak 1973 –dalam kalkulasinya–, Freeport telah menambang emas,
perak, dan tembaga di bumi Irian Jaya setiap hari 125.000 ton bijih
tambang diruntuhkan dengan hasil konsentrat kurang lebih 6.000 ton.
Setiap ton konsentrat mengandung 300 kg tembaga, 60 gram perak, dan 30
gram emas.
Selama seperempat abad karenanya, kekayaan bangsa Indonesia sudah
digotong ke luar negeri lebih 1.620 ton emas, 3.240 ton perak, dan 162
juta ton tembaga. Sekian ton emas itu jika dirupiahkan dengan harga
sekarang kurang lebih Rp400 triliun. Belum nilai perak dan tembaga (hal.
5). Realita lain, 60 juta ha hutan tropis kita ternyata hanya dikuasai
segelintir oknum, yang menguasai HPH (baca: ‘Hak Pengrusakan Hutan’).
Di zama Orde Lama saja –yang begitu kita benci– negara telah
melakukan proteksi kuat melalui Soekarno dan Chairul Saleh. Ironisnya,
di masa Orde Baru, justru berbagai kekayaan negara tak terlindungi
(hal.11).
Dewasa ini, kedhaliman ekonomi itu benar-benar kasat mata, kata Amien
Rais. Penguasaan usaha bisnis pada segelintir orang –melalui berbagai
fasilitas– ,diakui atau tidak berdampak pada semakin melebarnya
kesenjangan sosial ekonomi. Ekonomi-bisnis di Indonesia karenanya,
tumbuh seperti pohon raksasa yang sangat rimbun daunnya, sehingga sinar
matahari pun tidak bisa menembus tanah. Pengusaha menengah dan kecil
hanya bisa melata tanpa daya di bawah pohon itu. Bahkan, untuk menghirup
sinar matahari pun tidak. Itu jelas sangat memalukan. Betul-betul
memalukan. Dengan agak emosional, Amien Rais bilang, “Itu sudah
menjijikkan. Tingkat kolusi sangat luar biasa.” (hal. 10).
Amien Rais juga melontarkan kritik tentang korupsi yang sudah begitu
akut di Indonesia. Dengan argumentatif dia mendeskripsikan korupsi
menjadi empat jenis utama. Pertama, korupsi ekstortif, yakni korupsi yang berupa sogokan pengusaha kepada penguasa secara meluas. Kedua, korupsi manipulatif,
yakni munculnya peraturan perundangan yang sebetulnya tidak dimaksudkan
untuk kesejahteraan rakyat, tetapi lebih untuk kepentingan
kelompok-kelompok ekonomi yang kapitalistik. Ketiga, korupsi nepotis, yakni memrioritasan terhadap anak, menantu, keponakan, cucu, ipar, istri, dalam berbagai hal. Dan keempat, korupsi subversif, yakni mereka yang melakukan perampokan kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing.
Dan genre korupsi terakhir inilah, dalam bahasa sinis Amien
Rais disebutnya dengan ‘mbah’-nya korupsi dibandingkan dengan seorang
pemuda kita yang dituduh menghina ideologi negara, menyebarkan huru-hara
dan lain-lain (hal.13-14).
Hal-hal itulah yang diungkapkan dalam bagian pertama: Sesudah ‘Inkonstitusional’ Amien Rais.
Bab yang sangat menarik karena berisi pengungkapan dan analisis
spontan, namun kritis dan jitu. Sebuah hasil wawancara dan kliping
berita/kolom dari berbagai media, seperti Republika, Forum, Tiras, dan Umat.
Secara kronologis, hal itu disambung pada bagian-bagian berikutnya yang tak kalah menarik: Akhirnya Dia Harus Tukar Bantal (II); Tentang Isu Surat Amien Rais Kepada Pak Harto (III); Dari Kwik hingga Kayam (IV); dan Skandal Busang Terungkap Gamblang (V).
Pada bagian kedua, terungkap juga tentang politik nahi munkar-nya yang berbenturan keras dengan ‘kelompok kemapanan ICMI’. Amien Rais menyebutnya dengan “anggota inner circle”
yang begitu pandai mendesakkan opini kepada figur sentral (hal. 112).
Dan inilah, realita yang juga dikritik tajam. Dia begitu mengharapkan
ICMI betul-betul menjadi broad based, bukan narrow based (hal. 138).
Bagian ketiga, menguak seluk-beluk mundurnya Amien Rais dari
Ketua Dewan Pakar ICMI dan isu pemanfaatannya oleh pihak-pihak lain
(baca: Lukman Harun) yang ingin mendongkelnya dari kursi Ketua Umum PP
Muhammadiyah (hal. 223). Isu ini pun melahirkan pro-kontra, demo
mahasiswa, dan komentar banyak pengamat –yang secara general–
mendukung prinsip wama ‘alaina illal balaghul mubin-nya Amien Rais.
Bagian keempat, merupakan kumpulan opini/esai pengamat dari berbagai kalangan yang dimuat media massa, seperti Kompas,
Forum Keadilan, Republika, Media Indonesia, Merdeka, Jawa Pos, Suara
Merdeka, Gatra, Detektif & Romantika, Kedaulatan rakyat, Umat, dan Suara Karya (Hal. 253-388). Mereka menganalisis dari berbagai visi dan misi: pro dan kontra dari point of view politik, ekonomi, sosial, agama, dan ‘pendidikan politik’ rakyat.
Buku ini ditutup dengan bagian misterius: berakhirnya mega-kolusi
Busang yang merusak citra Indonesia di mata dunia Internasional.
Karenanya, Busang melengkapi agenda internasional tentang Indonesia
setelah selingkuh Bapindo-Eddy Tanzil dan kolusi akbar James Riady
‘Lippo’-Clinton. Sebuah potret buram yang – boleh jadi – “menyeramkan”
masa depan bangsa.
Sebagai buku “semi politik”. Ada Udang di Balik Busang ini
menjadi sangat menarik, karena sifatnya yang populer, luwes,
argumentatif, dan berskala internasional. Apalagi, menyangkut
kepentingan sebagian besar rakyat Indonesia. Berisi kumpulan
berita-berita (hardnews), rangkuman yang mendalam dari majalah
berita mingguan dan dwimingguan. Plus, wawancara dengan berbagai media,
dilengkapi berbagai artikel/opini berbobot yang membahasnya. Dan
perbedaan pandangan dari ahli yang membahas menjadi cermin arif yang
akan mengantarkan pada sunatullah.
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo, Jawa Timur.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/02/menimbang-dakwah-politik-amien-rais/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar