Jumat, 08 Maret 2013

Bahasa, Kekuasaan dan Politik (2 Habis)

Sutejo
Radar Madiun, 22 Maret 2001

Penggunaan bahasa yang demikian di masa Orde Baru, tidak terlepas dari visi dan misi Orde Baru yang sangat mementingkan stabilitas ideologi, politik, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan negara. Karena itu, tak mengherankan jika sejumlah kata, istilah, maupun frase, tampaknya diproduksi Orde Baru untuk “memukul” lawan politik yang mencoba mengganggu stabilitas Orde Baru. Ideologi pembangunan itu, bermitoskan pada ujung kemakmuran rakyat “yang tak pernah berujung”, namun penuh retorika yang menjebak kesadaran kritis warganya.

Demikian juga dalam akhir pemerintahan Orde Baru dan awal-awal rezim Orde Reformasi (rezim Habibie) memunculkan kata, istilah, dan akronim penggunaan bahasa, baik dilakukan oleh masyarakat maupun oleh penguasa. Seperti: reformasi, transparansi, demokrasi, demonstrasi, “kegiatan makar”, “pelanggaran HAM”, “hak azasi manusia”, “hapuskan dwifungsi ABRI”, “masyarakat sipil”, “masyarakat madani”, “kolusi, korupsi, dan nepotisme”, “jaring pengaman sosial”, “kemiskinan total”, “kesenjangan ekonomi”, “pemberdayaan sipil”, dan lain-lain.

Kemudian di rezim Gus Dur, muncul penggunaan kata, istilah, dan akronim yang dipergunakan oleh “kekuasaan legislatif” maupun pemerintah macam: pansus, referendum, inkonstitusional, kroni (Soeharto), bunker, buron, cendana, likuidasi, demonstrasi, sembako, penjarahan, dituding, dituduh, ditangkap, diseret, ninja, voting, interpelasi, “deal-deal politik”, “pialang politik”, “politik dagang sapi”, “kabinet pelangi”, “biang kerok”, “pengadilan rakyat”, “status quo”, “otonomi daerah”, “kok repot-repot”, “DPR Taman Kanak-Kanak”, “jalan-jalan keluar negeri”, “reformasi total”, “pembubaran Golkar”, “kolusi, korupsi, dan nepotisme”, “neo-Orde Baru”, “antek-antek Orde Baru”, “reformis gadungan”, “hak asasi”, “hak asasi manusia”, “unjuk rasa”, “reformasi setengah hati”, “kompromi politik”, “seruan moral”, “pasukan jihad”, “pengusiran etnis”, “kebangkitan Orde Baru”, “ancaman disintegrasi bangsa”, “tuntutan merdeka”, dan seterusnya.

Dari kecenderungan penggunaan kata, istilah, akronim, dan ungkapan di rezim Reformasi (baik rezim Habibie maupun Gus Dur) menunjukkan refleksi dari akumulasi rasa ketakutan, kebimbangan, ketertindasan, keterpasungan, kekecewaan selama pemerintahan Orde Baru, kemiskinan, dan eforia kekuasaan baru melalui pembenaran masing-masing. Pemungutan suara dengan voting misalnya, penggunaan hak interpelasi misalnya, sesungguhnya tak lebih cermin dari keterpasungan insan politik di masa Orde Baru. Sehingga mereka berkecenderungan “kurang jernih” dalam menyikapi persoalan bangsa secara konstruktif. Sebaliknya, insan politik terbuai oleh agenda politiknya masing-masing.

Jika di masa Orde Baru, legislatif seringkali disinyalir sebagai lembaga 4D maka kini di era Reformasi berubah wajah menjadi “pengadilan”, “tempat pembenaran politik”, dan “ajang balas dendam” dari kepentingan-kepentingan politik yang terpinggirkan.

Dari gambaran penggunaan bahasa di empat orde di atas, tentunya mengingatkan kepada kita, bahwa “ragam bahasa”, “pilihan kata tertentu” dalam Orde yang berbeda mencerminkan kecenderungan “sikap politik dan kekuasaan” yang berbeda. Bahkan, mencerminkan kecenderungan sosial budaya masyarakat dari bangsa Indonesia.

Dari uraian di atas, tampak bahwa secara sosiologis bahasa tergantung pada pemakaian dan kecenderungan dominasinya. Tergantung pada (a) identitas penutur atau pemroduknya, (b) identitas pendengarnya dalam komunikasi, (c) lingkungan sosial peristiwa tutur, dan (d) penilaian sosial yang berbeda oleh penutur akan perilaku “bentuk-bentuk ujaran”. Diksi “politik”, “status quo”, dan “reformasi” misalnya di masa rezim Orde Baru merupakan sesuatu yang tabu, namun kemudian di masa pemerintahan Reformasi ketiga diksi tersebut menjadi akrab, seakan telah terjadi pergeseran makna.

Kata ‘politik’ misalnya, tak dinilai lagi sebagai sesuatu yang “jelek” yang perlu dihindari. Sebaliknya, justru menjadi “alat perjuangan” yang efektif untuk merebut “kekuasaan” dalam aneka bentuknya. Lebih dari itu, kata Sri Wiryanti, kata politik menjadi cerminan dari suatu kebebasan dalam menyalurkan aspirasi dan berdemokrasi. Demikian juga kata “reformasi” atau “reformasi total” secara leksikal memiliki makna kamus perubahan, kini telah berkembang menjadi “kata” yang ditafsirkan dengan “multi makna”, tergantung siapa penuturnya. Karena itu, bisa bermakna “harus transparan”, “dibabat habis”, “dibersihkan sampai akar-akarnya”, “dapat berbuat sesuka hati”, “bebas melanggar aturan”, dan sebagainya.

Akhirnya dapat penulis simpulkan; Pertama, perkembangan penggunaan bahasa ditentukan oleh kondisi dan lingkungan sosial penuturnya (warga dan negara). Kedua, bahasa dapat diperalat untuk “melanggengkan” dan “menghancurkan” kekuasaan. Ketiga, identitas penutur (dalam sebuah masa/orde) menentukan perkembangan makna bahasa. Keempat, bentuk-bentuk “bahasa politik/bahasa kekuasaan” dapat mencakup bahasa yang sifatnya eufimistik, serta provokatif kekuasaan. Merupakan “arogansi” dan “kekuasaan” bahasa pula.

* ) Dosen STKIP PGRI Ponorogo, Mahasiswa Pascasarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/03/bahasa-kekuasaan-dan-politik-2-habis/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo SMA 1 Badegan Ponorogo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) STKIP PGRI Ponorogo Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo