Jumat, 08 Maret 2013

Bahasa, Kekuasaan dan Politik (1)

Sutejo *
Radar Madiun, 21 Maret 2001

Masyarakat pengguna bahasa Indonesia, selama Orde Baru dipenuhi dengan fenomena penggunaan bahasa yang “terkontaminasi” oleh kekuasaan. Hal ini, disebabkan kecenderungan kekuasaan Orde Baru yang militeristik, dan kecenderungan sifat dan sikap yang represif. Variasi pemakaian bahasa rezim Orde Baru, dalam perkembangannya menjadi alat kekuasaan, yang boleh jadi bersifat represif dan provokatif.

Karena itu, penulis membahas bagaimana kecenderungan penggunaan bahasa Indonesia yang berkaitan dengan kekuasaan empat rezim. Analisis terhadap bahasa kekuasaan ini, dilakukan dengan memandang semakin menariknya keberadaan ilmu sosial dikaitkan dengan bahasa. Cabang ilmu bahasa yang dikemukakan di sini, sebagaimana dikemukakan Soeseno Kartomihardjo dalam Bahasa Indonesia dalam Wacana Politik (2000), adalah Analisis Wacana Kritikal atau Critical Discourse Analysis, sebagaimana dikemukakan oleh para pakar, macam Norman Fairclough dengan bukunya yang monumental Critical Discourse Analysis (1995).

Ketika peran suatu rezim pemerintahan, berkaitan penting dengan sistem politik suatu negara, maka tidak terpungkiri keberadaan bahasa terkontaminasi oleh mekanisme politik yang selalu menerapkan pengaruh, kekuasaan, dan kewenangannya. Demikian sebaliknya, ketika rezim itu lemah, dan dikuasai “kekuasaan yang lain”, maka bentuk dan wujud bahasa secara produktif juga berbeda. Era reformasi misalnya, mengukuhkan dominasi bahasa yang dikuasai oleh masyarakat dan legislatif. Hal demikian, memang disebabkan oleh pemakaian bahasa, yang tidak terlepas dari konteks ruang dan waktu (termasuk orde). Di sinilah, menariknya mendiskusikan bahasa dalam konteks kekuasaan negara, atau kekuasaan sebuah era/orde.

Menurut Sri Wiryanti BU., M.Si dalam makalahnya ‘Peran Politik dalam Bahasa Indonesia (2000)’, dikemukakan bahwa bahasa Indonesia selama ini telah dapat menjalankan fungsi politik. Karena, pada dasarnya implikasi politik selalu menghampiri bahasa dalam menjalankan fungsinya sebagai media komunikasi. Hal demikian, paralel dengan apa yang dikemukakan oleh Dr. Mochtar Pabotinggi dalam Yudi Latif (1996: 213-220), yang menegaskan bahwa bahasa tak akan pernah lepas dari politik. Sebab pemilihan kata-kata tertentu, menekankan pengertian tertentu atas kata. Bahkan memakai dialek tertentu, tak lain dari berpolitik dalam maknanya yang paling dalam dan luas.

Di sini dapat dimengerti, bahwa disadari atau tidak, penutur dalam sebuah rezim selalu terpengaruh oleh muatan nilai yang ada di sekililingnya dan lingkungan sosial yang dialaminya. Bentuk-bentuk hubungan sosial antara anggota masyarakat, mempengaruhi pilihan atau unsur-unsur bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi. Di sinilah yang oleh Hymes (1972), Hudson (1981) dikatakan bahwa perbedaan bentuk hubungan sosial akan menyebabkan timbulnya variasi bahasa yang berbeda. Tak mengherankan, jika pada gilirannya pemilihan variasi bahasa dilakukan. Karena pertimbangan pemakaian bahasa atas dasar hubungan sosial akan membentuk wacana tertentu sebagai refleksi yang berkaitan antara bahasa dan politik.

Hal ini terkait dengan pengertiannya sebagai tindak sosial. Pemakaian bahasa sebagai wacana sosial, memberikan perbedaan-perbedaan substansial terhadap individu-individu sebagai anggota suatu kelompok, kelas sosial, atau himpunan-himpunan sosial lainnya (lihat: Teerdiman dalam Yudi Latif (1996)). Paradigma demikian berimplikasi pada hubungan politik antara penguasa (elite kekuasaan) dengan rakyat, yang juga berpengaruh pada pilihan atas unsur-unsur bahasa. Hal ini tampak pada tataran leksikal, semantik, dan gaya, yang dipergunakan dalam berbagai pemakaian bahasa pada wacana sosial kemasyarakatan.

Pemakaian bahasa dalam wacana politik, adalah pemilihan bahasa dalam fungsi politik. Karena itu pemakaian bahasa dalam wacana sosial politik tidaklah “netral”. Dalam kerja kolektif, proses dialogis dengan penyamaan persepsi antar petutur dan penutur. Bahkan boleh dikata, makna tidak pernah ditentukan oleh agen (baca: pemakai bahasa). Karena dalam konteks ini, makna sering dikendalikan oleh subjek tertentu. Kondisi demikian, pada gilirannya sering tampil dalam bentuk-bentuk tindak bahasa seperti instruksi, indoktrinasi, komando, intimidasi, demonstrasi, fitnah, gosip, rumor, bincang-bincang yang dalam masa rezim Orde Baru “kental” pemakaiannya.

Sedangkan, dalam era reformasi (Habibie dan Gus Dur) muncul dalam bentuk-bentuk bincang-bincang, fitnah, demonstrasi, gosip, dan rumor-rumor yang dikendalikan oleh kekuatan media massa.

Penggunaan bahasa dalam suatu pemerintahan, seringkali menjadi penanda kental tidaknya kekuasaan itu dibangun. Dengan demikian, represivitas kekuasaan dapat dianalisis (dilihat) dari penggunaan bahasa kekuasaan, dalam konteks sosial masyarakatnya. Di bawah pemerintahan yang berkuasa mengatur keseluruhan kehidupan warganya. Baik itu di masa Orde Lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi, telah bergulir pemakaian bahasa Indonesia dalam konteks sosial (wacana) sesuai dengan alur kekuasaan rezim yang sedang berkuasa.

Ketika pemakaian bahasa politik dapat dipandang sebagai pen-cerminan hubungan sosial antara penguasa dengan warganya, maka pola penggunaan bahasa politik pada umumnya ditentukan oleh sifat hubungan politik antara penguasa dan rakyat. Sesuai dengan sistem politik era atau orde rezim yang bersangkutan.
Berikut analisis penggunaan bahasa atau unsur-unsur linguistik yang mengandung berbagai ide atau muatan konsep politik. Dalam tataran bahasa, yang ada: kata, frase, maupun kalimat baik dalam rangkaian mitos, doktrin, ataupun semboyan-semboyan politik.

Bahasa Politik dalam Empat Orde

Unsur-unsur bahasa tertentu, seringkali menandai pemakaian dalam pergantian antara satu rezim dengan rezim yang lain. Unsur-unsur linguistik demikian, ditandai dengan adanya pergeseran makna yang nuansanya sangat dipengaruhi “kredibilitas” dan “kepedulian” sebuah rezim terhadap ideologi dan kekuasaan. Dalam pergeseran makna ini, tampak dalam pemakaian unsur bahasa yang sama di antara rezim yang ada, namun memiliki nuansa yang berbeda. Sebab, sebagaimana dikemukakan Barthes (1957) dalam Sri Wiryanti BU (2000), bahwa tanda bahasa dapat dimaknai dalam dua tahap. Yakni tahap primer dan tahap sekunder. Tahap primer merupakan citra bahasa itu sebagai sistem lambang yang bersifat objektif. Karena itu, pemaknaan pada tahap primer ini, tanda semata-mata dilihat dari jalinan pada strukturnya. Adapun pada tahapan sekunder, makna bahasa itu merupakan citra bahasa sebagai sesuatu yang dapat menampilkan realitas subjektif. Karena itu, proses pemaknaannya melibatkan unsur-unsur metabahasa, yang ujung-ujungnya menyebabkan bahasa itu sendiri menjadi “tidak netral”.

Penggunaan bahasa dalam pemakaian bahasa politik di rezim Orde Lama, ditandai dengan penggunaan bentuk-bentuk bahasa (baik itu leksikal, istilah, frase, maupun akronim) macam: revolusi, revolusioner, Manipol-Usdek, Nekolim, Nasakom, Marhein, “ganyang Nikolem”, “antek-antek kapitalisme”, “mana dadamu inilah dadaku”, “bukan bangsa tempe”, “digodog dalam kawah candradimuka”, “berotot kawat bertulang besi”. Munculnya penggunaan “perwujudan bahasa” tersebut, menandai adanya semangat perjuangan membangun sebuah bangsa untuk lepas dari kolonialisme. Penggunaan bahasa semacam itu, pada hakikat sebuah refleksi penting untuk menggelorakan semangat heroisme warganya, dalam menegakkan harkat dan martabat bangsa yang lebih mandiri.

Sedangkan pada rezim Orde Baru, ditandai dengan penggunaan bahasa yang berupa kata, istilah, frase, maupun akronim macam: stabilitas, konglomerat, subversi, pembredelan, konstitusional, anarkis, disesuaikan, diamankan, waskat (pengawasan melekat), “ipoleksosbud”, “Islam kanan”, “penyalahgunaan wewenang”, “menyalahi prosedur”, “bersih diri”, “bersih lingkungan”, “merongrong pemerintah”, “single mayority”, “pers yang bertanggung jawab”, “pentingnya stabilitas keamanan”, “disiplin nasional”, “organisasi tanpa bentuk (OTB)”, “gerakan pengacau keamanan (GPK)”, “daerah operasi militer (DOM)”, “ekstrim kiri”, “ekstrim kanan”, “petunjuk Bapak Presiden”, “salah menafsirkan perintah”, “musyawarah untuk mufakat”, “partisipasi politik”, “kebebasan yang bertanggung jawab”, “memasyarakatkan Pancasila dan mempancasilakan masyarakat”, “komunikasi sambung rasa”, “ke-sinambungan kepemimpinan nasional”, “kesinambungan pembangunan”, “pembangunan manusia seutuhnya”, “memasyarakatkan olah raga dan mengolahragakan masyarakat”, “menjual negara”, “tinggal landas”, “kebulatan tekad”, “kesetiakawanan nasional”, “keluarga berencana”, “keluarga prasejahtera”, “kegiatan makar”, “lengser keprabon madeg pandito” dan lain sebagainya. (bersambung)

*) Dosen STKIP PGRI Ponorogo, Mahasiswa Pascasarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/03/bahasa-kekuasaan-dan-politik-1/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo SMA 1 Badegan Ponorogo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) STKIP PGRI Ponorogo Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo