Seputar Ponorogo
Anda pernah membaca buku Aku
Terlahir 500 Gram dan Buta karya Miyuki Inoue (Elex Media Komputindo, 2007)? Saya membaca dengan linang air mata
kecil, berpuluh kata berkeliaran: kagum, trenyuh, syukur, tidak percaya,
hormat, dan sekian kata lagi yang tak terungkapkan. Mengapa mereka yang cacat
begitu fatal mampu mengukir prestasi kemudian berbuah sukses finansial luar
biasa?
Jauh sebelum itu, saya pernah berkunjung ke rumah penulis
andal dari kota Malang, Ratna Indraswari Ibrahim, bersama kolega penulis
(Tjahjono Widianto, Tengsoe Tjahjono, dan Beni Setia). Sebelumnya, memang
pernah mendengar jika penulis ini tidak sehat tetapi realita yang saya temukan
di luar yang saya pikirkan. Kelumpuhan yang menimpanya –sungguh menyesakkan--.
Mengapa dia mampu menulis? Mengapa banyak teman, guru, dan pelajar kita tidak
menulis? [padahal kita sehat walafiat]. Ia mampu membuktikan bahwa
kelemahannya diatasi dengan kekuatan
yang dahsyat sehingga mampu berkarya.
Realita ini memberikan kritik pedas pada kita: mengapa kita
tidak berkarya? Seringkali dengan berbagai alibi, kita mengingkari kemalasan
dan ketidakpecusan dalam menapaki hidup? Bukankah ketika kita tidak amanah atas
sesuatu yang diberikan Tuhan, berarti kufur atas nikmat? Bagaimana hukumnya
kufur dalam pandangan agama?
Untuk inilah, Anda penting untuk berenung sejenak. Manakala
ingatan kita tersentak oleh cacat orang tetapi ia begitu dahsyat dalam
hidupnya, begitu melambung dalam kariernya. Sementara kita dalam kesempurnaan
sering tak mampu berbuat apa-apa kecuali kemalasan dalam profesi. Kepuasan
dalam ketidaktahuan. Sungguh, menyakitkan.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar