Seputar Ponorogo
Mata hati. Jika mata Anda terbuka, maka mata hati akan tertutup. Tetapi, jika mata Anda tertutup, maka hati Anda akan terbuka. Tidak percaya, rasakan energi alamnya (yang tak pernah berubah itu) ketika sepi malam, ketika hening, ketika sendiri, --dan tentu ketika mata Anda terpejam— maka sungguh Ajaib!
Visualisasikan apa yang terjadi pada Anda dengan keenam
indera (mata, dengar, penciuman, taktil, gerak, dan indera keenam (hati))! Kita
sering hanya menggunakan salah satu
indera saja.
Bukankah hati tak pernah menipu begitulah ada ungkapan yang
mengingatkan kita. Seringkali orang kemudian mengatakan, “Mata hatiku
melihat...”, “Kata hatiku mengatakan...”, “Jendela hatiku terbuka untuk...”
Wah, indahkan? Alangkah indahnya ketika hal ini kita budayakan dalam kehidupan
kita. Artinya, kita tidak menutup-nutupi kata hati, tidak membutakan mata hati,
dan tidak menutup jendela hati. Mengapa? Hati itu sebentuk rumah keindahan yang
tak tercitrakan. Rumah energi positif –yang tentu memang bisa berubah
wujud—dalam praktiknya. Bukankah dalam fisika kita kenal hukum kekekalan
energi? Bukankah yang berubah hanyalah wujudnya. Energi hati dengan sendirinya
adalah kekal.
Karena hati adalah radar kejujuran. Karena hati adalah motor
kebaikan. Ia akan menggetarkan ketika menemukan apapun yang menyentuh nilai
kemanusiaan kita. Mereka akan mengalirkan energi positif ketika kita butuhkan.
Ia akan membisikkan kebeningan ketika keganjilan tiba. Ia akan sentuhkan
kesadaran ketika pintu alpa tiba. Untuk ini hati adalah ukuran. Hati adalah
barometer. Bagaimana merawat barometer ini biar tetap jernih?
Secara psikologis memang hati cermin kepekaan jiwa yang tanpa
prasangka. Ia akan senantiasa mengetuk ketika kita lupa. Kita akan senantiasa
tersadar dalam pilar lupa. Jiwa manusia yang kering sekalipun, hati mereka pasti
berkata jujur, bahwa kepedulian atas sesama adalah kodrat. Khianat dan fitnah
atas orang lain adalah dosa. Cakra hati akan mengingatkan bahwa karma negatif
akan menjadi hukum keseimbangan alam yang tidak pernah lekang. Ia siap tiba
kala kelayakan yang bersangkutan untuk disangkurkan.
Secara sosiologis, hati adalah jangkar sosial. Jangkar emosi
yang memiliki gerak keseimbangan alam. Kata arif, hati adalah penimbang, bandul
kehidupan yang harus terus diberatkan. Jika tidak ia akan terbeli oleh hal
lahiriah, hal semu yang seringkali menipu. Bagaimana efek sosialnya? Jika hati
tidak tersentuh oleh realita sosial maka dapat dibayangkan dampaknya secara
sosial. Mungkin orang lain akan mengatakan kita asosial. Bahkan, tidak
bermoral. Untuk ini hati-hatilah dengan kata hati. Jangan pernah dipungkiri.
Jika dipungkiri ia akan menjadi bawah sadar yang suatu waktu menggerakkan
menjadi aib bagi diri kita.
Hati akan menjadi jendela ketika kedengkian lahir menjadi
panglima. Hati tidak pernah tertutup, dan karena itu, wajar ia dapat melihat
apapun dengan bening mata. Karena mata hati juga tidak pernah tertutup, maka
hati-hati dengan bahasa kata yang menutupi hati. Karena kata hati tidak pernah
berbohong, maka hati-hati jangan berbohong jika kita tidak akan tertanam dalam khilaf
berkepanjangan.
Hati karena itu ibarat tanaman suci. Ia bening. Daunnya hijau
penuh keteduhan. Rantingnya kokoh dan bersahabat. Hati, akarnya kokoh tak
tertandingi. Buahnya indah tak terlukiskan. Maka hati-hati jangan membohongi
hati.
Hati seperti sebuah purnama yang setiap saat bercahaya.
Masalahnya adalah mengapa sebagian orang menutupi kata hati? Biasanya, sifat
manusia adalah khilaf dan iri. Bisa jadi hati kecil mereka mengakui tetapi jika
itu diucapkan akan mengurangi harga diri (menurut pikirannya). Tetapi
sesungguhnya jika hati dan kata bisa bertali akan menjadi kekayaan yang luar
biasa. Bayangkanlah sekarang: andaikan pejabat dan birokrat kita tidak menutup
mata hatinya, tidak menutup jendela hatinya, dan tidak menulikan telinga
hatinya. Wah, mereka dapat dipastikan akan berjuang seperti pahlawan tempo dulu
untuk membela rakyat. Tidak saja dalam retorika tetapi dalam laku dan gerak
hati. Bisa jadi mereka tidak akan nyenyak dalam tidurnya karena melihat dengan
mata telanjang kerumitan yang diderita rakyatnya.
Bagaimana dengan kita? Mari kita rawat suara hati, kita tata
bisikan hati, kita kenang jendela hati. Sebuah rumah keindahan itu lambat laun
akan tercipta. Rumah hati dengan perabot yang mempesona siapa pun tamu yang
mengunjunginya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar