Seputar Ponorogo
Dalam banyak kesempatan pelatihan yang saya bawakan, saya sering bertanya, “Nabi Muhammad itu kaya atau miskin?”. 90 persen mereka menjawab, “Miskin.” Padahal yang benar, miskin pada awalnya, kemudian nabi menjadi seorang panutan yang kaya raya.
Kita hanya mengenal nabi mulai berbisnis pada usia 12 tahun.
13 tahun kemudian ketika menikahi Khatijah, apa maskawinnya? 12 ons emas dan 20
unta. Luar biasa! Nabi adalah pengusaha sekaligus eksportir. Para sahabat dan
kerabat nabi rata-rata pengusaha. Sampai-sampai nabi mengatakan, “Sembilan dari
sepuluh jalan usaha adalah berbisnis.”
Makna apakah yang dapat diambil? Dengan kaya kita dapat
menuntut ilmu, bersedekah, membantu orang lain, dan –yang pasti— daya tawar
kita semakin tinggi. Bayangkan, andaikan umat Muslim semua kaya, paling tidak
mayoritas kaya, maka daya tawarnya akan semakin tinggi. Tidak seperti pemeo
begini, “Kalau ada orang minta sumbangan di jalan atau di atas bus dapat
dipastikan mereka adalah muslim.”
Tak heran, kemudian nabi berpesan, “Bekerjalah untuk urusan
duniamu seakan-akan hidup selamanya!” Dan, Tuhan, menginspirasikan dalam surat
al-jum’ah, “Setelah melaksanakan sholat maka bertebaranlah di muka bumi untuk
mencari rezeki Allah.”
Saya kemudian membayangkan, andaikata tidak ada
pengusaha, boleh jadi Islam tidak sampai
di Indonesia. Korun, hanyalah salah satu contoh orang kaya yang tidak baik,
maka Korun sebaiknya tidak sering kita ingat, sementara bagaimana Umar yang di
jelang kematiannya meninggalkan 70.000 properti yang jika dikurskan dalam
hitungan sekarang sekitar 12 trilyun.
Salam kaya! Dan, akan menjadi luar biasa setelah kaya, tetapi
juga kaya hati dan kaya jiwa. Kaya cinta!
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar