Sutejo *
Radar Madiun, 8 Nov 2000
Dalam menyongsong desentralisasi pendidikan mulai 1 Januari 2001
mendatang, maka menjadi penting untuk mendiskusikan “alternatif
kebijakan” pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomisasi pendidikan.
Pertama, merger dan “restrukturisasi” Depdiknas dan Cabang
Dinas Pendidikan menjadi Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten.
Paradigma ini, sebelum 1 Januari 2001 mutlak dilaksanakan. Merger dua
atap menjadi satu atap dinas, akan menjadi persoalan alami, yang membawa
konsekuensi dan resiko kepegawaian tersendiri. Untuk itu, kearifan dan
profesionalisasi personal birokrasi daerah menjadi jawaban pertama dalam
menempatkan persona-personanya.
Sebab, profesionalisme telah menjadi salah satu asas pelaksanaan
pemerintah yang bersih dari KKN, sebagaimana diisyaratkan oleh UU No. 28
tahun 1999. Profesionalisme yang menuansakan etos produktif, etos
kerja, dan etos kompetisi dalam memompa dan mengendalikan
operasionalisasi pendidikan di daerah.
Kedua, berdirinya organisasi pengelola pendidikan daerah
(Dewan Sekolah) yang kompeten dan profesional. Kompetensi dan
profesionalisasi Dewan Sekolah, karenanya menjadi mutlak. Mengingat
besarnya tanggung jawab yang dibebankan padanya. Sejalan dengan tujuan
pendiriannya, sebagaimana disinyalir oleh Muljani A. Nurhadi (Irjend
Depdiknas), maka organisasi ini memiliki tiga tujuan utama: 1. Untuk
mendorong melakukan pemberdayaan masyarakat, 2. Menumbuhkan prakarsa dan
kreativitas, 3. Untuk peningkatan peran serta masyarakat, serta
mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Karena itu, dalam konteks desentralisasi pendidikan ini, tidak ada
satu lembaga pun yang berkewenangan menentukan berbagai kebijakan
pendidikan, kecuali Dewan Sekolah. Karena itu, policy tenaga
kependidikan misalnya, Dewan Sekolah berkewenangan untuk menentukan
sistem penggajian, pengangkatan, pemberhentian, pemindahan, dan
pemensiunan guru. Gayut dengan persoalan pendanaan pendidikan, Dewan
Sekolah ini dapat memaksa “political wiil” pemerintah Dati II untuk memberikan perhatian penuh, atau mengalokasikan secara maksimal pada dunia pendidikan.
Dalam konteks inilah, Suyanto jauh hari pernah mengusulkan pentingnya
pemberdayaan pendidikan dengan memberikan prioritas dana pada dunia
pendidikan. Yakni, sebuah makna pemberdayaan pendidikan yang ditandai
dengan dijadikannya pendidikan sebagai program unggulan dengan Jepang,
sebagai contoh konkret yang dapat diteladani. Karena itu, logis kiranya
jika Agenda Jakarta 2000 yang menetapkan salah satu agendanya pada
penekanan akan arti pentingnya komitmen pemerintah, dalam meningkatkan
proporsi anggaran pendidikan, hingga mencapai lima persen dari PDB atau
25 persen APNM.
Ketiga, digunakannya asas demokrasi dalam pelaksanaan
desentralisasi pendidikan. Pentingnya demokratisasi pendidikan, sehingga
memberikan nilai-nilai keadilan, kreativitas, dan pemberdayaan
masyarakat dalam konteks otonomi daerah. Maka otonomi pendidikan harus
mengedepankan adanya profesionalitas, akuntabilitas, dan kesejahteraan
para aktivis pendidikannya. Karena itu, jika akuntabilitas publik
pendidikan tidak berjalan, logikanya sulit berpihak pada pemberdayaan
intelektualitas masyarakat yang integratif dengan nilai-nilai
moralitasnya. Bagaimana lembaga pendidikan kita selama ini telah menjadi
“pasar” pendidikan, tanpa kontrol peningkatan kualitas masyarakat
produknya? Bukti gampang yang dapat diajukan, adalah semakin menjamurnya
pengangguran terdidik di satu sisi dan sering tidak signifikannya
sertifikasi ijazah dengan kemampuan seseorang di sisi yang lain.
Jika demokratisasi pendidikan dalam otonomi pendidikan di daerah ini
berhasil, pada gilirannya tentu akan memberikan kontribusi berarti pada
peningkatan daya saing SDM Indonesia. Bukankah dalam konteks otonomi
pendidikan, daerah adalah si pemegang kata akhir sebuah kewenangan
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengevaluasian pendidikan di
daerah? Profesionalitasnya, akan menjadi taruhan penting berkualitas
tidaknya SDM Indonesia mendatang.
Karena itu, isyarat Agenda Jakarta 2000, harus mampu melahirkan
semacam gerakan untuk melakukan reposisi pendidikan secara real di
daerah. Reposisi pendidikan yang mempanglimakan terbentuknya masyarakat
sipil yang demokratis, sebagai wujud dari pentingnya SDM yang berwawasan
“berkeotonomian-daerah”. Jika postulasi Gramsei tegas mengisyaratkan
bahwa setiap hubungan pedagogis bersifat hegemonik, maka reposisi
pendidikan ini menggantung amanat pentingnya reciviliani-zation dengan terciptanya pendidikan yang demokratis, kreatif, kritis, inklusif, dan berbasis manajemen modern di daerah.
Keempat, implementasi Agenda Jakarta 2000 di daerah.
Fenomena penyimpangan pendidikan selama ini, karenanya telah menjadi
otokritik yang harus dijawab dengan implementasi Agenda Jakarta 2000.
Sosialisasi penjabaran kewenangan daerah, dalam otonomi pendidikan dan
pentingnya penyadaran akan amanat Agenda Jakarta 2000. Karenanya,
menjadi alternatif awal pemecahan problematika pendidikan selama ini. Di
samping, pengawasan dan pengawalan ketat terhadap institusi pendidikan
yang ada di daerah. Penyimpangan yang terjadi di lapangan, harus
ditindak tegas agar penyimpangan dapat dihindarkan dan “keadilan
pendidikan” dapat diciptakan. Ironisnya, realita pendidikan mutakhir,
boleh jadi tanpa profesionalitas, akuntabilitas, dan etos pemberdayaan
ini sudah menjadi rahasia umum. Kecil prosentase penyelenggara
pendidikan yang berpanglimakan pemberdayaan dan profesionalitas ini.
Hingga saat ini, pendidikan kita dinilai oleh almarhum Romo Mangun
telah terperangkap pada indoktrinasi kognitif-afektif secara
besar-besaran (brainswashing). Sehingga tidak membekalkan
analisis kritis dan kreatif, dalam menghadapi kehidupan nyata.
Terjerumus dalam jamban pendidikan yang tidak memberdayakan! Dalam
konteks inilah, Agenda Jakarta 2000 dan profesionalisasi desentralisasi
pendidikan memiliki urgensitas tinggi dalam mendorong terciptanya
pendidikan yang berdemokrasi, kreatif, bermoral, dan memberdayakan.
Kelima, perlunya revitalisasi otonomi pendidikan di daerah.
Revitalisasi pendidikan yang ditandai dengan adanya kesadaran untuk
melakukan apa yang oleh Darmaningtyas disebutnya dengan revitalisasi
“transformasi pendidikan”. Transformasi pendidikan yang ditandai dengan
perlunya perbaikan ekonomi; perbaikan kurikulum yang berbasis
masyarakat, revitalisasi seni dan humaniora, demokrasi, dan kurikulum
yang menanamkan sikap kritis, terhapusnya pendidikan yang militeristik,
dan urgennya pemberdayaan guru. Jika gagasan deret konsekuensi
transformasi pendidikan ini diimplementasikan di lembaga pendidikan,
dengan pigura sekolah yang berbasis manajemen, maka puluhan tahun ke
depan bukan hal naïf jika pendidikan kita adalah sebuah jawabannya.
Meski terlambat, “peneloran” idealisme Agenda Jakarta 2000, wajib
diterjemahkan ke dalam pelaksanaan otonomi pendidikan di daerah. Boleh
jadi, merupakan jawaban awal menyongsong era 2003 dengan AFTA dan 2020
dengan APEC-nya. Urgensitas Agenda Jakarta 2000, mengamanatkan
pemerintah daerah untuk berpikir kritis dinamis dalam mengantarkan
terbentuknya Indonesia baru. Indonesia yang tidak sekedar jadi
bulan-bulanan bangsa-bangsa di dunia, tetapi bangsa mandiri yang
memiliki kemandirian berdiri di atas kaki sendiri. Mudah-mudahan ini
bukan “mimpi di siang bolong” karena “kebakaran global” sudah di depan
mata, sementara otonomi pendidikan dengan pemberdayaan daerah masih
dalam kata-kata. Bukankah jauh tahun Malaysia sudah mencanangkan Wawasan
2000-nya, Singapura dengan SDM yang knowledge employee?
Bahkan, Jepang tahun 1972 telah mencanangkan keterpaduan ekonomi dan
pendidikan dengan menghadapi era 2000 dengan proyek prestisius. (HABIS)
*) Dosen STKIP PGRI Ponorogo, Mahasiswa Pasca Sarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/pendidikan-dalam-bingkai-otonomi-daerah-3-habis/
Sabtu, 23 Maret 2013
Pendidikan dalam Bingkai Otonomi Daerah (3 Habis)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
SMA 1 Badegan Ponorogo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
STKIP PGRI Ponorogo
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar