Sutejo *
Radar Madiun, 7 Nov 2000
Jika mencermati kewenangan Dati II dalam pelaksanaan otonomisasi
pendidikan di atas, maka pemerintah daerah memiliki peluang dan
tantangan yang sama besarnya. Boleh jadi peluang yang diisyaratkan itu
menjadi harapan emas, namun tantangan yang terjadi di lapangan menjadi
isyarat kecemasan tersendiri. Bagaimana daerah mampu menerjemahkan isyarat Agenda Jakarta 2000, misalnya ke dalam policy, visi, dan misi pendidikan daerah, melalui muatan lokal adalah problema tersendiri yang tidak mudah.
Sebagaimana disadari, lima persoalan pokok dalam Agenda Jakarta,
telah menyentakkan kita tentang pentingnya penataan otonomisasi
pendidikan, manajemen, dan pemberdayaannya. Institusi pendidikan daerah,
menjadi tulang punggung, mulus tidaknya cita-cita Agenda Jakarta 2000.
Karena itu, mimpi yang disarankan dalam tidur panjang pendidikan daerah
kita, adalah pentingnya sekolah yang berbasis manajemen (School Base Manajement).
Ketika pendidikan bersifat sentralistik, menggantung, dan akreatif
dalam “menghidupi” institusinya, maka penciptaan sekolah yang berbasis
manajemen, dianggap sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan
kerumitan pendidikan Indonesia mutakhir. Persoalannya adalah, selama ini
sekolah telah menjadi “sarang politik Orba” yang menggulirkannya dengan
“manajemen korup” dan “pembodohan politik remaja” melalui sekolah.
Sekolah, praktis tak pernah berpikir manajemen, uang dikelola,
di-SPJ-kan dengan aneka rekayasa, dan tanpa akuntabilitas publik.
Mampukah pemerintah daerah menciptakan pendidikan daerah yang
berkeotonomian dan yang memberdayakan masyarakat?
Keberagaman yang tajam, kemampuan daerah terutama dalam hal keuangan
dan pendapat asli daerah, menurut Awaludin Djamin, seorang Guru Besar
Administrasi Negara, telah menjadi sesuatu yang “mengkhawatirkan”.
Karena, dari 319 Dati II di Indonesia, baru tujuh daerah yang sanggup
membiayai kebutuhannya sendiri. Karena itu, kebijakan otonomi daerah di
tingkat Dati II akan menjadi semacam politik devide et impera.
Jika pendidikan selama ini telah menjadi alat kekuasaan, dan bersifat
materialistik sebagaimana banyak dinilai pakar, maka kebangkrutan
bangsa dalam konteks mutakhir, banyak ditentukan oleh lemahnya dunia
pendidikan selama 32 tahun yang tidak memberdayakan masyarakat (lihat: Pendidikan Pada dan Setelah Krisis,
Pustaka Pelajar: 1999). Bahkan, pendidikan kita kata Winarno Surachmad,
meskipun terjadi perubahan dari tahun ke tahun, tetapi baru bersifat
kosmetik. Pendidikan yang berusaha menciptakan pemasungan bangsa yang
direduksi menjadi bonsai pendidikan, sama dan sebangun dengan nalar,
aspirasi, sikap tutur kata, bahkan dalam mimpi mereka.
Imagi politik pendidikan inilah, yang akan menjadi masalah terbesar
dalam konteks otonomisasi pendidikan. Di samping “perubahan mendadak”
dari sistem sentralistik (baik keuangan dan kebijakan), yang ketika itu
menimbulkan banyak kesenjangan, kebutuhan riil sekolah dengan pemerintah
pusat ke sistem desentralisi-otonomisasi pendidikan daerah. Jika
fenomena demikian, tidak disikapi dengan implementasi sekolah berbasis
manajemen dan pentingnya akuntabilitas publik, maka kecil kemungkinan
otonomisasi pendidikan akan bergerak dinamis.
Pentingnya kesadaran penempatan pendidikan sebagai prioritas utama,
dan mendorongnya sebagai agen sentral reformasi nasional menuju
Indonesia baru, mengingatkan kita untuk merenungkan kembali realita
dunia pendidikan kita di daerah. Sudahkah mulai berbenah, atau jengah
karena tidak tahu arah ke mana harus berkiprah dalam idealisme otonomi
daerah? Jika idealisme ini disadari, maka realita manajemen “pendidikan
kacang goreng”, “manajemen pendidikan feodalistik”, dan “manajemen
pendidikan kemiskinan” yang selama ini banyak terjadi, harus dikikis
habis tanpa bekas. Karena lembaga pendidikan dalam konteks otonomi
daerah, jelas harus memberdayakan, melibatkan partisipasi masyarakat,
baik peran maupun gagasan.
Tentang Kecemasan itu
Pelaksanaan otonomisasi pendidikan pada 1 Januari 2001 mendatang, bak
keping uang yang menggambarkan dua potret keadaan yang bisa jadi
berlawanan. Di satu sisi, melahirkan banyak kecemasan, karena realita
dunia pendidikan kita yang memiliki beragam persoalan. Di sisi lain,
munculnya idealisme pemberdayaan daerah dan peran masyarakat dalam
pendidikan secara maksimal. Karena itu, tak mengherankan jika yang
dominan muncul adalah banyaknya kecemasan, berkaitan dengan otonomisasi
pendidikan.
Mutu pendidikan, tampaknya akan menjadi kecemasan pertama,
karena sistem operasionalisasi otonomi pendidikan sendiri, yang
sesungguhnya merupakan persoalan besar. Di samping kualitas, tentunya
beragam kualitas karena kemampuan daerah yang berbeda-beda akan menjadi
kunci kecemasan itu. Hal demikian senada dengan apa yang dikemukakan
oleh Prof. Dr. Sutjipto dari Universitas Negeri Jakarta, ketika
mengkritisi otonomisasi pendidikan di The Habibie Center. Kecemasan
Sutjipto, didasarkan pada kemampuan apresiasi daerah terhadap pendidikan
itu sendiri, di samping kemampuan dan standar pelayanan yang
berbeda-beda.
Paradigma demikian, memang mengandung semacam paradoks, “ternyata”
konsep otonomisasi pendidikan ini, pada gilirannya akan melahirkan
kesenjangan kualitas pendidikan antar daerah. Kelengkapan sarana
prasarana, visi dan misi daerah sendiri terhadap pendidikan, kualitas
pendidikan yang beragam, dan yang paling penting kemampuan beragam
daerah dalam memfasilitasi dunia pendidikan, akan berpengaruh penting
terhadap produk peserta didik dalam otonomisasi pendidikan.
Sebab sebagaimana disinyalir oleh Irjend Depdiknas, Muljani A.
Nurhadi, di samping otonomisasi pendidikan dapat mengakibatkan keadaan
di atas, pada sisi yang lain dapat menurunkan kualitas pendidikan itu
sendiri. Bagaimana Chili katanya, yang telah melaksanakan desentralisasi
pendidikan, meskipun mampu meningkatkan apresiasi masyarakat dalam
partisipasi pendidikan, namun justru dibarengi dengan merosotnya mutu
dan kualitas dunia pendidikannya. Fenomena demikian, tentunya dapat
menjadi semacam peringatan daerah dalam mengimplementasikan konsep
otonomisasi pendidikan searif mungkin.
Kecemasan kedua, adalah belum adanya organisasi pengelola
pendidikan di daerah. Selama ini, nyaris pemerintah daerah belum
“bergerak” untuk mengantisipasi peran besarnya dalam roda otonomi
pendidikan. Ada memang daerah yang sudah “menjemput bola” macam Kodya
Sukabumi, yang sudah sampai pada tahap implementasi sebagaimana
dikemukakan oleh walikotanya, Dra. Hj. M. Mulyati Djubaidi. Jika Dewan
Sekolah misalnya, yang nantinya memiliki kewenangan perencanaan
pendidikan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan, serta kewenangan
evaluasi, maka keberadaan organisasi ini pun di daerah, tampaknya belum
terealisasi dengan baik. Waktu dua bulan tentunya bukanlah waktu yang
panjang untuk merealisasi keberadaan organisasi ini.
Padahal, kehadiran organisasi ini kata Soenardi Dwidjosusastro,
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Depdiknas, mendesak
diwujudkan. Mengingat desentralisasi pendidikan sebagai konsekuensi
pelaksanaan otonomi daerah. Terlebih lagi, jika memperhatikan secara
konseptual dan operasional keberadaan organisasi ini belum menunjukkan
kejelasan. Bahkan, Dati II cenderung terkesan menunggu dan tidak
berinisiatif “menjemput bola”.
Untuk merealisasikan organisasi pendidikan (Dewan Sekolah) itu
sendiri, Soenardi Dwidjosusastro berpesan haruslah memperhatikan lima
persoalan kunci: 1. Bobot dan kewenangan masing-masing daerah, 2.
Efisiensinya, 3. Kemampuan daerah, 4. Pentingnya keterpaduan
penyelenggaraan pendidikan, dan 5. Pemahaman terhadap keberadaan PP No.
84/2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.
Kecemasan ketiga, adanya keterbatasan kemampuan daerah.
Keterbatasan kemampuan daerah, baik profesionalitas SDM-nya maupun
kemampuan PAD-nya menjadi problematika sendiri. Untuk Ponorogo misalnya,
sudah muncul statemen Bupati Markum Singodimejo berkaitan dengan
kemungkinan keberlangsungan GTT di lembaga pendidikan. “Kalau Pemkab tak
mampu, ya dicopot,” katanya (Radar Madiun, 15/10/2000). Jika
kemampuan daerah menjadi persoalan yang mencemaskan berkaitan dengan
keberlangsungan opersionalisasi pendidikan, maka peran masyarakat
menjadi penting untuk diberdayakan.
Namun, faktor SDM masyarakat kita secara umum masih rendah, utamanya
berkaitan dengan inisiatif, etos kerja, daya saing, dan kemampuan
berkreasi. Profesionalisme masih menjadi kecemasan melekat untuk tidak
menyebutnya “tidak adanya kesiapan profesionalisme SDM” kita.
Peningkatan profesionalisme pendidikan dalam konteks otonomi daerah,
harus tersandung oleh tidak profesionalitasnya SDM daerah sendiri.
Tidak adanya perubahan paradigma pengelolaan pendidikan dan tenaga kerja kependidikan, menjadi kecemasan keempat yang
menarik untuk direnungkan. Jika selama ini, pendidikan seakan berjalan
sekadarnya, tanpa fokus berarti, maka perubahan paradigma pengelolaan
pendidikan menjadi kunci penting untuk dipikirkan.
Untuk itu, dalam konteks desentralisasi pendidikan, peneliti di
Balitbang Depdiknas, Dr. Ace Suryadi, menyarankan pentingnya perubahan
paradigma pengelolaan itu. Yakni, adanya perubahan dari orientasi
persekolahan ke orientasi belajar, perubahan dari penanaman keterampilan
ke pengembangan kompetensi, dan perubahan dari kurikulum yang rigid ke
kurikulum yang luwes dan fleksibel.
Jika isyarat pentingnya muatan kurikulum lokal dalam wacana kurikulum
1994 saja tidak terealisasi secara baik, maka amanat desentralisasi
dalam perumusan kurikulum lokal menjadi problema tersendiri.
Profesionalitas organisasi pendidikan, menjadi taruhan terhadap dinamika
dan aspiratif tidaknya muatan lokal yang berkedaerahan dengan tanpa
mengabaikan muatan kurikulum nasional.
Kecemasan kelima, adalah belum adanya peran fungsionalitas
ketenagakerjaan kependidikan. Kalau selama ini, fungsi guru dalam
mengajar, mendidik, membimbing, dan mengelola kelas saja tereduksi
sedemikian rupa; maka fungsionalitas ketenagakerjaan pendidikan ini
mengamanatkan pentingnya perubahan sikap guru dari sekedar pelaksana
menjadi enterpreneur pendidikan. Enterpreneur guru ini, menjadi
kecemasan tersendiri ketika mayoritas guru kita adalah sekadar “pekerja”
bukan “manajer” pendidikan, sekadar “pencari nafkah” dan bukan “pelahir
orok kreatif” di masa depan.
Tidak adanya akuntabilitas publik pendidikan menjadi kecemasan keenam
yang menarik untuk dipikirkan. Jika, pertanggungjawaban balik dunia
pendidikan, atas ketidakberdayaan produk peserta didik tidak ada,
ketidakmampuan kompetisi peserta didik tidak tercipta, maka mengharapkan
masyarakat kritis terhadap pelaksanaan desentralisasi pendidikan adalah
sebuah kemustahilan. Bahkan, masyarakat kita cenderung menyikapi
pendidikan sebagai proses “sertifikasi” bukan “kualifikasi” dan
“profesionalisasi”. Dalam soal manajemen sekolah selama ini misalnya,
nyaris tidak ada akuntabilitas publiknya. Manajemen “dagang sapi”,
tertutup, “manajemen top down” adalah potret kecemasan yang menarik untuk dikritisi.
School Base Manajement kini, tampaknya dijadikan jawaban
atas ketidakproduktifan manajemen pendidikan selama ini. Hanya sekolah
yang berbasis manajemen inilah, nantinya akan andil positif terhadap
proses desentralisasi pendidikan.
Paling tidak, menjadi pelipur lara di antara gegap gempita pelaksanaan otda yang tiba-tiba. (bersambung)
*) Dosen STKIP PGRI Ponorogo, Mahasiswa Pasca Sarjana UNS Surakarta.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/pendidikan-dalam-bingkai-otonomi-daerah-2/
Sabtu, 23 Maret 2013
Pendidikan dalam Bingkai Otonomi Daerah (2)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
SMA 1 Badegan Ponorogo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
STKIP PGRI Ponorogo
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar