Sutejo
Majalah Dinamika PGRI
Dalam tafsir Ibnu Katsir jilid 4 (hal. 774), ada penafsiran menarik terkait dengan pentingnya menulis. Penjelasan ayat [yang merupakan sumpah Allah], Nuun, demi kalam dan apa yang mereka tulis; terdapat uraian yang menggetarkan saya. Untuk lebih afdalnya dikutipkan sebagai berikut.
Demi kalam, pada zahirnya, ia adalah jenis pena yang dipakai
untuk menulis. Hal ini seperti firman-Nya, “Bacalah dengan nama Tuhanmu
yang telah menciptakan…. Bacalah dan Tuhanmu yang Paling mulia. Yang
telah mengajarkan dengan kalam. Yang telah mengajarkan manusia sesuatu
yang tidak diketahuinya.” Kalau begitu, kalam dalam ayat ini merupakan
sumpah dari Allah dan peringatan bagi hamba-hamba-Nya tentang nikmat
yang telah diberikan kepada mereka berupa pengajaran menulis, yang
menjadi wasilah umat mendapatkan berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya
Allah SWT berfirman, “Dan apa yang mereka tulis.” Dikatakan, maksudnya
ialah pena yang merupakan makhluk yang pertama, dalilnya adalah sabda
Rasulullah saw, “Yang pertama kali diciptakan Allah adalah kalam…”
(Muhammad Nasib Ar-Rifai, 2005:774).
Sungguh menggetarkan! Mengapa kebanyakan muslim tidak menulis?
Berturut-turut tulisan ini akan mengkaji tentang: (i) simbol-simbol
Islam akan pentingnya membaca dan menulis, (ii) sejarah peradaban
ditentukan oleh geliat ilmu, dan (iii) pentingnya berguru pada masa lalu
yang penuh dengan pergulatan keilmuan.
Membaca Simbol
Kehadiran surat Al-‘Alaq, Al-qalam, Al-Muzammil, dan Al-Mudatstsir adalah simbol akan pentingnya ilmu pengetahuan (membaca dan menulis). Surat-surat ini diurutkan dalam urutan diterima nabi. Al-‘Alaq simbol pentingnya membaca dan menulis. Al-qalam adalah pentingnya transformasi ilmu melalui proses wasilah menulis. Al-Muzammil adalah simbol untuk belajar secara intensif (bukan untuk ibadah!). Al-Mudatstsir adalah
simbol untuk beribadah (karena proses kerasulan dimulai dari surat ini,
yang kemudian diikuti turunnya surat Al-Fatihah –yang menjadi inti dari
bacaan shalat–.
Marilah kita eksplorasi keempat simbol itu lebih jauh. Surat Al-‘Alaq dan Al-Qalam adalah simbol pentingnya membaca dan menulis. Isyarat Al-Quran (Al-‘Alaq),
diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata
bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian
pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-Qalam). Konteks surat Al-‘Alaq
sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara
rumit— karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca
(metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan
penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya,
menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.
Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai
permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai
berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya,
surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam
konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan [lebih intensif baca tulisan penulis “Membaca itu Wajib, Guru!” yang pernah dimuat Dinamika.
Selanjutnya, mengapa Al-Muzammil simbol belajar intensif? Coba ikuti tafsir surat itu! Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali
sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan
perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Bukankah Al-Quran adalah sumber segala ilmu? Metaforik dari perintah bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya
adalah segala materi bacaan. Apalagi, kita diperintahkan untuk bangun
malam, di sepertiga malam. Sesungguhnya, hemat saya, ayat ini adalah
perintah untuk belajar secara intensif, bukan beribadah. Sebagian banyak
kita menafsirkan bangun malam ini untuk ibadah mahdzah. Padahal,
konteks surat ini adalah belajar. Mengapa? Karena perintah ibadah baru
muncul setelah surat Al-Mudatstsir, seiring dengan perintah kerasulan yang diterima nabi. Apalagi, surat itu didahului dengan surat sebelumnya: Al ‘Alaq dan Al Qalam.
Hal-hal inilah kemudian yang menyadarkan kita, ternyata membaca dan
menulis itu menjadi intisari kerasulan nabi, bahkan nabi kita diajari
langsung oleh malaikat Jibril. Tidak saja itu, tetapi juga masalah wudlu
dan sholat, nabi Muhammad diajari langsung oleh Jibril sebagaimana
hadis yang berbunyi, “Aku didatangi Jibril as, pada awal-awal turunnya
wahyu kepadaku. Dia mengajarkan kepadaku wudlu dan sholat”. [detailnya,
baca buku Agus Mustofa: Metamorfosis Sang Nabi, dari Buta Huruf Menjadi Ilmuwan Jenius, Padma Press, 2008].
Sejarah Peradaban, Sejarah Ilmu
Pelajaran yang sangat menarik dapat dipetik adalah ketika nabi
membebaskan tawanan musyrik dalam Perang Badar dengan menggantinya
mengajari membaca menulis kepada kaum muslim. Luar biasa keteladanan
nabi! Mengapa? Karena masyoritas umat Islam saat itu buta huruf. Inilah
gerakan awal yang dilakukan nabi. Sebuah konsep yang diorentasikan agar
umat Islam mencapai kesempurnaan dengan ilmu pengetahuan.
Di sinilah maka sahabat nabi, Zaid bin Tsabit, adalah contoh sahabat
yang mengungguli para sahabat lainnya. Termasuk mampu menggungguli Abu
Hurairah (sahabat nabi lain yang luar biasa hafalannya) sampai-sampai
dalam hadist Imam Bukhari diuangkapkan, “Tidak ada sahabat nabi yang
hafalan haditsnya melebihi aku.” Akan tetapi, Abu Hurairah kalah
dibandingkan Zaid bin Tsabit. Zaid bin Tsabit mampu menjadi sekretaris
pribadi Rasulullah dan menjadi penerjemah bahasa Suryani dan Ibrani. Ini
semua karena kemampuan membaca dan menulis yang dimilikinya. Ia adalah
penulis wahyu Rasulullah yang kemana pun dan di manapun nabi berada
selalu ada Zaid bin Tsabit.
Pengalaman “peradaban” inilah kemudian yang menjadi perjalanan
kebudayaan Islam berkembang sangat cepat. Sebuah ruh ilmu pengetahuan
yang ironisnya kini ditinggalkan oleh sebagian besar umat Islam.
Perintah Islam bukan untuk berbicara, tetapi untuk membaca dan menulis!
Berguru kepada sejarah (Islam) dengan simbol nabi Muhammad, maka kita
hanyalah buih laut yang sungguh tidak memiliki arti apapun! Sebuah
kesadaran futuristik, sampai-sampai nabi mengatakan “carilah ilmu sampai
negeri Cina”. Pada zaman nabi, memang sudah banyak sahabat yang
berdagang sampai ke negeri Cina. Nabi Muhammad adalah pemimpin yang
sangat mementingkan pendidikan dan ilmu! Sampai, metode pembebasan
tawanan perang akan dibebaskan kala mereka mampu mengajarkan membaca dan
menulis kepada kaum Muslim. Sungguh, luar biasa.
Sejarah Nabi adalah sejarah perjalanan ilmu pengetahuan. Nabi pun
pernah berkata, “Saat seorang alim bersandar di tempat tidur untuk
memperdalam ilmunya adalah lebih baik daripada ibadah seorang hamba
selama enam puluh tahun.” Skenario apakah ini? Sebuah ruh spiritualitas
ilmu yang menggerakkan! Bahkan, nabi pun sampai mengatakan, “tinta
seorang sarjana lebih suci daripada darah syuhada.” Dan “mencari ilmu
hukumnya wajib bagi seorang Muslim.” Tidak saja itu, dalam hadits yang
diriwayatkan oleh HR Ibnu Majah, Rasulullah bersabda, “Ada tiga golongan
orang yang dapat memberikan syafaat di hari kiamat, yaitu para nabi,
kemudian para ulama (orang-orang berilmu, –bukan sekadar ilmu agama
karena Al-Quran banyak memberikan tuntunan inspiratif tentang ilmu
pengetahuan–), dan para syuhada.”
Simbol-simbol ajaran nabi ini, tentunya menjadi inspirasi bagi para
sahabat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Diawali dengand runtuhnya
Dinasti Ummayah (750) menuju kegemilangan Dinasti Abbasiyah. Apa yang
menarik? Inilah yang dapat kita petik dalam membaca sejarah peradaban
untuk semangat perubahan di masa depan!
Berguru: Membaca dan Menulis
Setelah pemimpin Islam, khalifah pertama Bagdad (kepindahan simbol
kepemimpinan dari Damaskus ke Bagdad), Abu Abbas As-Saffah, awalnya
disibukkan dengan pestabilan pilitik paca tergulingnya Dinasti Umayyah
kemudian mengambil langkah-langkah strategis peradaban yang
mencengangkan! Al-Mansur, khalifah kedua Bagdad kemudian menerjemahkan
dan menyerap ilmu pengetahuan dari Persia, Cina, Romawi, India, dan
Yunani. Saat itulah, temuan-temuan penting dimulai!
Sampai kemudian memunculkan polymath (orang yang menguasai
lebih dari satu ilmu) Islam (Eko Laksono, 2006:39). Al-Khawarizmi yang
menguasai ilmu Matematika (Algoritma, Aljabar, Kalkulus), Astronomi, dan
Geografi sekaligus. Al-Kindi, menguasai Filsafat, Matematika,
Kedokteran, Fisika, Astronomi, Optik, dan Metalurgi. Al-Farabi, yang
menguasai Sosiologi, Logika, Politik, dan ahli musik. Al-Razi yang
menguasai ilmu Kedokteran, Kimia, dan Astronomi. Al-Biruni yang
menguasai Astronomi dan Matematika. Ibnu Shina yang menguasai
Kedokteran, Filsafat, Matematika, dan Astronomi. Al-Ghazali yang
mengusai Sosiologi, Teologi, dan Filsafat. Ibnu Rusyd yang menguasai
Filsafat, Teologi, Hukum, Kedokteran, dan Astronomi. Ibnu Khaldun yang
menguasai Sosiologi, Sejarah, Filsafat, dan Politik.
Di samping penemu-penemu keilmuan macam Ibn Haitham (965-1040) yang
dikenal sebagai “Bapak Ilmu Optik” karena berhasil merumuskan secara
saintifik sistem penglihatan manusia. Ini merupakan temuan hasil
eksperiman yang didasarkan pada kepercayaan ilmuwan Yunani macam Ptolemy
dan Euclid yang memandang bahwa manusia bisa melihat karena mata
mengirimkan cahaya ke benda. Kemudian Ibn Al-Nafis yang menjadi ilmuwan
pertama yang berhasil secara rinci menggambarkan sistem sirkulasi darah,
urat nadi, dan arteri manusia pada pertengahan abad ke-13 di Andalusia
Spanyol. Al-Batani (850-923) dikukuhkan juga sebagai ahli yang berhasil
menghitung panjang satu tahun matahari yaitu 365 hari, 5 jam, 46 menit,
dan 24 detik.
Alangkah mengerikannya ketika kita membaca peradaban dunia
sesungguhnya berasal dari Islam? Peradaban tua Yunani, Romawi, India,
dan Cina memang ada; tetapi revolusi dan temuan-temuan penting lahir
dalam sejarah keilmuan Muslim.
Di sinilah, maka mulai abad ke-12 kebudayaan dan peradaban keilmuan
Islam mulai ditiru Barat. Puncaknya adalah jatuhnya wilayah-wilayan
Muslim ke tangan Kristen dengan epos “Perang Salib”. Di Andalusia
(Spanyol), 1080 Toledo direbut Kristen, 1236 Cordoba dikuasi, 1248
Seville. Kemudian Granada yang mampu bertahan hingga 2,5 abad pun
akhirnya jatuh pada 1492. Mereka memiliki program pengadilan agama untuk
menghabisi Islam dan Yahudi.
Sejak ambang abad ke-15 itulah Eropa terus mengalami perkembangan
zaman yang luar biasa setelah tenggelam dalam kegelapan sekian abad.
Awalnya, tulis Eko Laksono, mereka (Eropa) mengalami masa-masa
keterbelakangan, bahkan sampai 1.000 tahun lamanya (2006:66). Eropa
melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukan kaum Muslim dalam masa
perubahan peradaban: menerjemahkan buku, risearch, dan belajar ke
belahan Timur (Islam) untuk menciptakan peradaban baru!
Demikian, juga apa yang dilakukan Jepang, Korea, dan Cina sebagai
penguasa imperium ketiga melakukan hal yang sama sebagaimana bangsa
Muslim dan Eropa sebelumnya. Nah, bagaimana makna belajar sejarah
peradapan ini agar dunia pendidikan kita tergerak untuk melahirkan
peradaban baru yang kokoh? Akankah ini sebuah utopia yang nyaris tidak
mungkin? Atau semacam isapan jepol dan igauan siang hari karena himpitan
mimpi tersembunyi?
Mari Ciptakan Peradaban Baru
Jika kita menengok perubahan peradaban besar sebelumnya, maka ada
beberapa kunci penting yang menarik untuk dipelajari: (1) lahirnya
kultur baca tulis, (2) pelibatgandaan etos dan motivasi, (3) haus dan
kompetitif, dan (4) hindarkan ilmu peradaban dari kencingan politik dan
kekuasaan.
Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikian
Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini
sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak
disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga
belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam)
dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh
tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa
Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).
Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan
menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana
mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan
peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat
dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman
Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban
pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan
berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban
manusia.
Berguru pada sejarah peradaban itu, maka siapa pun kita (organisasi,
lembaga, atau individu) pentingnya untuk merenungkan alternatif langkah
berikut. Pertama, mancapkan kesadaran bahwa perubahan
peradaban itu dimulai dari membaca dan menulis. Nabi saja meletakkan
orang yang mahir membaca dan menulis (Zaid bin Tsabit) sebagai tangan
kanannya mengalahkan penghafal hadist sahih Bukhori, Abu Hurairah.
Mengapa kita tidak pandai belajar dari tabir isyarah demikian?
Langkah PGRI mengadakan bursa buku dapat menjadi inspirasi organisasi
lain untuk menancapkan peradaban. Sebagaimana diketahui, November ini
PGRI bekerjasama dengan Radar Madiun dan Buka Buku Production merintis
kultur baru berorganisasi dengan organ kreatif di dalmnya. Andaikan
kegiatan ini menjadi agenda rutin daerah, dinas-dinas terkait, dan ormas
lainnya; maka peradaban yang berubah dapat kita impikan. Lambat laun,
nuansa Islami kembali ke akarnya yang paling dalam: membuminya tradisi
baca tulis!
Sejarah peradaban Islam dengan nabi sebagai inspirasi adalah
kemultakan yang tak dapat dikesampingkan. Di sinilah, maka nabi
memandang penting (wajib) untuk belajar (tentunya melalui membaca dan
menulis) di satu sisi dan di sisi lain nabi juga menasbihkan etos
pencarian itu dengan ungkapan hadist, “Tuntutlah ilmu sampai negeri
Cina.” Sebuah simbol etos gerak yang dalam dalam sejarah!
Jika Jepang dalam dekade mutakhir mampu mengubah bangsanya menjadi
bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli
sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298);
sesungguhnya ini hanyalah meniru apa yang telah dilakukan pada Dinasti
Abaasyiah dan era Eropa abad ke-14 yang banyak menerjemahkan buku-buku
keilmuan Muslim.
Kedua, adanya gerakan tak henti (baik individu dan kolektif)
dalam membudayakan gerakan belajar (membaca dan menulis). Apapun dan
bagaimanapun ia adalah mutiara perabadan yang telah teruji berabad-abad.
Bahkan sejarah kekokohan imperium I, II, dan III penanda utamanya
adalah dunia keilmuan ini. Sekadar mengingatkan, nabi Muhammad ketika
menerima wahyu ayat tentang ilmu pengetahuan (Ali Imran: 190-191),
beliau menangis semalaman. Bahkan ketika harus mengimami shalat subuh,
beliau tidak hadir hingga dijemput oleh bilal. Metafornya adalah penting
mana ilmu dan ibadah? Wallahu a’lam.
Apalagi jika kita menengok ulang kutipan surat Al-Muzammil sebagai simbol belajar yang intensif. Surat ini diturunkan dalam rangkaian surat Al ‘Alaq dan Al Qalam. Perintah
bangun malam sesungguhnya adalah perintah untuk belajar, bukan untuk
beribadah mahdah. Coba ingat kembali terjemahan kutipan surat Al-Muzammil berikut: Hai
orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah di malam hari, kecuali
sedikit, (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit,
atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al-Quran itu dengan
perlahan-lahan. sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan
yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat dan
bacaan di waktu itu lebih berkesan.
Ketika Al-Quran sebagai sumber segala ilmu, maka perintah membaca bacaan dalam surat Al-Muzammil tentunya adalah segala materi bacaan (karena butuh penafsiran lebih jauh, lebih dalam, dan lebih eksploratif). Karena hidden meanning
bacaan Al-Quran sungguh dalam. Jika Tuhan saja penting mengingatkan
secara langsung, alangkah durhakanya kita kala ingkar akan perintah suci
tentang membaca dan menulis demikian?
Dalam sejarah peradaban Muslim (para ulama terdahulu) banyak
kisah-kisah menakjubkan tentang pergulatan membaca dan menulis ini. Ada
yang hingga buta karena hobi membacanya luar biasa. Ada yang menjual
rumah untuk membeli buku. Ada yang setiap berjalan pasti di tangannya
tergantung kitab. Ada yang setiap tertidur di dada atau mukanya
tertelungkup buku. Dan masih banyak lagi kisah luar biasa ulama Islam
dalam peradaban Muslim.
Terakhir, siapa pun kita perlu menyusun gerakan jihad baru:
jihad membaca dan menulis. Bukankah menuntut ilmu adalah sebuah jihad?
Mari kita alihkan jihad fisik ke jihad yang jauh lebih filosofis untuk
perubahan peradaban baru. Untuk cipatakan kearifan masyarakat yang baru.
Mudah-mudahan –siapapun kita—sedikit dapat berenung dalam memandang
sejarah kemudian mengalungkan niat berubah demi kehidupan yang lebih
maslahah.
Berguru pada Simbol Islam
Dalam buku Spiritual Reading: Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca (Aqwan, 2007:140- ) diungkapkan tentang pentingnya empat kunci membaca: sabar, amalkan, konsentrasi, dan sistematika.
“Sesungguhnya, ilmu itu diperoleh dengan belajar”, hadist
diriwayatkan oleh Al-Khatib (142). Menumbuhkan kebiasaan membaca dan
menulis adalah contoh-contoh peradaban Islam yang luar biasa. Al-Hasan
Al-Lu’lui berkata, “Saya telah melalui masa selama empat puluh tahun
bersama buku yang selalu berada di dadaku, baik ketika bangun maupun
tidur.” ((Jami’u Bayanil-‘Ilmi wa wa Fadhilihi: 2/1231) dalam Raghib As-Sirjani (Aqwan, 2007:143).
Ibnul Qayyim menuturkan, “Saya pernah mengenali orang yang mengalami
sakit kepala dan demam, sementara buku senantiasa berada di kepalanya.
Kalau ia sadar, ia akan membacanya. Kalau ia sakit lagi, ia kan
meletakkan buku tersebut.” ((Raudhatul-Muhibin (hal. 70) dalam Raghib As-Sirjani (Aqwan, 2007:143).
***
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/berguru-pada-sejarah-memetik-hikmah-berubah/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar