Sutejo *
Dinamika PGRI
Jika kita percaya akan pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”,
maka anak-anak yang bagaimanakah yang kita impikan ke depan jika
guru-guru dan orang tua kita tidak memiliki tradisi membaca? Apalagi
dalam peribahasa yang lain diungkapkan, “guru kencing berdiri murid
kencing berlari”. Jika dua peribahasa ini kita jadikan cermin, para guru
tentunya akan menanggung malu dalam setiap langkah profesi, dalam hidup
berhari, karena membaca bukanlah kebutuhan pokok sebagaimana kita
membutuhkan makan untuk kesehatan fisik kita.
Walhasil, guru yang tidak mau membaca bukanlah guru yang sehat secara
keilmuan (bahkan psikologis). Kalau guru-guru yang berdiri di depan
kelas bukanlah guru yang sehat secara keilmuan, anak-anak zaman yang
akan terlahir pun bukanlah anak-anak yang sehat secara keilmuan pula.
Untuk inilah, maka dipandang penting untuk membudayakan membaca di
kalangan para guru.
Persoalannya adalah bagaimana membudayakan membaca di kalangan guru?
Tulisan berikut akan mengkaji bagaimana kiat teknis melahirkan guru-guru
yang merasa berdosa jika tidak membaca.
Pertama, perlunya penanaman kesadaran akan kebutuhan membaca
bagi para guru. Jika dalam banyak kasus, guru sendiri sering terjebak
dalam ketidaksadaran, maka langkah inilah yang paling penting
(fungsional) untuk ditempuh. Tengoklah, kebiasaan guru yang menugaskan
para siswa untuk pentingnya menabung dalam menulis, tetapi dalam praksis
guru terjebak (dalam ketidaksadaran) kebiasaan suka hutang. Ambil lain
contoh, guru sering menugaskan siswa-siswinya menulis (entah itu cerpen,
ilmiah, atau ilmiah populer), tetapi mereka sendiri tidak menulis.
Untuk itu, menanamkan kesadaran –hemat penulis— seperti melukis di atas
batu. Sebab, statemen ini tentu akan melahirkan berpuluh alibi guru
untuk menolaknya, tanpa mencoba mengontruksi ulang mengapa kebiasaan ini
terjadi.
Sementara itu, sebagaimana disinggung di awal tulisan, bahwa membaca
merupakan makanan pokok guru yang akan menyehatkan, tentunya akan
menuntun kesadaran guru untuk menjadikan membaca sebagai kebutuhan pokok
dalam profesinya. Sebab, lazimnya para guru yang mendapatkan ilmu
puluhan tahun sebelumnya kemudian diberikan dalam konteks kekinian, maka
dapat diprediksikan apa yang disampaikannya akan aus dan out date.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan profesi guru mau tidak
mau mengawali dengan kesadaran diri bahwa jika guru tidak membaca
tidaklah sehat secara profesi. Dengan demikian maka akan muncul semacam
“taubatan nasuha”, kapok mencit , untuk tidak mengulangi dosa
profesi ini. Hematnya, memang, guru yang tidak mau membaca adalah
sebagian dari “dosa besar” profesinya.
Kedua, perlunya menjadikan membaca sebagai kewajiban
profesi. Langkah kedua ini, erat kaitannya dengan langkah pertama.
Artinya, jika kesadaran guru belum tersentuh maka kecil kemungkinan
meletakkan membaca sebagai kewajiban tentunya akan dipandang sebagai
guyonan yang tidak berdasar. Padahal, sebagaimana diisyaratkan oleh
Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat
pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya,
bahkan kemudian pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena”
(al-qalam).
Dengan demikian, membaca dalam konteks surat Al-‘Alaq, sesungguhnya
merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit—karena
perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari
belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang
diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib
hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.
Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai
permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai
berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia
telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah
yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya,
surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam
konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan.
Ketiga, pentingnya menjadikan membaca sebagai rekreasi hati.
Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan
berbagai tempat rekreasi (paling indah), sedang Ibnu Duraid hadir
bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah
lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat
yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu
Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi,
berkata, “Bunga Balakh (pohon).”
Lalu Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat
rekreasi indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak
memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat
rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair:
Kalau semua orang rekreasinya adalah biduanita
Juga gelas yang dituankan dan ditenggak
Maka hiburan dan rekreasi kami adalah
Berdiskusi dan menelaah kitab.
(Spiritual Writing, 2007:162)
Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu
sangat luar biasa. Bayangkanlah, andaikan para guru menjadikan kitab
(buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan
kualitasnya. Andaikan guru-guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang
harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk
anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang
sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian
besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat
lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Tempat wisata secara
fisik seperti laut dan gunung, pemandangan seindah apapun sifatnya
hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu
mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung bersama kelembutan
Sang Khaliq.
Andaikan setiap bulan, misalnya, guru-guru kita membeli buku sebagai
tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki
12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120
tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai
memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 20 tahun; maka minimal
5400 tempat wisata itu telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu
kabupaten saja, para guru yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang
saja, maka sudah ada 5.400.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi
kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita
di masa depan.
Fatalnya, masyarakat kita masih memandang hal ini dengan sebelah
mata. Bahkan, para guru pun belum menjadikan tempat wisata hati yang
utama dalam kehidupannya. Guru dan masyarakat kita masih suka mengoleksi
sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya
hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan, Ibnu Duraid ini, tentu menjadi
sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab,
bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati
ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali
berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.
Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting untuk membudayakan
wisata hati ini. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan
masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca
buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung
membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu
rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang
akan berpijar di masa depan.
Keempat, pentingnya mengawinkan membaca dengan menulis.
Sebagaimana isyarat surat Al-‘Alaq, yang menyandingkannya membaca dengan
pena, secara metaforik menuntun kita akan pentingnya kemampuan menulis
sebagai sarana pembelajaran terpenting. Ingat ayat keempat: yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Pena (kalam,
menulis), dengan sendirinya, akan meneguhkan proses dialogis dalam
pembacaan sebelum terekspresikan dalam tulisan (di sinilah tentu makna
mengajar yang ditasbihkan Tuhan itu).
Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikian
Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini
sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak
disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga
belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam)
dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh
tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa
Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).
Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan
menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana
mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan
peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat
dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman
Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban
pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan
berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban
manusia.
Kelima, pentingnya pengorbanan untuk memfasilitasi budaya
membaca para guru. Ketika pengorbanan nyaring dan ringan diucapkan oleh
elit politik, maka dalam konteks mutakhir, para guru penting untuk
mengaplikasikannya dalam profesi. Artinya, membaca membutuhkan
pengorbanan waktu, finansial, dan budaya itu sendiri. Pengorbanan waktu
artinya, para guru dituntut untuk mengorbankan sebagian waktunya untuk
membaca. Pengorbanan finansial artinya, para guru dituntut mau dan mampu
menyisihkan sebagian finansialnya untuk membeli buku (berapapun nilai
nominal itu). Pengorbanan budaya artinya para guru siap menerima kritik
dan sindiran karena memanfaatkan setiap luang waktu untuk membaca.
Sebab, membaca belum menjadi budaya, dan karena itu, setiap membaca
sindiran dan ejek ”sok keilmuan” akan menjadi cerca budaya yang siap
diterima.
Negara-negara maju seperti AS, Jerman, Inggris telah menjadi membaca
sebagai budaya agung yang disanjung puja. Hal ini, ditandai dengan
munculnya berbagai fasilitasi penghargaan atas kebiasaan berkarya
(menulis) sebagai ekspresi hasil pergulatan membaca (dan berpikir).
Sementara itu di Asia, fakta pengorbanan bangsa telah ditunjukkan oleh
Singapura, Malasyia, Korea, dan Jepang sebagai pelopor tradisi
pengorbanan jenis ini.
Belajar dari pengorbanan pemerintah Jepang dalam mengubah bangsanya
menjadi bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli
sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298).
Sebuah strategi membangun bangsa, yang nyaris belum tertandingi oleh
negara manapun. Sampai-sampai, Eko Laksono mengukuhkan Jepang sebagai
bangsa pembaca yang terhebat di dunia (hal. 410). Untuk inilah, maka
pentingnya pengorbanan para guru untuk menyisihkan finansialnya dalam
membudayakan membaca. Sebab, mengandalkan negara untuk memfasilitasi
buku (dalam konteks mutakhir) adalah kecengengan guru bagaimana si kecil
merindukan mainan pada orang tuanya. Kemiskinan orang tua (bangsa)
hanya akan menambah derita panjang akan mimpi indah untuk berubah di
masa depan.
Keenam, pentingnya strategi guru dalam membaca agar efektif.
Membaca para guru bukan sekadar pemahaman tetapi sudah wilayah membaca
cepat dan kritis. Artinya, membaca yang sudah dilandasi oleh efisiensi
waktu sehingga dibutuhkan teknik jitu dalam berburu pemahaman.
Sedangkan, membaca kritis, menyarankan terjadinya kebiasaan dialogis
dalam membaca. Membaca adalah interaksi aktif antara pembaca dan
penulis, semacam diskusi sepi. Pergulatan ke puncak hening, perjalanan mendaki memetik ruh untuk disematkan pada tunas-tunas bangsa sehingga lahirkan generasi berkualitas.
Sebuah ironi sering penulis alami berkaitan dengan langkah terakhir
ini. Ironi itu justru lahir dari teman-teman guru yang baru tahu melihat
ribuan buku di rumah penulis. Ada guru yang bertanya, ”Wah, ngene iki yo diwoco kabeh, Pak?”.
Hal ini mengalir dari bibir seorang guru Matematika alumni PTN yang
selalu memandang miner bahasa Indonesia. Ada juga yang bilang, ”Wah,
kapan membacanya, Pak?”. Sebuah ironi sekaligus parodi agung yang
penting direfleksikan para guru. Pertanyaan terakhir, mengingatkan bahwa
membaca belum menjadi budaya kita. Padahal, membaca buku dapat
dilakukan dengan ngemil, dan lebih dari itu, membaca dapat
dilakukan setiap waktu: pengisi waktu luang, di jelang tidur, bangun
tidur, dan di jelang mengajar.
Sedangkan, pertanyaan pertama, mengingatkan kita akan beberapa hal
penting (a) bahwa membaca rata-rata guru kita belum memiliki fokus dan
oreantasi, (b) bahwa membaca belum berprinsip pada ambeg paromo arto, dan (c)
membaca kecenderungan guru kita masih harfiah. Padahal, mestinya,
membaca yang terpenting dilakukan sudah pada tataran makna yang tidak
ditandai pada larik dan paragraf. Ada pesan penting dalam membaca yang
menarik diturunkan agar kita tidak kehilangan makna: (a) menemukan kunci
tulisan (take note), (b) pengalihbahasaan sendiri (pharaphrase), (c) menemukan ringkas informasi (summery), dan (d) pengaplikasian (sintesing).
Beberapa hal di atas, tentunya dapat dieksplorasi lebih jauh untuk
berbagai kepentingan dan tujuan. Namun yang paling filosofis adalah jika
budaya membaca telah tercipta maka budaya menulis dapat diimpikan.
Keduanya menjadi semacam tabir pandora yang akan memancarkan aura bagi
bangsanya. Cakra jantung berselambu makna, jangkar emosi menjadi tali
yang setiap waktu akan menjadi pengikat makna gerak dalam membangun
pemikiran dan peradaban.
Membudayakan membaca, karena itu, seperti menerjemahkan tamsil Andreas Harefa sebagai manusia pembelajar (Penerbit Buku Kompas,
2005). Dalam logika hipnosis, kebiasaan membaca dalam kondisi rileks
(alfa) adalah pengukir dunia bawah sadar yang akan menguasai tubuh
pembaca 88 persennya. Jika para guru menjadikan budaya membaca dan
menulis sebagai teknik imersi maka di limit waktu perubahan
besar bangsa ini di masa depan akan tercipta. Karena guru telah
menjadikan perisai ilmu sebagai pedang yang setiap waktu dikilau ulang
untuk menumbangkan keangkuhan peradaban.
Karena membaca dan menulis merupakan sarana penting dalam berilmu,
maka akankah kita nafikan pesan Nabi yang berpuluh abad telah berpesan,
”Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti
bulan purnama terhadap seluruh bintang di langit”. Dapatkah kemudian
kita maknai bahwa berilmu itu hakikatnya ibadah itu sendiri? Karena ilmu
adalah bulan purnama dan ahli ibadah adalah bintang-bintangnya.
Salahkah kemudian, jika analog paparan sebelumnya (dalam ”fiqih
siasah”), kemudian penulis simpulkan: membaca dan menulis hukumnya wajib
bagi para guru?
***
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/membaca-itu-wajib-guru/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
SMA 1 Badegan Ponorogo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
STKIP PGRI Ponorogo
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar