Minggu, 07 April 2013

MEMBACA ITU WAJIB, GURU!

Sutejo *
Dinamika PGRI

Jika kita percaya akan pepatah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”, maka anak-anak yang bagaimanakah yang kita impikan ke depan jika guru-guru dan orang tua kita tidak memiliki tradisi membaca? Apalagi dalam peribahasa yang lain diungkapkan, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”. Jika dua peribahasa ini kita jadikan cermin, para guru tentunya akan menanggung malu dalam setiap langkah profesi, dalam hidup berhari, karena membaca bukanlah kebutuhan pokok sebagaimana kita membutuhkan makan untuk kesehatan fisik kita.
Walhasil, guru yang tidak mau membaca bukanlah guru yang sehat secara keilmuan (bahkan psikologis). Kalau guru-guru yang berdiri di depan kelas bukanlah guru yang sehat secara keilmuan, anak-anak zaman yang akan terlahir pun bukanlah anak-anak yang sehat secara keilmuan pula. Untuk inilah, maka dipandang penting untuk membudayakan membaca di kalangan para guru.

Persoalannya adalah bagaimana membudayakan membaca di kalangan guru? Tulisan berikut akan mengkaji bagaimana kiat teknis melahirkan guru-guru yang merasa berdosa jika tidak membaca.

Pertama, perlunya penanaman kesadaran akan kebutuhan membaca bagi para guru. Jika dalam banyak kasus, guru sendiri sering terjebak dalam ketidaksadaran, maka langkah inilah yang paling penting (fungsional) untuk ditempuh. Tengoklah, kebiasaan guru yang menugaskan para siswa untuk pentingnya menabung dalam menulis, tetapi dalam praksis guru terjebak (dalam ketidaksadaran) kebiasaan suka hutang. Ambil lain contoh, guru sering menugaskan siswa-siswinya menulis (entah itu cerpen, ilmiah, atau ilmiah populer), tetapi mereka sendiri tidak menulis. Untuk itu, menanamkan kesadaran –hemat penulis— seperti melukis di atas batu. Sebab, statemen ini tentu akan melahirkan berpuluh alibi guru untuk menolaknya, tanpa mencoba mengontruksi ulang mengapa kebiasaan ini terjadi.

Sementara itu, sebagaimana disinggung di awal tulisan, bahwa membaca merupakan makanan pokok guru yang akan menyehatkan, tentunya akan menuntun kesadaran guru untuk menjadikan membaca sebagai kebutuhan pokok dalam profesinya. Sebab, lazimnya para guru yang mendapatkan ilmu puluhan tahun sebelumnya kemudian diberikan dalam konteks kekinian, maka dapat diprediksikan apa yang disampaikannya akan aus dan out date. Salah satu upaya untuk meningkatkan kesehatan profesi guru mau tidak mau mengawali dengan kesadaran diri bahwa jika guru tidak membaca tidaklah sehat secara profesi. Dengan demikian maka akan muncul semacam “taubatan nasuha”, kapok mencit , untuk tidak mengulangi dosa profesi ini. Hematnya, memang, guru yang tidak mau membaca adalah sebagian dari “dosa besar” profesinya.

Kedua,  perlunya menjadikan membaca sebagai kewajiban profesi. Langkah kedua ini, erat kaitannya dengan langkah pertama. Artinya, jika kesadaran guru belum tersentuh maka kecil kemungkinan meletakkan membaca sebagai kewajiban tentunya akan dipandang sebagai guyonan yang tidak berdasar. Padahal, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Quran (Al-‘Alaq), diksi bacalah diulang sampai dua kali. Pada kalimat pertama, kata bacalah kemudian diulang dalam kalimat selanjutnya, bahkan kemudian  pada ayat keempat diikuti dengan “kata pena” (al-qalam).

Dengan demikian, membaca dalam konteks surat Al-‘Alaq, sesungguhnya merupakan perintah –yang tidak perlu ditafsirkan secara rumit—karena perintah itu sudah konkret. Diksi perintah membaca (metaforik dari belajar), sesungguhnya, merupakan ruh perubahan dan penyadaran yang diinginkan Tuhan kepada umat manusia. Dan tentunya, menjadi wajib hukumnya para guru, karena mereka adalah penggembala ilmu.

Mengapa Tuhan tidak memerintahkan belajarlah tetapi bacalah? Sebagai permenungan ada baiknya surat itu dikutipkan terjemahnya sebagai berikut. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ajaibnya, surat ini merupakan surat yang pertama kali diturunkan Tuhan dalam konteks “magis” sampai-sampai Nabi Muhammad hampir pingsan.

Ketiga, pentingnya menjadikan membaca sebagai rekreasi hati. Abu Nashr Al Mikali mengatakan, “Pada suatu hari kami membincangkan berbagai tempat rekreasi (paling indah), sedang Ibnu Duraid hadir bersama kami. Sebagian orang berkata, “Tempat yang paling indah adalah lembah yang berada di Damaskus.” Sementara, yang lain berkata, “Tempat yang paling elok adalah sungai Ubullah.” Yang lainnya berkata, “Sughdu Samarkand.” Yang lainnya berkata, “Lembah Bawwan.” Yang lainnya lagi, berkata, “Bunga Balakh (pohon).”

Lalu Ibnu Duraid berkata, “Semua yang kalian sebutkan hanyalah tempat rekreasi indah bagi pandangan mata, namun mengapa kalian tidak memikirkan tempat-tempat rekreasi bagi hati?” Kami bertanya, “Apa tempat rekreasi bagi hati, wahai Ibnu Duraid?” Ia berkata, “Kitab ‘Uyunul Akhbar karya Al Qatabi, Az-Zuhroh karya Ibnu Abi Thahir. Kemudian, ia melantunkan beberapa bait syair:

Kalau semua orang rekreasinya adalah  biduanita
Juga gelas yang dituankan dan ditenggak
Maka hiburan dan rekreasi kami adalah
Berdiskusi dan menelaah kitab.
(Spiritual Writing, 2007:162)

Ungkapan Ibnu Duraid tentang tempat rekreasi yang indah ini tentu sangat luar biasa. Bayangkanlah, andaikan para guru menjadikan kitab (buku) sebagai tempat rekreasi dalam kehidupannya maka dapat dibayangkan kualitasnya. Andaikan guru-guru kita, menjadikan buku isteri kedua yang harus “digauli” maka akan lahir orok pemikiran yang luar biasa untuk anak didiknya. Minimal, etos wisata hati akan memberikan ruang lapang sehingga anak akan memetik terang pandang. Tetapi, yang terjadi sebagian besar kita menganggap tempat rekreasi adalah fisik, tempat-tempat lahiriah yang hanya menjadi bersifat visual (mata). Tempat wisata secara fisik seperti laut dan gunung, pemandangan seindah apapun sifatnya hanyalah lahiriah. Kecuali, bagi penempuh ruh spiritual akan selalu mengaitkan dengan kebesaran Sang Alam ke dalam relung bersama kelembutan Sang Khaliq.

Andaikan setiap bulan, misalnya, guru-guru kita membeli buku sebagai tempat wisata yang terdekat, maka dalam satu tahun kita telah memiliki 12 tempat wisata hati. Andaikan 10 tahun maka kita telah memiliki 120 tempat wisata hati. Dan, andaikan umur kita 65 tahun, dan mulai memikirkan buku sebagai tempat wisata di umur 20 tahun; maka minimal 5400 tempat wisata itu telah kita miliki. Andaikan kemudian, satu kabupaten saja, para guru  yang melakukan wisata jenis ini 1000 orang saja, maka sudah ada 5.400.000 tempat wisata hati. Ini, akan menjadi kekayaan yang luar biasa bagi keluarga, anak-anak, dan masyarakat kita di masa depan.

Fatalnya, masyarakat kita masih memandang hal ini dengan sebelah mata. Bahkan, para guru pun belum menjadikan tempat wisata hati yang utama dalam kehidupannya. Guru dan masyarakat kita masih suka mengoleksi sepeda motor baru, mobil baru, dan peralatan lainnya; yang sebenarnya hanyalah bentuk wisata fisik. Pesan, Ibnu Duraid ini, tentu menjadi sangat menyentuh jika kita kaitkan dengan konteks mutakhir. Sebab, bagaimanapun memang perubahan kehidupan berawal dari jenis wisata hati ini. Ilmu pengetahuan berkembang, kreativitas tergali, nyali berkompetesi terteruji; bukan kebiasaan saling memaki dan menghegemoni.

Untuk inilah, maka di masyarakat kita penting untuk membudayakan wisata hati ini. Sehingga, akan menjadi sebuah impian kita menemukan masyarakat di mana pun memegang dan membaca buku: antri di bank membaca buku, menunggu di tempat parker membaca buku, bercengkerama di warung membaca buku, santai di alon-alon membaca buku, di ruang-ruang tamu rumah kita penuh buku; dan seterusnya. Sebuah masyarakat pembelajar yang akan berpijar di masa depan.

Keempat, pentingnya mengawinkan membaca dengan menulis. Sebagaimana isyarat surat Al-‘Alaq, yang menyandingkannya membaca dengan pena, secara metaforik menuntun kita akan pentingnya kemampuan menulis sebagai sarana pembelajaran terpenting. Ingat ayat keempat: yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam.  Pena (kalam, menulis), dengan sendirinya, akan meneguhkan proses dialogis dalam pembacaan sebelum terekspresikan dalam tulisan (di sinilah tentu makna mengajar yang ditasbihkan Tuhan itu).

Barangkali penting menarik ingatan kita akan masa kejayaan pemikian Islam yang tumbuh dalam konteks mengawinkan membaca dan menulis ini sehingga disegani. Suatu realita pahit umat Islam (dan ini tidak banyak disadari), bahwa kemunduran pemikiran Islam berawal pada abad ketiga belas ketika buku-buku pemikiran (sebagai simbol peradaban Islam) dilemparkan ke Sungai Euphrat, dan karena itu, airnya menjadi hitam oleh tinta sekian banyak buku (lihat: Budi Darma “Memperhitungkan Masa Lampau” dalam Bukuku Kakiku, 2004:71).

Dengan demikian, dalam sejarah peradaban pemikiran, membaca dan menulis (buku) identik dengan ilmu pengetahuan itu sendiri. Bagaimana mungkin jika para guru tidak membaca dan menulis akan mampu mewariskan peradaban dan ilmu pengetahuan? Fakta peradaban yang tidak dapat dinafikan adalah, terkuaknya kembali pemikiran Yunani Kuno di zaman Renaisans sehingga membuka tabir baru dalam perjalanan peradaban pemikiran manusia. Hal ini merupakan fakta historis yang mencengangkan berkaitan akan pentingnya budaya membaca dan menulis dalam peradaban manusia.

Kelima,  pentingnya pengorbanan untuk memfasilitasi budaya membaca para guru. Ketika pengorbanan nyaring dan ringan diucapkan oleh elit politik, maka dalam konteks mutakhir, para guru penting untuk mengaplikasikannya dalam profesi. Artinya, membaca membutuhkan pengorbanan waktu, finansial, dan budaya itu sendiri. Pengorbanan waktu artinya, para guru dituntut untuk mengorbankan sebagian waktunya untuk membaca. Pengorbanan finansial artinya, para guru dituntut mau dan mampu menyisihkan sebagian finansialnya untuk membeli buku (berapapun nilai nominal itu). Pengorbanan budaya artinya para guru siap menerima kritik dan sindiran karena memanfaatkan setiap luang waktu untuk membaca. Sebab, membaca belum menjadi budaya, dan karena itu, setiap membaca sindiran dan ejek ”sok keilmuan” akan menjadi cerca budaya yang siap diterima.

Negara-negara maju seperti AS, Jerman, Inggris telah menjadi membaca sebagai budaya agung yang disanjung puja. Hal ini, ditandai dengan munculnya berbagai fasilitasi penghargaan atas kebiasaan berkarya (menulis) sebagai ekspresi hasil pergulatan membaca (dan berpikir). Sementara itu di Asia, fakta pengorbanan bangsa telah ditunjukkan oleh Singapura, Malasyia, Korea, dan Jepang sebagai pelopor tradisi pengorbanan jenis ini.

Belajar dari pengorbanan pemerintah Jepang dalam mengubah bangsanya menjadi bangsa pembelajar (satu diantaranya) adalah dengan membeli sebanyak-banyaknya buku-buku terbaru keluaran Barat (Eko Laksono, Imperium III: Rahasia 1.000 Tahun Keunggulan dan Kekayaan Manusia, 2007:298). Sebuah strategi membangun bangsa, yang nyaris belum tertandingi oleh negara manapun. Sampai-sampai, Eko Laksono mengukuhkan Jepang sebagai bangsa pembaca yang terhebat di dunia (hal. 410). Untuk inilah, maka pentingnya pengorbanan para guru untuk menyisihkan finansialnya dalam membudayakan membaca. Sebab, mengandalkan negara untuk memfasilitasi buku (dalam konteks mutakhir) adalah kecengengan guru bagaimana si kecil merindukan mainan pada orang tuanya. Kemiskinan orang tua (bangsa) hanya akan menambah derita panjang akan mimpi indah untuk berubah di masa depan.

Keenam, pentingnya strategi guru dalam membaca agar efektif. Membaca para guru bukan sekadar pemahaman tetapi sudah wilayah membaca cepat dan kritis. Artinya, membaca yang sudah dilandasi oleh efisiensi waktu sehingga dibutuhkan teknik jitu dalam berburu pemahaman. Sedangkan, membaca kritis, menyarankan terjadinya kebiasaan dialogis dalam membaca. Membaca adalah interaksi aktif antara pembaca dan penulis, semacam diskusi sepi. Pergulatan ke puncak hening, perjalanan mendaki memetik ruh untuk disematkan pada tunas-tunas bangsa sehingga lahirkan generasi berkualitas.

Sebuah ironi sering penulis alami berkaitan dengan langkah terakhir ini. Ironi itu justru lahir dari teman-teman guru yang baru tahu melihat ribuan buku di rumah penulis. Ada guru yang bertanya, ”Wah, ngene iki yo diwoco kabeh, Pak?”. Hal ini mengalir dari bibir seorang guru Matematika alumni PTN yang selalu memandang miner bahasa Indonesia. Ada juga yang bilang, ”Wah, kapan membacanya, Pak?”. Sebuah ironi sekaligus parodi agung yang penting direfleksikan para guru. Pertanyaan terakhir, mengingatkan bahwa membaca belum menjadi budaya kita. Padahal, membaca buku dapat dilakukan dengan ngemil, dan lebih dari itu, membaca dapat dilakukan setiap waktu: pengisi waktu luang, di jelang tidur, bangun tidur, dan di jelang mengajar.

Sedangkan, pertanyaan pertama, mengingatkan kita akan beberapa hal penting (a) bahwa membaca rata-rata guru kita belum memiliki fokus dan oreantasi, (b) bahwa membaca belum berprinsip pada ambeg paromo arto, dan (c) membaca kecenderungan guru kita masih harfiah. Padahal, mestinya, membaca yang terpenting dilakukan sudah pada tataran makna yang tidak ditandai pada larik dan paragraf. Ada pesan penting dalam membaca yang menarik diturunkan agar kita tidak kehilangan makna: (a) menemukan kunci tulisan (take note), (b) pengalihbahasaan sendiri (pharaphrase), (c) menemukan ringkas informasi (summery), dan (d) pengaplikasian (sintesing).

Beberapa hal di atas, tentunya dapat dieksplorasi lebih jauh untuk berbagai kepentingan dan tujuan. Namun yang paling filosofis adalah jika budaya membaca telah tercipta maka budaya menulis dapat diimpikan. Keduanya menjadi semacam tabir pandora yang akan memancarkan aura bagi bangsanya. Cakra jantung berselambu makna, jangkar emosi menjadi tali yang setiap waktu akan menjadi pengikat makna gerak dalam membangun pemikiran dan peradaban.

Membudayakan membaca, karena itu, seperti menerjemahkan tamsil Andreas Harefa sebagai manusia pembelajar (Penerbit Buku Kompas, 2005). Dalam logika hipnosis, kebiasaan membaca dalam kondisi rileks (alfa) adalah pengukir dunia bawah sadar yang akan menguasai tubuh pembaca 88 persennya. Jika para guru menjadikan budaya membaca dan menulis sebagai teknik imersi  maka di limit waktu perubahan besar bangsa ini di masa depan akan tercipta. Karena guru telah menjadikan perisai ilmu sebagai pedang yang setiap waktu dikilau ulang untuk menumbangkan keangkuhan peradaban.

Karena membaca dan menulis merupakan sarana penting dalam berilmu, maka akankah kita nafikan pesan Nabi yang berpuluh abad telah berpesan, ”Kelebihan seorang yang berilmu terhadap ahli ibadah adalah seperti bulan purnama terhadap seluruh bintang di langit”. Dapatkah kemudian kita maknai bahwa berilmu itu hakikatnya ibadah itu sendiri? Karena ilmu adalah bulan purnama dan ahli ibadah adalah bintang-bintangnya. Salahkah kemudian, jika analog paparan sebelumnya (dalam ”fiqih siasah”), kemudian penulis simpulkan: membaca dan menulis hukumnya wajib bagi para guru?
***

Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/03/membaca-itu-wajib-guru/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo SMA 1 Badegan Ponorogo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) STKIP PGRI Ponorogo Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo