Minggu, 07 April 2013

MEMBANGUN KULTUR SEKOLAH BERBASIS “ENERGI WAKTU”

Sutejo
Dinamika PGRI

Saya akan awali artikel ini dengan refleksi pengalaman di beberapa tempat saat diminta untuk mempresentasikan bagaimana konsep ideal membangun kultur sekolah. Pertama, ada sebagian (besar) dengan apriori berdalih, “Ah, itu kan konsep ideal. Praktiknya bagaimana, mengawalinya piye?” Kedua, dengan pola berpikir “kambing hitam” sang guru berdalih anak sekarang tak mempunyai motivasi untuk belajar. Ketiga, ada yang kritis memposisikan antara birokrasi, kultur bangsa (masyarakat), dan rendahnya apresiasi negara pada guru. Begitu seterusnya, jika didaftar refleksinya itu bisa demikian banyak, beragam, dan sangat kontekstual tergantung masing-masing sekolah.

Kemudian di tahun ajaran baru ini, saya sering mendapat keluhan dari masyarakat tentang berbagai sekolah. Pertama, ada yang mengatakan masuk sekolah negeri mahal tetapi tidak jelas peruntukkannya. Kedua, ada yang mengatakan, berbagai label sekolah ternyata begitu sampai pada praktiknya sama saja, tidak berubah. Ketiga, bagaimana mungkin label sekolah berubah kalau kultur dan gurunya tidak berubah. Keempat, transparansi dan akuntabilitas sekolah rendah karena ada kecenderungan “permainan” terselubung yang susah-susah mudah terdeteksi.

Jika kita mau jujur, memang kultur pendidikan di Indonesia secara makro memang salah pandu, salah gerak, dan –bahkan salah syahwat–. Bukankah profesi pendidik tidak ubahnya profesi lain untuk memenuhi hajat dapur? Padahal, ia sebuah profesi luhur –yang barangkali— tidak saja bersifat dunia tetapi ukhrowi. Artinya, jika ilmu sepakat dianggap sebagai jariyah ketiga setelah kematian tiba, maka sesungguhnya kita tidak salah dalam memilih tempat bekerja. Tetapi, seringkali pesan moral ini (axiologis profesi) terlepas begitu saja setelah kebutuhan survivalitas hidup menghempas.

Untuk inilah, menarik mendiskusikan ulang bagaimana kultur positif sekolah (termasuk bangsa) ini dibangun kembali. Kultur sekolah yang bagaimana yang dapat menyemaikan bibit unggul sebagai tanggul bangsa di masa depan? Indikator kultur apakah yang dapat dicerna komponen siswa (dan masyarakat) sehingga dengan jernih pandang ia dapat menciptakan masa depan yang terang? Jika pembelajaran adalah sebuah “gerak monoton” di ruang-ruang jemu maka dosa apakah yang akan kita terima manakala usai siswa menamatkan sekolah tetapi jengah dalam melangkah? Renung-kelu demikian hanyalah seutas kecil dari tali panjang profesi yang mengikat tubuh pendidikan kita. Tetapi, sungguh sering pula tidak kita sadari. Sebuah dosa profesi yang mengancam di akherat yang akan ditanyakan oleh malaikat.

Karena itu, seperti biasa pertanyaan yang sering menghinggapi otak saya ketika ditanya, “Mengapa sekolah kita tak mampu melahirkan SDM unggul?” Jawaban yang cepat keluar adalah, “Karena tradisi dan kultur sekolah kita bukanlah kultur berbasis kualitas, tetapi kultur air sungai meliuk tanpa gairah.” Sebuah tesis awal penyebab kurang berkualitasnya sekolah di satu sisi dan pada sisi lain berakibat pada ketidakberkualitasan produk yang dihasilkan.

Dalam kultur sekolah yang demikian, persoalan yang muncul kemudian berkisar (a) apakah yang dimaksud kultur sekolah, (b) bagaimana manajemen sekolah sehingga melahirkan kultur yang ideal, (c) bagaimana menciptakan kultur sekolah yang mengalirkan gerak hidup pada komponen sekolah, dan (d) bagaimana memparameterkan kultur sekolah sehingga prospektif sebagai tangga kualitas.

Dalam konteks renung membangun kultur sekolah ini kemudian mengalirkan isu-isu semacam (a) menurunnya motivasi siswa dalam belajar, (b) rendahnya motivasi dan kurang berkualitasnya guru, (c) rendahnya kreativitas guru, (d) hilangnya komitmen moral guru, (e) terbatasnya sarana dan penghargaan guru, sampai (f) tidak terdakomodasinya potensi sekolah karena kepemimpinan yang kurang terbuka. Perselingkungan isu dan problem ini tentu bukan sekedar isu, tetapi semacam hal “ajaib” perlu dipikirkan ulang dengan sesekali berkedip. Bukankah ada asap, pasti ada api?

Membangun Kultur Sekolah

Kultur sekolah ibarat kebiasaan laten yang akan membentuk komponen di dalamnya. Saya pernah berkelakar kepada seorang pejabat (yang dalam penilaian saya baik) begini, “Kekhawatiran saya satu, Bapak. Analog seperti Bapak memasuki WC, awalnya saja terasa tidak sedap tetapi dalam kurun lima menit selanjutnya sudah tidak terasa.” Pejabat ini kemudian tersenyum pertanda memahami betul makna kias yang saya lontarkan.

Dalam rangka membangun kultur sekolah yang ideal, maka penting disadari komponen penting sekolah sebagai potensi dasarnya. Komponen potensial itu mencakup (a) manajerial KS, (b) kualitas guru, (c) kualitas input, (d) kualitas SDM pendukung lain, (e) kualitas perpustakaan, (f) kualitas sarana prasarana, dan (g) kualitas “budaya” di sekolah itu sendiri.

Oleh karena itu, penting dipertimbangkan upaya-upaya konkret dalam menumbuhkan kultur sekolah yang berkualitas. Jika kita menengok problem pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan Mochtar Buchori selaku penyaji dalam diskusi bertema Key Issues Realted to Improvement of Basic Education in Indonesia  sebagaimana dikutip Supriyoko membagi isu-isu (baca: problem) pendidikan  di Indonesia menjadi tiga peringkat: problem fundamental (fundamental issues), problem stuktural (structural issues), serta problem operasional (operational issues) (Lihat Kompas, 5 Maret 2004).

Problem pelaksanaan pendidikan di sekolah, tentunya merupakan problem institusional dan operasional. Untuk ini, kualitas pendidikan di tingkat sekolah akan berpengaruh besar terhadap kualitas hasil pendidikan secara umum nantinya. Sedangkan, problem implementasi pendidikan di sekolah pertama-tama adalah pembelajaran. Dan, problem pembelajaran yang pertama-tama itu, problem guru. Di Indonesia, secara makro guru bukanlah input terbaik. Tidak heran, jika isu pendidikan pun bermuara pada kualitas guru dalam mengawal pembelajaran di kelas. Semakin berkualitas guru, harapannya, semakin berkualitas pula produk SDM yang dihasilkannya.

Pada artikel ini, akan diusulkan upaya membangun kultur sekolah berbasis motivasi. Karena itu, artikel ini akan mendiskusikan sejumlah masalah mencakup (a) bagaimana manajemen sekolah dalam membangun kultur yang ideal, (b) bagaimana membangun kultur guru sehingga memiliki etos kompetitif berbasis keunggulan, (c) bagaimana membangun kultur siswa (belajar) sehingga nalar dan sikap ajar dapat berpijar.

Alternatif  Manajemen Sekolah

Terkait dengan manajemen sekolah untuk mendorong kultur sekolah yang positif maka penting dipikirkan beberapa hal penting. Pertama, perlunya manajemen  sekolah berbasis motivasi. Hal ini penting, mengingat problem terbesar bangsa ini adalah masalah motivasi dan etos. Motivasi akan mampu meciptakan komitmen, komitmen akan melahirkan etos, etos menciptakan daya gerak, daya gerak akan menciptakan perubahan. Kultur sekolah yang baik, adalah yang mampu menciptakan perubahan. Dan, perubahan bermuara pada motivasi. Untuk inilah, maka pentingnya menumbuhkan motivasi insan komponen sekolah dengan beragam bentuk (a) menyediakan buku-buku pembangkit motivasi, (b) menghadirkan pelajaran tamu dari luar sekolah seperti dokter, psikolog, dan usahawan yang “berhasil”. Akan lebih baik, mereka adalah alumni; jika tidak “orang-orang terdekat” secara sosiologis sehingga melahirkan motivasi (hal ini merupakan kias dari pendekatan kontekstual yang sering dijargonkan dalam praksis pendidikan kita). Banyak buku menarik yang dapat mengembangkan motivasi komponen sekolah. Buku-buku itu diantaranya  Born to Win: Kunci Sukses yang Tak Pernah Gagal (karya: Anton Irianto), Jakarta (Gramedia, 2005). 50 Suskes Classics: Menjadi Bijak dalam Pekerjaan dan Kehidupan Melalui 50 Buku legendaries (Tom Butler-Bowdown), Jakarta (BIP, 2005); 8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses (Jansen Sinamo), Jakarta  (Institut Darma Mahardika, 2005). Dan masih banyak lagi.

Kedua, Perlunya manajemen  sekolah  berbasis komunikasi. Manajemen ini, menekankan akan pentingnya kesadaran bahwa etos profesionalitas (mutu), sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi. Semakin jernih komunikasi sekolah, dapat diprediksi kultur sekolah yang jernih pula. Sekolah dalam manajemen prasangka, misalnya, tidak akan terjadi karena chanel komunikasi telah terfasilitasi. Sebuah buku menarik yang terbit tahun 2005 yang ditulis Kris Cole, Komunikasi Sebening Kristal: Meraih Sukses Melalui Keterampilan Memahami (Jakarta, Quantum Bisnis & Manajemen, 2005) dapat dijadikan tempat berpijak.

Ketiga, perlunya manajemen  sekolah berbasis reward and punishmen. Artinya, dalam kepemimpinan modern dua hal itu merupakan “bahasa komunikasi professional” yang mutlak dibutuhkan. Sehingga penempatan orang didasarkan penghargaan atas kualitas kerja bukan pada like dan dislike. Sedangkan, hukuman penting dipikirkan untuk menegakkan aturan main institusi sehingga kultur sekolah berjalan atas aturan baku yang mengikat dan tidak pandang bulu. Termasuk tentu, dalam memberikan hukuman pada unsure sekolah yang dinilai gagal. Tradisi ini, nyaris asing dalam praksis pengelolaan sekolah kita. Untuk ini, dibutuhkanlah keberanian untuk melakukannya.

Keempat, perlunya manajemen  sekolah berbasis baca tulis. Manajemen ini, nyaris tidak pernah tersentuh oleh sekolah. Tak pernah terpikirkan bahwa guru (komponen sekolah) setiap saat penting untuk meningkatkan kualitas melalui dua budaya  ini. Hal ini, mengingat dua hal tersebut merupakan unsure penting dalam tradisi pengembangan SDM mutakhir untuk menuju kultur sekolah yang berkualitas.

Kelima, perlunya manajemen  sekolah  berbasis jaringan. Kemajuan sekolah di era mutakhir, mau tidak mau, sangat ditentukan oleh kemampuan membangun jaringan dengan pihak eksternal.  Sekolah-sekolah model yang berkembang sekarang sangat menekankan pada hal demikian. SMA Sewon 1 Bantul misalnya, berhasil mengembangkan jaringan ini bekerja sama dengan Microsof Internasional dan Depdiknas (Puskur) dalam pengembangan sekolah berbasis teknologi informasi (TI). Sekolah-sekolah komunitas sangat menjadikan yang satu ini sebagai senjata masa depan dan pemberdayaan.

Keenam, perlunya manajemen  sekolah berbasis budaya unggul. Manajemen ini, merupakan manajemen penuh risiko. Sebab, falsafah Jawa senantiasa mengingatkan Jer Basuki Mawa Bea. Untuk menuju basis budaya unggul mau tidak mau mutlak dibutuhkan ketersediaan financial di satu sisi, dan ketercukupan kemampuan pada kualitas SDM di dalamnya.

Parameter Ideal Komponen Sekolah

Dalam upaya menyeleraskan dan menciptakan kultur sekolah, maka arif dipikirkan komponen sekolah yang memiliki seperangkat kualitas ideal –yang dalam paradigma mutakhir— menjadi parameter penentu. Indikator yang dimaksud mencakup (a) kualitas kompetensi, (b) kualitas bahasa dan komunikasi, (c) kualitas emosional, (d) kualitas berpikir, (e) kualitas akademik, (f) kualitas kreatif, (g) kualitas etos, dan (h) kualitas cinta (Lihat Sutedjo Membangun Kualitas Guru (2006), artikel presentasi dalam Forum Guru di Yayasan Mutiara Bunda  Sidoarjo, 7 Januari 2006). Berikut diuraikan sekilas tentang indikator yang dimaksud.

Kualitas Kompetensi

Kualitas kompetensi mempersyaratkan adanya kemampuan spesifikasi bidang penekunan. Guru yang kompeten adalah guru yang memiliki latar belakang pendidikan relevan, wawasan pengetahuan memadai, keterampilan cukup, serta sikap yang memadai pula berkaitan dengan bidang ajar yang digelutinya.
Salah satu indikator kualitas kompetensi guru misalnya adalah  kemampuan untuk menilai kualitas buku ajar yang dipergunakan. Sebab, di sinilah akan diketahui kecakapan analitisnya atas kualitas kebidangan dalam memandang buku pelajaran (Lihat Sutedjo, Menimbang Kualitas Buku Ajar Bahasa Indonesia, artikel Seminar Nasional yang diadakan oleh Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 27 Desember 2005) bersama panelis lain: (1) Prof. Dr. Suparno (Guru Besar Universitas Malang), dan  (2) Dr. Nafron  (Penerbit Tiga Serangkai).

Kualitas Bahasa dan Komunikasi

Kris Cole dalam buku Komunikasi Sebening Kristal:Meraih Sukses Melalui Keterampilan Memahami yang diterbitkan oleh Quantum Bisnis & Manajemen (2005), mengingatkan kita akan bagaimana komunikasi sangat ditentukan oleh kemampuan bahasa di satu sisi dan bagiamana kemampuan “memanfaatkan bahasa tubuh” dalam mencapai komunikasi sebening kristal. Sebuah prasyarat komponen sekolah agar kultur terbangun dengan baik.

Kualitas bahasa dan komunikasi mempersyaratkan adanya kemampuan berbahasa yang memadai di satu sisi dan bagaimana guru juga memiliki kejeniusan komunikasi di sisi yang lain. Sudah jamak, dalam dunia pendidikan kita bahwa yang bertanggung jawab atas ketertiban, kebaikan, dan kebenaran berbahasa siswa adalah guru bahasa Indonesia. Tidak banyak guru yang sadar, mereka ikut bertanggungjawab atas terbinanya kecakapan berbahasa siswa. Sebaliknya, dalam komunikasi pembelajaran, mereka justru memperparah kualitas berbahasa. Guru kita banyak melakukan kesalahan berbahasa. Bahkan, juga dilakukan oleh intelektual kita secara umum sebagaimana tampak dalam tulisan Sunjono Dardjowidjojo, Bahasa sebagai Cermin Pola Berpikir (Lihat Tony D. Widiastono  (Ed)  Pendidikan Manusia Indonesia Jakarta (Penerbit Buku Kompas, 2004:340-359).

Kualitas komunikasi dalam kehidupan modern dinyakini sebagai kunci utama dari kesuksesan seseorang. Untuk inilah, maka penting ditingkatkan kualitas komunikasi guru agar bias persepsi dalam pembelajaran tidak terjadi. Kris Cole dalam Komunikasi Sebening Kristal, bahkan menyindir kemampuan komunikasi berpengaruh besar dalam pencapaian sukses seseorang dalam berbagai bidang.

Kualitas Emosional

Kualitas emosional merupakan indikator kualitas komponen sekolah yang lain. Kualitas ini, mengingatkan akan pesan Daniel Goleman bahwa faktor kecerdasan emosional menentukan 80% dari keberhasilan seseorang. Karena itu, guru dan kompnen sekolah lain arifnya memiliki kecerdasan emosional. Kualitas emosional ini, harapannya tidak akan melahirkan pendidikan yang indoktrinatif (Sutedjo, Agar Guru Tidak Indoktrinatif, Kompas Jatim edisi 7 Desember 2005, hal. D). Selanjutnya, pendidikan demikian mensyaratkan pentingnya peranan emosi dalam pembelajaran di kelas. Suasana yang menyenangkan harus diciptakan dalam pembelajaran. Pendidikan perlu menekankan pada keampuhan pandangan positif dan peran emosi dalam belajar. Bagaimana membangun hubungan sosial, bagaimana memanfaatkan kegembiraan, dan bagaimana memberikan pengakuan emosional untuk memberikan afirmasi yang dibutuhkan siswa.

Buku-buku penggali dan pengembangan kecakapan emosional ini telah mengajarkan pada kita. Kecakapan ini merupakan faktor terbesar yang menentukan keberhasilan. Buku-buku berikut menarik untuk didekatkan pada komponen sekolah: (a) Lawrence E. Shapiro (1999) yang berjudul Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak-Anak (Jakarta,  Gramedia Pustaka Utama), (b)  Daniel Goleman (2000) dengan judul  Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), dan (c) Jeanne Segal  (2000) berjudul Melejitkan Kepekaan Emosional, Cara Baru-Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda (Bandung: Penerbit Kaifa).

Demikian juga, bagaimana sekolah mampu membangun iklim sekolah yang mampu memberikan reward sosial atas  hasil belajar dan kinerja, serta bagaimana kehangatan guru akan rasa memiliki terhadap terciptanya pendidikan yang tidak indoktrinatif. Khususnya, para guru dalam menbangun pembelajaran yang tidak indoktrinatif mutlak dibutuhkan kecerdasan emosional guru. Dalam rangka menciptakan orkestrasi pembelajaran demikian guru bersama sekolah dituntut mampu mewujudkan kualitas-kualitas kecerdasan emosional  dalam praksis pembelajaran yang ada. Kualitas emosional itu sendiri mencakup: empati, kemampuan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.

Kualitas Berpikir

Sedangkan kualitas berpikir guru dan kompnen sekolah lainnya merupakan pisau analisis dalam menghadapi berbagai persoalan pendidikan. Sekaligus ia merupakan kerangka pembangun bagaimana mengonstruksi pembelajaran yang berbasis ilmiah. Kualitas berpikir kemudian akan menjadi parameter penting untuk membedakan seorang guru memiliki sikap, cara pikir, dan keterampilan pendidikan yang ilmiah atau tidak. Berpikir ilmiah, harapannya mampu mengabaikan subjektivitas dalam pendidikan.

Sekolah yang berkultur baik dengan demikian adalah sekolah yang mencerminkan kualitas berpikir yang baik pula pada komponen sekolahnya. Bukan kasak-kusuk dan budaya saling menikung untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang tidak menguntungkan atas kultur sekolah secara makro. Diakui atau tidak, kondisi demikian memang sering terjadi karena tidak adanya komunikasi yang baik diantara komponen sekolah. Terlebih jika kepala sekolah tidak memiliki “otoritas komunikasi” sehingga lebih banyak dikendalikan oleh komponen sekolah lainnya.

Kualitas Akademik

Salah satu pilar penting dalam pembelajaran berbasis life skill di sekolah adalah perlunya akan implementasi kecakapan akademik. Life skill itu sendiri, secara lengkap berdiri di atas lima “konsep dasar kecakapan”, yakni (i) kecakapan personal (personal skill), kecakapan sosial (social skill), (iii) keterampilan berpikir logis (thinking skill), (iv) kecakapan akademik (academic skill), dan (v) kecakapan vokasional (vocational skill). Semua komponen sekolah, karena itu, diharapkan memiliki oreantasi atas kelima kecakapan ini. Bukan saja guru sebagai penggembala di ruang-ruang kelas tetapi juga komponen sekolah lainnya.

Kualitas akademik  ini menyaran pada bagaimana kemampuan implementasi akademik (keilmuan) guru dan komponen sekolah lainnya dalam masing-masing kompetensinya. Ia mempersyaratkan kemampuan guru agar mampu mengungkapkan gagasan kritis keilmuan, baik secara lisan maupun tertulis. Kualitas ini, menuntut kemampuan “membaca tingkat tinggi” dan kemampuan menulisnya.

Kecakapan akademik guru misalnya, diharapkan memiliki (a) kemampuan kompetitif di masing-masing bidang, (b) kemampuan untuk menciptakan sikap ilmiah, dan (c) kemampuan eksplorasi keilmuan dalam even yang tidak saja di dalam kelas tetapi mampu mengembangkannya secara lebih luas. Baik di tingkat sekolah, kota, provinsi, dan jika memungkinkan untuk mampu berbicara di tingkat nasional. Hal ini akan menjadi faktor penting dalam mendorong peningkatan kualitas akademik dunia pendidikan secara umum.

Kualitas Kreatif

Kualitas kreatif komponen sekolah akan mendorong terciptanya kultur sekolah yang baik. Sekolah tanpa kultur kreatif maka dapat dibayangkan berjalannya roda sekolah yang sekadar alir dan monoton. Sebagai penajam menarik dikritisi buku-buku yang menunjukkan bagaimana pentingnya kreativitas ini. Lihat misalnya, Julia Cameron dan Mark Bryan, Meniru Kreativitas Tuhan: 12 Tahap Melejitkan Kreativitas melalui Jalan Spiritual. Bandung (Kaifa, 2004).  Jordan E. Kayan, Bengkel Kreativitas: 10 Cara Menemukan Ide-Ide Pamungkas. Bandung (Kaifa, 2002). Daniel Goleman, The Creatif Spirit: Nyalakan Jiwa Kreatifmu di Sekolah, Tempat Kerja, dan Komunitas, Bandung (MLC, 2005). Kualitas kreatif akan mengantarkan siapa pun dalam mencapai titik keberhasilan itu. Jika sekolah memiliki kreativitas tinggi maka dapat dibayangkan akan terjadi perubahan yang tinggi pula.

Kualitas kreatif guru, misalnya, memiliki kontribusi besar dalam pembelajaran yang berbasis joyfull learning. Kualitas ini menyaratkan kemampuan kreatif guru dalam memilih strategi pembelajaran, baik mencakup pendekatan, metode, dan tekniknya. Jika selama ini kreativitas menjadi penyakit para guru, maka harapannya ke depan guru mampu mengubahnya menjadi kekuatan penting dalam pembelajaran di kelas. Kreativitas guru tanpa didukung oleh kreativitas komponen sekolah lainnya tentu tidak akan optimal. Untuk inilah seluruh komponen sekolah penting untuk menumbuhkan kreativitas ini. Terlebih kepala sekolah penting pula untuk memfasilitasinya.

Kualitas Etos

Kultur sekolah yang baik adalah budaya sekolah yang mampu membangkitkan etos komponennya. Kultur yang penuh kompetisi positif, penuh penghargaan, dan penuh dengan komunikasi yang baik; akan mampu mendorong munculnya etos yang tinggi SDM di sekolah. Banyak pengalaman menarik dari para ahli motivasi yang mengetengahkan akan pentingnya etos ini.

Buku-buku macam Born to Win: Kunci Sukses yang Tak Pernah Gagal (Gramedia, 2005) karya Anton Irianto menggambarkan bagaimana kemenangan adalah sebuah etos berbuat.  Tom Butler-Bowdown dengan 50 Suskes Classics: Menjadi Bijak dalam Pekerjaan dan Kehidupan Melalui 50 Buku Legendaris (BIP, 2005). Jansen Sinamo dengan 8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses  (Institut Darma Mahardika, 2005). Buku-buku demikian menarik untuk disosialisasikan di sekolah agar kultur sekolah yang beretos lahir dengan sendirinya.

Selanjutnya, etos ini biasanya dikaitkan dengan mobilitas seseorang atas sesuatu bidang penekunan. Kualitas etos karena itu, menyaran bagaimana mobilitas guru dalam pembelajaran dituntut, sehingga ada roh yang menggerakkan secara tak henti. Kualitas etos akan melahirkan keuletan kerja. Ia bersama kecapakan emosional guru akan mendorong bagaimana proses pembelajaran  hakikatnya sebuah “proses keuletan” dalam segala hal. Kualitas sukses seseorang sering kali, juga di tentukan oleh adanya etos dan ulet penekunan profesi.

Kualitas Cinta

Dalam pengabdian seseorang atas bidang tidak mungkin tanpa kualitas cinta. Cinta merupakan salah satu kekuatan dalam keberhasilan. Tony Buzan, misalnya, mengungkapkan pentingnya kualitas cinta ini dalam buku Sepuluh Cara Jadi Orang yang Cerdas Secara Spiritual (Gramedia, 2003:135-151). Untuk inilah maka cinta profesi dan cinta sekolah merupakan pilar tumbuhnya kultur makro yang kondusif.

Sedangkan kualitas cinta hakikatnya merupakan salah satu roh spiritualitas hidup manusia. Cinta memiliki daya gerak. Jika guru tidak memiliki rasa cinta terhadap profesi, maka dapat diprediksikan akan hasil yang muncul kemudian. Cinta profesi karena itu, akan menjadi penanda awal bagaimana seseorang memiliki kemampuan akan semangat dan jiwa berkorban terhadap profesi.

Dalam menerapkan KTSP, dengan  dilaksanakannya kurikulum berbasis kompetensi, guru misalnya, diharapkan mampu menciptakan pembelajaran yang berbasis life skill. Karena itu, pembelajaran yang diciptakan (i) sejauhmana guru mampu memberikan ruang pembelajaran, penggalian, pengomunikasian atas terbentuknya kecakapan personal; (ii) sejauhmana guru mampu menggiring dalam proses belajar yang membangkitkan potensi kecakapan sosial siswa; (iii) sejauhmana guru mampu memberikan pembelajaran yang menumbuhkan kemampuan mengembangkan kecakapan intelektual akademiknya; (iv) sejauhmana guru mampu menyuguhkan pembelajaran yang memfasilitasi kecakapan vokasional siswa; serta (v) sejauhmana guru mampu merancang strategi pembelajaran demi terkembangkannya kecakapan berpikir siswa.  Khusus kecakapan berpikir ini, tampaknya, akan menjadi bingkai dari semua upaya penanaman keempat kecakapan itu.

Pilar Kokohnya Kultur Sekolah

Kultur di sekolah dalam pandangan saya akan kokoh manakala dibangun dalam empat pilar, yakni (a) adanya kesepakatan, (b) adanya aturan,  (c) komitmen, dan (d) adanya pengakuan dan hukuman. Idealisme demikian akan mengikat komponen sekolah di satu sisi dan di sisi lain akan mampu melahirkan iklim positih karena menalikan sebuah system budaya yang hakiki. Kesepakatan bersama akan melahirkan norm, dengan norm (aturan) akan membangun komitmen. Komitmen (plus etos) akan mengakar manakala dibingkai dengan reward dan punishment yang tak pandang bulu.

Untuk mewujudkan itu, maka jika dijabarkan akan menyuguhkan beberapa pemikiran berikut.
Pertama, pentingnya diterbitkan peraturan sekolah dan peraturan yayasan yang mengikat semua pihak dalam rangka mewujudkan guru dan komponen lain yang berkualitas. Peraturan demikian akan memberikan kepastian hukum pada semua pihak untuk mengawal pendidikan yang diselenggarakannya. Baik yayasan (dinas pendidikan), kepala sekolah, TU, guru, dan siswa sendiri.

Kedua, bersihkan dari bau korupsi. Sekolah yang baik, harus mampu menepiskan aroma ini agar segala gerak dan laku pendidikan tidak melenceng. Karena itu, guru arifnya menghindarkan dari perilaku koruptif. Penyakit ini merupakan penyakit laten yang sangat berbahaya dalam rangka memimpikan kultur sekolah yang baik dan kondusif.

Ketiga, perlunya iklim sekolah yang peka kualitas buku. Gagasan ini, menyaran pada bagaimana komponen sekolah memiliki a sence of quality terhadap kemungkinan buku ajar yang akan dipergunakan. Guru penting memiliki wawasan kualifikasi sebagaimana diisyaratkan di atas. Di samping itu, guru perlu juga mempertimbangkan buku ajar dengan berpijak pada prinsip-prinsip berikut (a) keterbacaannya, (b) kontekstualisasi, (c) isi dan pesan keilmuan, sampai pada (d) tampilan dan pengemasan materi di dalamnya (Pemikiran terhadap bagaimana kepekaan guru terhadap kualitas guru pernah penulis sampaikan beberapa waktu lalu di Balai Bahasa Surabaya (Sutedjo, Menimbang Kualifikasi Buku Ajar, artikel yang disajikan dalam acara Seminar Bahasa dan Sastra 2005: Mendedah Kualifikasi Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi tanggal 27 Desember 2005).

Tanpa kepekaan demikian, kultur sekolah akan berubah kultur pasar tradisional di mana para guru dan komponen sekolah terjebak pada kegiatan jual beli. Jual beli yang seringkali pula tanpa kritik dan penilaian kritis atas kualitas buku yang menghampirinya. Keterpilihan buku yang dipakai misalnya, bukan pada kualitas buku tetapi pada besar kecil persen yang diberikan penerbit kepada sekolah.

Keempat, terbangunnya masyarakat kritis (termasuk siswa dan orang tua) atas kualitas kultur sekolah. Masyarakat kritis ini hanya akan tercipta jika adanya budaya kritis masyarakat terbentuk, bukan masyarakat pencela. Masyarakat kritis yang tanggap terhadap kebutuhan pendidikan di masa kini dan masa depan. Ketika pendidikan diharapkan mampu menjadi alat antisipasi zaman sebagaimana Mochtar Buchori pernah kemukakan, maka masyarakat kritis akan mendorong terciptanya pendidikan yang demikian.

Masyarakat kritis bukan masyarakat yang mau membeli bangku sekolah tertentu dengan harga yang mahal. Tetapi  masyarakat yang mampu menimbang keunggulan dan kelemahan sekolah sebagai kultur pembelajaran yang baik. Bukan labelisasi sekolah tanpa konsekuensi. Masyarakat kritis akan mendorong terjadinya transparansi sekolah di satu sisi dan pada sisi lain akan membantu sekolah secara akuntabel memberikan pertanggungjawaban balik kepada masyarakat.

Kelima, optimalisasi peran institusi terkait (komite, dewan pendidikan, dan dinas pendidikan daerah) dalam melakukan koordinasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Lagi-lagi, kemandulan komite dan dewan pendidikan seringkali mempurukkan sekolah tanpa kontrol. Akibatnya, kultur sekolah terarus dalam kepentingan “kapitalisasi” –yang seringkali— tanpa pelayanan yang sebanding dengan apa yang dikeluarkan masyarakat.

Institusi eksternal sekolah menjadi lipstik dan asesoris saja. Padahal idealisme mereka adalah atribut dalam mendorong terciptanya kultur sekolah yang terkendali. Sekolah yang transparan dan terakuntabilitasi dengan baik. Kultur sekolah yang baik dengan sendirinya adalah sekolah yang mampu menghidupkan komite sekolahnya untuk berperan aktif atas segala lini penyangga sekolah.

Keenam, terbangunnya kreativitas di sekolah. Sekolah yang baik adalah sekolah yang mampu mendorong tumbuhnya kreativitas demikian. Banyak buku yang menunjukkan tentang pentingnya kreativitas ini untuk difasilitasi sekolah. Buku-buku itu diantaranya: (a) Baban Sarbana dan Dina Diana dengan Ampuh: Menjadi Cerdas Tanpa Batas (Elex Media Komputindo, 2003) dan (b) Williem Shier dengan Anak Cerdas, Peran Orang Tua dalam Mewujudkannya (Emerald Publising, 2004). Bagaimanapun kreativitas diyakini  sebagai fondasi penting akan terkuaknya pintu perubahan. Kreativitas karena itu, semacam kredit poin untuk meletakkan kesuksesan seseorang. Kemampuan kreatif (untuk mencari cara lain) dalam memecahkan masalah kehidupan misalnya, dapat ditanamkan sedini mungkin agar nyali hidup kreatif tertanamkan.

Apa yang Perlu Dilakukan Kepala Sekolah?

Sebagai dirigen lagu sekolah sehingga tercipta “himne kultur sekolah” maka kepala sekolah menarik untuk mempertimbangkan beberapa hal berikut.

Pertama, adanya kepemimpinan sekolah yang berbasis kreativitas. Kepemimpinan di sekolah diyakini berandil besar akan tumbuhnya kreativitas sekolah. Kepala sekolah seperti dirigen lagu yang dituntut mampu mengharmonikan unsur “musik” sekolah. Kepemimpinan demikian, menuntut (a) kejelian mengakomodasi potensi sekolah, (b) adanya komunikasi dua arah yang jernih, (c) keteladan kreatif  sebagai pendulum, dan (d) terkembangkannya sistem kehumasan sekolah berbasis kreativitas.

Kedua, terciptanya kultur sekolah yang mendukung kreativitas. Warna kepemimpinan di sekolah akan berpengaruh langsung atas kultur sekolah yang terbangun. Untuk inilah, maka kultur (budaya) sekolah yang mendukung kreativitas akan ditandai dengan (a) adanya tradisi kompetisi sehat, (b) tradisi membaca dan menulis guru-siswa, (c) adanya even-even sekolah untuk menggali kegiatan kreatif, dan (d) terkomunikasikannya kultur positif sekolah melalui sistem kehumasan yang produktif.

Kultur sekolah demikian diharapkan mengabaikan persaingan yang tidak sehat di satu sisi dan bagaimana menumbuhkan kompetisi berbasis kreativitas. Kultur kreativitas pembelajaran di sekolah misalnya, dapat diawali dengan memberikan penghargaan pada mereka yang mau melakukannya. Banyak even nasional yang dapat dimanfaatkan  untuk mendorong guru kreatif, macam (a) Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP), (b) Lomba Mengulas Karya Sastra (LMKS), (c) Lomba Kreativitas Guru LIPI, (d) Lomba Kreativitas Pembelajaran Guru Depdiknas, (e) Lomba KT Imtaq, (f)  Lomba KT PKLH, (g) Sayembara Perbukuan Nasional, dan (h) Lomba TI bidang MPP.

Kultur sekolah yang baik tentu mampu menginformasikan peluang-peluang kreatif  demikian, kemudian menindaklanjutinya dengan memberikan “fasilitas” memadai. Di SMAN Sewon 1 Bantul, misalnya,  penulis menemukan bagaimana guru potensial difasilitasi dengan baik. Tak heran, jika kemudian sekolah ini sudah berbasis tekonologi informasi dalam praksis pembelajarannya dengan pendukung tiga laboratorium komputer online internet selama 24 jam. Di Ponorogo, misalnya, ada seorang guru kreatif diberikan kompensasi penghargaan 30 jam pelajaran dengan membebaskannya dari tugas mengajar tetapi difasilitasi untuk merancang dan mengembangkan sistem evaluasi di sekolah.

Ketiga, adanya sarana sekolah memadai. Kreativitas tanpa sarana seperti perahu tanpa laut. Pelayaran kreativitas tak akan berjalan. Untuk inilah, maka sarana sekolah penting dipikirkan bersama dengan melibatkan sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Penguatan demikian, dipandang penting karena keterbatasan pemerintah dalam memfasilitasinya. Untuk inilah, maka revitalisasi komite sekolah mutlak dibutuhkan. Kepala sekolah yang peka akan kultur sekolah yang optimalkan akan mengedepankan sarana sekolah sebagai pendorong kultur yang baik.

Keempat, melibatkan guru dalam kegiatan peningkatan kualitas dan kreativitas di luar sekolah. Perluasan wawasan pedagodik dan kreativitas guru bisa terbangun dengan melibatkannya dalam berbagai kegiatan di luar sekolah. Berbagai bentuk pelatihan kreativitas dan manajemen bisnis misalnya, tidak jelek untuk diikuti. Sebab, bagaimanapun guru adalah manajer kelas yang dipundaknya tergelayut tuntutan kreatif untuk mengalirkan nadi kreatif pula di nadi anak didiknya. Bukan sebaliknya, sekolah –karena alasan pendanaan— menutup mata akan tuntutan demikian.

Kelima, adanya penghargaan minimal. Reward atas pencapaian hasil kreativitas merupakan pendulum bagi guru-guru yang lain, di samping memberikan motivasi positif pada yang bersangkutan. Jargon hidup, Jer basuki mawa bea hendaknya diterjemahkan sekolah dengan berbagai bentuk. Ragam penghargaan karena itu bisa berupa material maupun nonmaterial. Penghargaan nonmaterial misalnya dapat ditempuh dengan sekali waktu memberikan kesempatan pada guru kreatif untuk mempresentasi hasil kreatifnya di depan teman guru, memberikan ucap selamat pada rapat-rapat dinas, atau memberikan piagam penghargaan khusus dari sekolah.

Sedangkan, yang bersifat material dapat berupa (a) pemberian  tambahan “bonus” jam, (b) membebaskan dari tuntutan-tuntutan administrasi, atau (c) memberikan hadiah tertentu setiap keberhasilan kreatif yang dilakukan para guru dengan variasi: lokal, provinsi, dan nasional.

Keenam, terfasilitasinya pembelajaran berbasis konteks. Kepala sekolah menarik untuk mendorong para guru memanfaatkan konteks sosial sebagai basis pembelajarannya. Konteks belajar dalam pendidikan diyakini merupakan faktor kejelian guru dalam menggali kreativitas. Semakin kontekstual pengemasan materi tertentu, dimungkinkan akan mendukung pemahaman dan kemanfaatan materi pembelajaran. Sebab, verbalisme pembelajaran hanya dapat dihindari manakala guru mampu mengubahnya dengan berbagai naluri dan teknik kreatif dalam pembelajarannya.

Dalam pelaksanaan pendidikan berbasis kompetensi kualitas pendidikan dengan guru sebagai panglimanya, akan ditandai oleh (i) adanya peningkatan kualitas pendidikan, (ii) peningkatan efisiensi dan efektivitas, (iii) adanya peningkatan partisipasi warga dan masyarakat sekolah, (iv) adanya peningkatan tanggung jawab sekolah dan komponen terkait, (v) adanya kompetisi sehat antarsekolah, (vi) tumbuhnya kemandirian, (vii) tumbuhnya iklim pembelajaran yang menekankan pada learning to knowlearning to do, learning to be, dan learning to live together, (viii) tumbuhnya pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), dan (ix) proses evaluasi dan perbaikan pembelajaran yang berkelanjutan (lihat Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakter, dan Implementasi  (Rosdakarya, 2003:181-182).

Kepala sekolah, karena itu, bersama komponen sekolah yang lain diharapkan mampu mewujudkannya. Di masa depan, life skill tampaknya, dipandang sebagai “obat mujarab” untuk SDM masa depan. Persoalannya adalah “dokter-dokter pendidikan” di lapangan seringkali melakukan “malpraktek pendidikan”. Inilah tantangan kita ke depan. Mudah-mudahan kita mampu menjadi “dokter pendidikan” yang profesional dan berkualitas. Dan lebih-lebih, bagaimana dapat mengorkestrasikannya menjadi pembelajaran yang menyenangkan. Buku-buku berikut menarik untuk disediakan oleh kepala sekolah yang baik. Bobbi DePorter, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie dengan Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. (Kaifa, 2000).  Bob Samples dengan Revolusi Belajar untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda (Kaifa, 2002). Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos dengan Revolusi Cara Belajar  (Kaifa, 2001).

Wasana Akhir

Dengan demikian, berbicara kultur sekolah sesungguhnya adalah berbicara jiwa dan raga sekolah. Artinya, budaya sekolah yang baik hanya tercipta oleh iklim psikologis yang baik. Jika tidak sehat, maka akan berpengaruh pula pada sehat tidaknya kultur sekolah yang bersangkutan. Bagaimana melihatnya? Barangkali kita lebih banyak jujur memandang karena hukum keseimbangan alam akan menjadi jawaban pada waktunya. Sebuah falsafah fatalis kelihatannya tetapi ia berenergi kuantum yang siap mencengangkan kita pada saatnya. Sebuah keabadian waktu dengan mata yang jujur.
***

Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/03/membangun-kultur-sekolah-berbasis-energi-waktu/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo SMA 1 Badegan Ponorogo STKIP PGRI Ponorogo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo