Sutejo
Dinamika PGRI
Saya akan awali artikel ini dengan refleksi pengalaman di beberapa
tempat saat diminta untuk mempresentasikan bagaimana konsep ideal
membangun kultur sekolah. Pertama, ada sebagian (besar) dengan apriori berdalih, “Ah, itu kan konsep ideal. Praktiknya bagaimana, mengawalinya piye?” Kedua, dengan pola berpikir “kambing hitam” sang guru berdalih anak sekarang tak mempunyai motivasi untuk belajar. Ketiga,
ada yang kritis memposisikan antara birokrasi, kultur bangsa
(masyarakat), dan rendahnya apresiasi negara pada guru. Begitu
seterusnya, jika didaftar refleksinya itu bisa demikian banyak, beragam,
dan sangat kontekstual tergantung masing-masing sekolah.
Kemudian di tahun ajaran baru ini, saya sering mendapat keluhan dari masyarakat tentang berbagai sekolah. Pertama, ada yang mengatakan masuk sekolah negeri mahal tetapi tidak jelas peruntukkannya. Kedua, ada yang mengatakan, berbagai label sekolah ternyata begitu sampai pada praktiknya sama saja, tidak berubah. Ketiga, bagaimana mungkin label sekolah berubah kalau kultur dan gurunya tidak berubah. Keempat, transparansi
dan akuntabilitas sekolah rendah karena ada kecenderungan “permainan”
terselubung yang susah-susah mudah terdeteksi.
Jika kita mau jujur, memang kultur pendidikan di Indonesia secara
makro memang salah pandu, salah gerak, dan –bahkan salah syahwat–.
Bukankah profesi pendidik tidak ubahnya profesi lain untuk memenuhi
hajat dapur? Padahal, ia sebuah profesi luhur –yang barangkali— tidak
saja bersifat dunia tetapi ukhrowi. Artinya, jika ilmu sepakat
dianggap sebagai jariyah ketiga setelah kematian tiba, maka sesungguhnya
kita tidak salah dalam memilih tempat bekerja. Tetapi, seringkali pesan
moral ini (axiologis profesi) terlepas begitu saja setelah kebutuhan survivalitas hidup menghempas.
Untuk inilah, menarik mendiskusikan ulang bagaimana kultur positif
sekolah (termasuk bangsa) ini dibangun kembali. Kultur sekolah yang
bagaimana yang dapat menyemaikan bibit unggul sebagai tanggul bangsa di
masa depan? Indikator kultur apakah yang dapat dicerna komponen siswa
(dan masyarakat) sehingga dengan jernih pandang ia dapat menciptakan
masa depan yang terang? Jika pembelajaran adalah sebuah “gerak monoton”
di ruang-ruang jemu maka dosa apakah yang akan kita terima manakala usai
siswa menamatkan sekolah tetapi jengah dalam melangkah? Renung-kelu
demikian hanyalah seutas kecil dari tali panjang profesi yang mengikat
tubuh pendidikan kita. Tetapi, sungguh sering pula tidak kita sadari.
Sebuah dosa profesi yang mengancam di akherat yang akan ditanyakan oleh
malaikat.
Karena itu, seperti biasa pertanyaan yang sering menghinggapi otak
saya ketika ditanya, “Mengapa sekolah kita tak mampu melahirkan SDM
unggul?” Jawaban yang cepat keluar adalah, “Karena tradisi dan kultur
sekolah kita bukanlah kultur berbasis kualitas, tetapi kultur air sungai
meliuk tanpa gairah.” Sebuah tesis awal penyebab kurang berkualitasnya
sekolah di satu sisi dan pada sisi lain berakibat pada
ketidakberkualitasan produk yang dihasilkan.
Dalam kultur sekolah yang demikian, persoalan yang muncul kemudian
berkisar (a) apakah yang dimaksud kultur sekolah, (b) bagaimana
manajemen sekolah sehingga melahirkan kultur yang ideal, (c) bagaimana
menciptakan kultur sekolah yang mengalirkan gerak hidup pada komponen
sekolah, dan (d) bagaimana memparameterkan kultur sekolah sehingga
prospektif sebagai tangga kualitas.
Dalam konteks renung membangun kultur sekolah ini kemudian
mengalirkan isu-isu semacam (a) menurunnya motivasi siswa dalam belajar,
(b) rendahnya motivasi dan kurang berkualitasnya guru, (c) rendahnya
kreativitas guru, (d) hilangnya komitmen moral guru, (e) terbatasnya
sarana dan penghargaan guru, sampai (f) tidak terdakomodasinya potensi
sekolah karena kepemimpinan yang kurang terbuka. Perselingkungan isu dan
problem ini tentu bukan sekedar isu, tetapi semacam hal “ajaib” perlu
dipikirkan ulang dengan sesekali berkedip. Bukankah ada asap, pasti ada
api?
Membangun Kultur Sekolah
Kultur sekolah ibarat kebiasaan laten yang akan membentuk komponen di
dalamnya. Saya pernah berkelakar kepada seorang pejabat (yang dalam
penilaian saya baik) begini, “Kekhawatiran saya satu, Bapak. Analog
seperti Bapak memasuki WC, awalnya saja terasa tidak sedap tetapi dalam
kurun lima menit selanjutnya sudah tidak terasa.” Pejabat ini kemudian
tersenyum pertanda memahami betul makna kias yang saya lontarkan.
Dalam rangka membangun kultur sekolah yang ideal, maka penting
disadari komponen penting sekolah sebagai potensi dasarnya. Komponen
potensial itu mencakup (a) manajerial KS, (b) kualitas guru, (c)
kualitas input, (d) kualitas SDM pendukung lain, (e) kualitas
perpustakaan, (f) kualitas sarana prasarana, dan (g) kualitas “budaya”
di sekolah itu sendiri.
Oleh karena itu, penting dipertimbangkan upaya-upaya konkret dalam
menumbuhkan kultur sekolah yang berkualitas. Jika kita menengok problem
pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan Mochtar Buchori selaku
penyaji dalam diskusi bertema Key Issues Realted to Improvement of Basic Education in Indonesia sebagaimana
dikutip Supriyoko membagi isu-isu (baca: problem) pendidikan di
Indonesia menjadi tiga peringkat: problem fundamental (fundamental issues), problem stuktural (structural issues), serta problem operasional (operational issues) (Lihat Kompas, 5 Maret 2004).
Problem pelaksanaan pendidikan di sekolah, tentunya merupakan problem
institusional dan operasional. Untuk ini, kualitas pendidikan di
tingkat sekolah akan berpengaruh besar terhadap kualitas hasil
pendidikan secara umum nantinya. Sedangkan, problem implementasi
pendidikan di sekolah pertama-tama adalah pembelajaran. Dan, problem
pembelajaran yang pertama-tama itu, problem guru. Di Indonesia, secara
makro guru bukanlah input terbaik. Tidak heran, jika isu pendidikan pun
bermuara pada kualitas guru dalam mengawal pembelajaran di kelas.
Semakin berkualitas guru, harapannya, semakin berkualitas pula produk
SDM yang dihasilkannya.
Pada artikel ini, akan diusulkan upaya membangun kultur sekolah
berbasis motivasi. Karena itu, artikel ini akan mendiskusikan sejumlah
masalah mencakup (a) bagaimana manajemen sekolah dalam membangun kultur
yang ideal, (b) bagaimana membangun kultur guru sehingga memiliki etos
kompetitif berbasis keunggulan, (c) bagaimana membangun kultur siswa
(belajar) sehingga nalar dan sikap ajar dapat berpijar.
Alternatif Manajemen Sekolah
Terkait dengan manajemen sekolah untuk mendorong kultur sekolah yang
positif maka penting dipikirkan beberapa hal penting. Pertama, perlunya manajemen sekolah berbasis motivasi.
Hal ini penting, mengingat problem terbesar bangsa ini adalah masalah
motivasi dan etos. Motivasi akan mampu meciptakan komitmen, komitmen
akan melahirkan etos, etos menciptakan daya gerak, daya gerak akan
menciptakan perubahan. Kultur sekolah yang baik, adalah yang mampu
menciptakan perubahan. Dan, perubahan bermuara pada motivasi. Untuk
inilah, maka pentingnya menumbuhkan motivasi insan komponen sekolah
dengan beragam bentuk (a) menyediakan buku-buku pembangkit motivasi, (b)
menghadirkan pelajaran tamu dari luar sekolah seperti dokter, psikolog,
dan usahawan yang “berhasil”. Akan lebih baik, mereka adalah alumni;
jika tidak “orang-orang terdekat” secara sosiologis sehingga melahirkan
motivasi (hal ini merupakan kias dari pendekatan kontekstual yang sering
dijargonkan dalam praksis pendidikan kita). Banyak buku menarik yang
dapat mengembangkan motivasi komponen sekolah. Buku-buku itu diantaranya
Born to Win: Kunci Sukses yang Tak Pernah Gagal (karya: Anton Irianto), Jakarta (Gramedia, 2005). 50 Suskes Classics: Menjadi Bijak dalam Pekerjaan dan Kehidupan Melalui 50 Buku legendaries (Tom Butler-Bowdown), Jakarta (BIP, 2005); 8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses (Jansen Sinamo), Jakarta (Institut Darma Mahardika, 2005). Dan masih banyak lagi.
Kedua, Perlunya manajemen sekolah berbasis komunikasi.
Manajemen ini, menekankan akan pentingnya kesadaran bahwa etos
profesionalitas (mutu), sangat ditentukan oleh kualitas komunikasi.
Semakin jernih komunikasi sekolah, dapat diprediksi kultur sekolah yang
jernih pula. Sekolah dalam manajemen prasangka, misalnya, tidak akan
terjadi karena chanel komunikasi telah terfasilitasi. Sebuah buku menarik yang terbit tahun 2005 yang ditulis Kris Cole, Komunikasi Sebening Kristal: Meraih Sukses Melalui Keterampilan Memahami (Jakarta, Quantum Bisnis & Manajemen, 2005) dapat dijadikan tempat berpijak.
Ketiga, perlunya manajemen sekolah berbasis reward and punishmen.
Artinya, dalam kepemimpinan modern dua hal itu merupakan “bahasa
komunikasi professional” yang mutlak dibutuhkan. Sehingga penempatan
orang didasarkan penghargaan atas kualitas kerja bukan pada like dan dislike.
Sedangkan, hukuman penting dipikirkan untuk menegakkan aturan main
institusi sehingga kultur sekolah berjalan atas aturan baku yang
mengikat dan tidak pandang bulu. Termasuk tentu, dalam memberikan
hukuman pada unsure sekolah yang dinilai gagal. Tradisi ini, nyaris
asing dalam praksis pengelolaan sekolah kita. Untuk ini, dibutuhkanlah
keberanian untuk melakukannya.
Keempat, perlunya manajemen sekolah berbasis baca tulis.
Manajemen ini, nyaris tidak pernah tersentuh oleh sekolah. Tak pernah
terpikirkan bahwa guru (komponen sekolah) setiap saat penting untuk
meningkatkan kualitas melalui dua budaya ini. Hal ini, mengingat dua
hal tersebut merupakan unsure penting dalam tradisi pengembangan SDM
mutakhir untuk menuju kultur sekolah yang berkualitas.
Kelima, perlunya manajemen sekolah berbasis jaringan.
Kemajuan sekolah di era mutakhir, mau tidak mau, sangat ditentukan oleh
kemampuan membangun jaringan dengan pihak eksternal. Sekolah-sekolah
model yang berkembang sekarang sangat menekankan pada hal demikian. SMA
Sewon 1 Bantul misalnya, berhasil mengembangkan jaringan ini bekerja
sama dengan Microsof Internasional dan Depdiknas (Puskur) dalam
pengembangan sekolah berbasis teknologi informasi (TI). Sekolah-sekolah
komunitas sangat menjadikan yang satu ini sebagai senjata masa depan dan
pemberdayaan.
Keenam, perlunya manajemen sekolah berbasis budaya unggul. Manajemen ini, merupakan manajemen penuh risiko. Sebab, falsafah Jawa senantiasa mengingatkan Jer Basuki Mawa Bea.
Untuk menuju basis budaya unggul mau tidak mau mutlak dibutuhkan
ketersediaan financial di satu sisi, dan ketercukupan kemampuan pada
kualitas SDM di dalamnya.
Parameter Ideal Komponen Sekolah
Dalam upaya menyeleraskan dan menciptakan kultur sekolah, maka arif
dipikirkan komponen sekolah yang memiliki seperangkat kualitas ideal
–yang dalam paradigma mutakhir— menjadi parameter penentu. Indikator
yang dimaksud mencakup (a) kualitas kompetensi, (b) kualitas bahasa dan
komunikasi, (c) kualitas emosional, (d) kualitas berpikir, (e) kualitas
akademik, (f) kualitas kreatif, (g) kualitas etos, dan (h) kualitas
cinta (Lihat Sutedjo Membangun Kualitas Guru (2006), artikel
presentasi dalam Forum Guru di Yayasan Mutiara Bunda Sidoarjo, 7
Januari 2006). Berikut diuraikan sekilas tentang indikator yang dimaksud.
Kualitas Kompetensi
Kualitas kompetensi mempersyaratkan adanya kemampuan spesifikasi
bidang penekunan. Guru yang kompeten adalah guru yang memiliki latar
belakang pendidikan relevan, wawasan pengetahuan memadai, keterampilan
cukup, serta sikap yang memadai pula berkaitan dengan bidang ajar yang
digelutinya.
Salah satu indikator kualitas kompetensi guru misalnya adalah
kemampuan untuk menilai kualitas buku ajar yang dipergunakan. Sebab, di
sinilah akan diketahui kecakapan analitisnya atas kualitas kebidangan
dalam memandang buku pelajaran (Lihat Sutedjo, Menimbang Kualitas
Buku Ajar Bahasa Indonesia, artikel Seminar Nasional yang diadakan oleh
Balai Bahasa Surabaya pada tanggal 27 Desember 2005) bersama panelis
lain: (1) Prof. Dr. Suparno (Guru Besar Universitas Malang), dan (2)
Dr. Nafron (Penerbit Tiga Serangkai).
Kualitas Bahasa dan Komunikasi
Kris Cole dalam buku Komunikasi Sebening Kristal:Meraih Sukses Melalui Keterampilan Memahami
yang diterbitkan oleh Quantum Bisnis & Manajemen (2005),
mengingatkan kita akan bagaimana komunikasi sangat ditentukan oleh
kemampuan bahasa di satu sisi dan bagiamana kemampuan “memanfaatkan
bahasa tubuh” dalam mencapai komunikasi sebening kristal. Sebuah
prasyarat komponen sekolah agar kultur terbangun dengan baik.
Kualitas bahasa dan komunikasi mempersyaratkan adanya kemampuan
berbahasa yang memadai di satu sisi dan bagaimana guru juga memiliki
kejeniusan komunikasi di sisi yang lain. Sudah jamak, dalam dunia
pendidikan kita bahwa yang bertanggung jawab atas ketertiban, kebaikan,
dan kebenaran berbahasa siswa adalah guru bahasa Indonesia. Tidak banyak
guru yang sadar, mereka ikut bertanggungjawab atas terbinanya kecakapan
berbahasa siswa. Sebaliknya, dalam komunikasi pembelajaran, mereka
justru memperparah kualitas berbahasa. Guru kita banyak melakukan
kesalahan berbahasa. Bahkan, juga dilakukan oleh intelektual kita secara
umum sebagaimana tampak dalam tulisan Sunjono Dardjowidjojo, Bahasa sebagai Cermin Pola Berpikir (Lihat Tony D. Widiastono (Ed) Pendidikan Manusia Indonesia Jakarta (Penerbit Buku Kompas, 2004:340-359).
Kualitas komunikasi dalam kehidupan modern dinyakini sebagai kunci
utama dari kesuksesan seseorang. Untuk inilah, maka penting ditingkatkan
kualitas komunikasi guru agar bias persepsi dalam pembelajaran tidak
terjadi. Kris Cole dalam Komunikasi Sebening Kristal, bahkan menyindir kemampuan komunikasi berpengaruh besar dalam pencapaian sukses seseorang dalam berbagai bidang.
Kualitas Emosional
Kualitas emosional merupakan indikator kualitas komponen sekolah yang
lain. Kualitas ini, mengingatkan akan pesan Daniel Goleman bahwa faktor
kecerdasan emosional menentukan 80% dari keberhasilan seseorang. Karena
itu, guru dan kompnen sekolah lain arifnya memiliki kecerdasan
emosional. Kualitas emosional ini, harapannya tidak akan melahirkan
pendidikan yang indoktrinatif (Sutedjo, Agar Guru Tidak Indoktrinatif, Kompas Jatim edisi
7 Desember 2005, hal. D). Selanjutnya, pendidikan demikian mensyaratkan
pentingnya peranan emosi dalam pembelajaran di kelas. Suasana yang
menyenangkan harus diciptakan dalam pembelajaran. Pendidikan perlu
menekankan pada keampuhan pandangan positif dan peran emosi dalam
belajar. Bagaimana membangun hubungan sosial, bagaimana memanfaatkan
kegembiraan, dan bagaimana memberikan pengakuan emosional untuk
memberikan afirmasi yang dibutuhkan siswa.
Buku-buku penggali dan pengembangan kecakapan emosional ini telah
mengajarkan pada kita. Kecakapan ini merupakan faktor terbesar yang
menentukan keberhasilan. Buku-buku berikut menarik untuk didekatkan pada
komponen sekolah: (a) Lawrence E. Shapiro (1999) yang berjudul Mengajarkan Emotional Intelligence pada Anak-Anak (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama), (b) Daniel Goleman (2000) dengan judul Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), dan (c) Jeanne Segal (2000) berjudul Melejitkan Kepekaan Emosional, Cara Baru-Praktis untuk Mendayagunakan Potensi Insting dan Kekuatan Emosi Anda (Bandung: Penerbit Kaifa).
Demikian juga, bagaimana sekolah mampu membangun iklim sekolah yang mampu memberikan reward
sosial atas hasil belajar dan kinerja, serta bagaimana kehangatan guru
akan rasa memiliki terhadap terciptanya pendidikan yang tidak
indoktrinatif. Khususnya, para guru dalam menbangun pembelajaran yang
tidak indoktrinatif mutlak dibutuhkan kecerdasan emosional guru. Dalam
rangka menciptakan orkestrasi pembelajaran demikian guru bersama sekolah
dituntut mampu mewujudkan kualitas-kualitas kecerdasan emosional dalam
praksis pembelajaran yang ada. Kualitas emosional itu sendiri mencakup:
empati, kemampuan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian,
kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah
antarpribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat.
Kualitas Berpikir
Sedangkan kualitas berpikir guru dan kompnen sekolah lainnya
merupakan pisau analisis dalam menghadapi berbagai persoalan pendidikan.
Sekaligus ia merupakan kerangka pembangun bagaimana mengonstruksi
pembelajaran yang berbasis ilmiah. Kualitas berpikir kemudian akan
menjadi parameter penting untuk membedakan seorang guru memiliki sikap,
cara pikir, dan keterampilan pendidikan yang ilmiah atau tidak. Berpikir
ilmiah, harapannya mampu mengabaikan subjektivitas dalam pendidikan.
Sekolah yang berkultur baik dengan demikian adalah sekolah yang
mencerminkan kualitas berpikir yang baik pula pada komponen sekolahnya.
Bukan kasak-kusuk dan budaya saling menikung untuk kepentingan pribadi
dan kelompok yang tidak menguntungkan atas kultur sekolah secara makro.
Diakui atau tidak, kondisi demikian memang sering terjadi karena tidak
adanya komunikasi yang baik diantara komponen sekolah. Terlebih jika
kepala sekolah tidak memiliki “otoritas komunikasi” sehingga lebih
banyak dikendalikan oleh komponen sekolah lainnya.
Kualitas Akademik
Salah satu pilar penting dalam pembelajaran berbasis life skill di sekolah adalah perlunya akan implementasi kecakapan akademik. Life skill itu sendiri, secara lengkap berdiri di atas lima “konsep dasar kecakapan”, yakni (i) kecakapan personal (personal skill), kecakapan sosial (social skill), (iii) keterampilan berpikir logis (thinking skill), (iv) kecakapan akademik (academic skill), dan (v) kecakapan vokasional (vocational skill).
Semua komponen sekolah, karena itu, diharapkan memiliki oreantasi atas
kelima kecakapan ini. Bukan saja guru sebagai penggembala di ruang-ruang
kelas tetapi juga komponen sekolah lainnya.
Kualitas akademik ini menyaran pada bagaimana kemampuan implementasi
akademik (keilmuan) guru dan komponen sekolah lainnya dalam
masing-masing kompetensinya. Ia mempersyaratkan kemampuan guru agar
mampu mengungkapkan gagasan kritis keilmuan, baik secara lisan maupun
tertulis. Kualitas ini, menuntut kemampuan “membaca tingkat tinggi” dan
kemampuan menulisnya.
Kecakapan akademik guru misalnya, diharapkan memiliki (a) kemampuan
kompetitif di masing-masing bidang, (b) kemampuan untuk menciptakan
sikap ilmiah, dan (c) kemampuan eksplorasi keilmuan dalam even yang
tidak saja di dalam kelas tetapi mampu mengembangkannya secara lebih
luas. Baik di tingkat sekolah, kota, provinsi, dan jika memungkinkan
untuk mampu berbicara di tingkat nasional. Hal ini akan menjadi faktor
penting dalam mendorong peningkatan kualitas akademik dunia pendidikan
secara umum.
Kualitas Kreatif
Kualitas kreatif komponen sekolah akan mendorong terciptanya kultur
sekolah yang baik. Sekolah tanpa kultur kreatif maka dapat dibayangkan
berjalannya roda sekolah yang sekadar alir dan monoton. Sebagai penajam
menarik dikritisi buku-buku yang menunjukkan bagaimana pentingnya
kreativitas ini. Lihat misalnya, Julia Cameron dan Mark Bryan, Meniru Kreativitas Tuhan: 12 Tahap Melejitkan Kreativitas melalui Jalan Spiritual. Bandung (Kaifa, 2004). Jordan E. Kayan, Bengkel Kreativitas: 10 Cara Menemukan Ide-Ide Pamungkas. Bandung (Kaifa, 2002). Daniel Goleman, The Creatif Spirit: Nyalakan Jiwa Kreatifmu di Sekolah, Tempat Kerja, dan Komunitas, Bandung
(MLC, 2005). Kualitas kreatif akan mengantarkan siapa pun dalam
mencapai titik keberhasilan itu. Jika sekolah memiliki kreativitas
tinggi maka dapat dibayangkan akan terjadi perubahan yang tinggi pula.
Kualitas kreatif guru, misalnya, memiliki kontribusi besar dalam pembelajaran yang berbasis joyfull learning.
Kualitas ini menyaratkan kemampuan kreatif guru dalam memilih strategi
pembelajaran, baik mencakup pendekatan, metode, dan tekniknya. Jika
selama ini kreativitas menjadi penyakit para guru, maka harapannya ke
depan guru mampu mengubahnya menjadi kekuatan penting dalam pembelajaran
di kelas. Kreativitas guru tanpa didukung oleh kreativitas komponen
sekolah lainnya tentu tidak akan optimal. Untuk inilah seluruh komponen
sekolah penting untuk menumbuhkan kreativitas ini. Terlebih kepala
sekolah penting pula untuk memfasilitasinya.
Kualitas Etos
Kultur sekolah yang baik adalah budaya sekolah yang mampu
membangkitkan etos komponennya. Kultur yang penuh kompetisi positif,
penuh penghargaan, dan penuh dengan komunikasi yang baik; akan mampu
mendorong munculnya etos yang tinggi SDM di sekolah. Banyak pengalaman
menarik dari para ahli motivasi yang mengetengahkan akan pentingnya etos
ini.
Buku-buku macam Born to Win: Kunci Sukses yang Tak Pernah Gagal (Gramedia, 2005) karya Anton Irianto menggambarkan bagaimana kemenangan adalah sebuah etos berbuat. Tom Butler-Bowdown dengan 50 Suskes Classics: Menjadi Bijak dalam Pekerjaan dan Kehidupan Melalui 50 Buku Legendaris (BIP, 2005). Jansen Sinamo dengan 8 Etos Kerja Profesional: Navigator Anda Menuju Sukses
(Institut Darma Mahardika, 2005). Buku-buku demikian menarik untuk
disosialisasikan di sekolah agar kultur sekolah yang beretos lahir
dengan sendirinya.
Selanjutnya, etos ini biasanya dikaitkan dengan mobilitas seseorang
atas sesuatu bidang penekunan. Kualitas etos karena itu, menyaran
bagaimana mobilitas guru dalam pembelajaran dituntut, sehingga ada roh
yang menggerakkan secara tak henti. Kualitas etos akan melahirkan
keuletan kerja. Ia bersama kecapakan emosional guru akan mendorong
bagaimana proses pembelajaran hakikatnya sebuah “proses keuletan” dalam
segala hal. Kualitas sukses seseorang sering kali, juga di tentukan
oleh adanya etos dan ulet penekunan profesi.
Kualitas Cinta
Dalam pengabdian seseorang atas bidang tidak mungkin tanpa kualitas
cinta. Cinta merupakan salah satu kekuatan dalam keberhasilan. Tony
Buzan, misalnya, mengungkapkan pentingnya kualitas cinta ini dalam buku Sepuluh Cara Jadi Orang yang Cerdas Secara Spiritual
(Gramedia, 2003:135-151). Untuk inilah maka cinta profesi dan cinta
sekolah merupakan pilar tumbuhnya kultur makro yang kondusif.
Sedangkan kualitas cinta hakikatnya merupakan salah satu roh
spiritualitas hidup manusia. Cinta memiliki daya gerak. Jika guru tidak
memiliki rasa cinta terhadap profesi, maka dapat diprediksikan akan
hasil yang muncul kemudian. Cinta profesi karena itu, akan menjadi
penanda awal bagaimana seseorang memiliki kemampuan akan semangat dan
jiwa berkorban terhadap profesi.
Dalam menerapkan KTSP, dengan dilaksanakannya kurikulum berbasis
kompetensi, guru misalnya, diharapkan mampu menciptakan pembelajaran
yang berbasis life skill. Karena itu, pembelajaran yang
diciptakan (i) sejauhmana guru mampu memberikan ruang pembelajaran,
penggalian, pengomunikasian atas terbentuknya kecakapan personal; (ii)
sejauhmana guru mampu menggiring dalam proses belajar yang membangkitkan
potensi kecakapan sosial siswa; (iii) sejauhmana guru mampu memberikan
pembelajaran yang menumbuhkan kemampuan mengembangkan kecakapan
intelektual akademiknya; (iv) sejauhmana guru mampu menyuguhkan
pembelajaran yang memfasilitasi kecakapan vokasional siswa; serta (v)
sejauhmana guru mampu merancang strategi pembelajaran demi
terkembangkannya kecakapan berpikir siswa. Khusus kecakapan berpikir
ini, tampaknya, akan menjadi bingkai dari semua upaya penanaman keempat
kecakapan itu.
Pilar Kokohnya Kultur Sekolah
Kultur di sekolah dalam pandangan saya akan kokoh manakala dibangun
dalam empat pilar, yakni (a) adanya kesepakatan, (b) adanya aturan, (c)
komitmen, dan (d) adanya pengakuan dan hukuman. Idealisme demikian akan
mengikat komponen sekolah di satu sisi dan di sisi lain akan mampu
melahirkan iklim positih karena menalikan sebuah system budaya yang
hakiki. Kesepakatan bersama akan melahirkan norm, dengan norm (aturan)
akan membangun komitmen. Komitmen (plus etos) akan mengakar manakala
dibingkai dengan reward dan punishment yang tak pandang bulu.
Untuk mewujudkan itu, maka jika dijabarkan akan menyuguhkan beberapa pemikiran berikut.
Pertama, pentingnya diterbitkan peraturan sekolah dan
peraturan yayasan yang mengikat semua pihak dalam rangka mewujudkan guru
dan komponen lain yang berkualitas. Peraturan demikian akan memberikan
kepastian hukum pada semua pihak untuk mengawal pendidikan yang
diselenggarakannya. Baik yayasan (dinas pendidikan), kepala sekolah, TU,
guru, dan siswa sendiri.
Kedua, bersihkan dari bau korupsi. Sekolah yang baik, harus
mampu menepiskan aroma ini agar segala gerak dan laku pendidikan tidak
melenceng. Karena itu, guru arifnya menghindarkan dari perilaku
koruptif. Penyakit ini merupakan penyakit laten yang sangat berbahaya
dalam rangka memimpikan kultur sekolah yang baik dan kondusif.
Ketiga, perlunya iklim sekolah yang peka kualitas buku. Gagasan ini, menyaran pada bagaimana komponen sekolah memiliki a sence of quality
terhadap kemungkinan buku ajar yang akan dipergunakan. Guru penting
memiliki wawasan kualifikasi sebagaimana diisyaratkan di atas. Di
samping itu, guru perlu juga mempertimbangkan buku ajar dengan berpijak
pada prinsip-prinsip berikut (a) keterbacaannya, (b) kontekstualisasi,
(c) isi dan pesan keilmuan, sampai pada (d) tampilan dan pengemasan
materi di dalamnya (Pemikiran terhadap bagaimana kepekaan guru terhadap
kualitas guru pernah penulis sampaikan beberapa waktu lalu di Balai
Bahasa Surabaya (Sutedjo, Menimbang Kualifikasi Buku Ajar, artikel yang disajikan dalam acara Seminar Bahasa dan Sastra 2005: Mendedah Kualifikasi Buku Ajar Bahasa Indonesia Berbasis Kompetensi tanggal 27 Desember 2005).
Tanpa kepekaan demikian, kultur sekolah akan berubah kultur pasar
tradisional di mana para guru dan komponen sekolah terjebak pada
kegiatan jual beli. Jual beli yang seringkali pula tanpa kritik dan
penilaian kritis atas kualitas buku yang menghampirinya. Keterpilihan
buku yang dipakai misalnya, bukan pada kualitas buku tetapi pada besar
kecil persen yang diberikan penerbit kepada sekolah.
Keempat, terbangunnya masyarakat kritis (termasuk siswa dan
orang tua) atas kualitas kultur sekolah. Masyarakat kritis ini hanya
akan tercipta jika adanya budaya kritis masyarakat terbentuk, bukan
masyarakat pencela. Masyarakat kritis yang tanggap terhadap kebutuhan
pendidikan di masa kini dan masa depan. Ketika pendidikan diharapkan
mampu menjadi alat antisipasi zaman sebagaimana Mochtar Buchori pernah
kemukakan, maka masyarakat kritis akan mendorong terciptanya pendidikan
yang demikian.
Masyarakat kritis bukan masyarakat yang mau membeli bangku sekolah
tertentu dengan harga yang mahal. Tetapi masyarakat yang mampu
menimbang keunggulan dan kelemahan sekolah sebagai kultur pembelajaran
yang baik. Bukan labelisasi sekolah tanpa konsekuensi. Masyarakat kritis
akan mendorong terjadinya transparansi sekolah di satu sisi dan pada
sisi lain akan membantu sekolah secara akuntabel memberikan
pertanggungjawaban balik kepada masyarakat.
Kelima, optimalisasi peran institusi terkait (komite, dewan
pendidikan, dan dinas pendidikan daerah) dalam melakukan koordinasi dan
pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan di sekolah. Lagi-lagi,
kemandulan komite dan dewan pendidikan seringkali mempurukkan sekolah
tanpa kontrol. Akibatnya, kultur sekolah terarus dalam kepentingan
“kapitalisasi” –yang seringkali— tanpa pelayanan yang sebanding dengan
apa yang dikeluarkan masyarakat.
Institusi eksternal sekolah menjadi lipstik dan asesoris saja.
Padahal idealisme mereka adalah atribut dalam mendorong terciptanya
kultur sekolah yang terkendali. Sekolah yang transparan dan
terakuntabilitasi dengan baik. Kultur sekolah yang baik dengan
sendirinya adalah sekolah yang mampu menghidupkan komite sekolahnya
untuk berperan aktif atas segala lini penyangga sekolah.
Keenam, terbangunnya kreativitas di sekolah. Sekolah yang
baik adalah sekolah yang mampu mendorong tumbuhnya kreativitas demikian.
Banyak buku yang menunjukkan tentang pentingnya kreativitas ini untuk
difasilitasi sekolah. Buku-buku itu diantaranya: (a) Baban Sarbana dan
Dina Diana dengan Ampuh: Menjadi Cerdas Tanpa Batas (Elex Media Komputindo, 2003) dan (b) Williem Shier dengan Anak Cerdas, Peran Orang Tua dalam Mewujudkannya
(Emerald Publising, 2004). Bagaimanapun kreativitas diyakini sebagai
fondasi penting akan terkuaknya pintu perubahan. Kreativitas karena itu,
semacam kredit poin untuk meletakkan kesuksesan seseorang. Kemampuan
kreatif (untuk mencari cara lain) dalam memecahkan masalah kehidupan
misalnya, dapat ditanamkan sedini mungkin agar nyali hidup kreatif
tertanamkan.
Apa yang Perlu Dilakukan Kepala Sekolah?
Sebagai dirigen lagu sekolah sehingga tercipta “himne kultur sekolah”
maka kepala sekolah menarik untuk mempertimbangkan beberapa hal
berikut.
Pertama, adanya kepemimpinan sekolah yang berbasis
kreativitas. Kepemimpinan di sekolah diyakini berandil besar akan
tumbuhnya kreativitas sekolah. Kepala sekolah seperti dirigen lagu yang
dituntut mampu mengharmonikan unsur “musik” sekolah. Kepemimpinan
demikian, menuntut (a) kejelian mengakomodasi potensi sekolah, (b)
adanya komunikasi dua arah yang jernih, (c) keteladan kreatif sebagai
pendulum, dan (d) terkembangkannya sistem kehumasan sekolah berbasis
kreativitas.
Kedua, terciptanya kultur sekolah yang mendukung
kreativitas. Warna kepemimpinan di sekolah akan berpengaruh langsung
atas kultur sekolah yang terbangun. Untuk inilah, maka kultur (budaya)
sekolah yang mendukung kreativitas akan ditandai dengan (a) adanya
tradisi kompetisi sehat, (b) tradisi membaca dan menulis guru-siswa, (c)
adanya even-even sekolah untuk menggali kegiatan kreatif, dan (d)
terkomunikasikannya kultur positif sekolah melalui sistem kehumasan yang
produktif.
Kultur sekolah demikian diharapkan mengabaikan persaingan yang tidak
sehat di satu sisi dan bagaimana menumbuhkan kompetisi berbasis
kreativitas. Kultur kreativitas pembelajaran di sekolah misalnya, dapat
diawali dengan memberikan penghargaan pada mereka yang mau melakukannya.
Banyak even nasional yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong guru
kreatif, macam (a) Lomba Menulis Cerita Pendek (LMCP), (b) Lomba
Mengulas Karya Sastra (LMKS), (c) Lomba Kreativitas Guru LIPI, (d) Lomba
Kreativitas Pembelajaran Guru Depdiknas, (e) Lomba KT Imtaq, (f) Lomba
KT PKLH, (g) Sayembara Perbukuan Nasional, dan (h) Lomba TI bidang MPP.
Kultur sekolah yang baik tentu mampu menginformasikan peluang-peluang
kreatif demikian, kemudian menindaklanjutinya dengan memberikan
“fasilitas” memadai. Di SMAN Sewon 1 Bantul, misalnya, penulis
menemukan bagaimana guru potensial difasilitasi dengan baik. Tak heran,
jika kemudian sekolah ini sudah berbasis tekonologi informasi dalam
praksis pembelajarannya dengan pendukung tiga laboratorium komputer
online internet selama 24 jam. Di Ponorogo, misalnya, ada seorang guru
kreatif diberikan kompensasi penghargaan 30 jam pelajaran dengan
membebaskannya dari tugas mengajar tetapi difasilitasi untuk merancang
dan mengembangkan sistem evaluasi di sekolah.
Ketiga, adanya sarana sekolah memadai. Kreativitas tanpa
sarana seperti perahu tanpa laut. Pelayaran kreativitas tak akan
berjalan. Untuk inilah, maka sarana sekolah penting dipikirkan bersama
dengan melibatkan sekolah, pemerintah, dan masyarakat. Penguatan
demikian, dipandang penting karena keterbatasan pemerintah dalam
memfasilitasinya. Untuk inilah, maka revitalisasi komite sekolah mutlak
dibutuhkan. Kepala sekolah yang peka akan kultur sekolah yang optimalkan
akan mengedepankan sarana sekolah sebagai pendorong kultur yang baik.
Keempat, melibatkan guru dalam kegiatan peningkatan kualitas
dan kreativitas di luar sekolah. Perluasan wawasan pedagodik dan
kreativitas guru bisa terbangun dengan melibatkannya dalam berbagai
kegiatan di luar sekolah. Berbagai bentuk pelatihan kreativitas dan
manajemen bisnis misalnya, tidak jelek untuk diikuti. Sebab,
bagaimanapun guru adalah manajer kelas yang dipundaknya tergelayut
tuntutan kreatif untuk mengalirkan nadi kreatif pula di nadi anak
didiknya. Bukan sebaliknya, sekolah –karena alasan pendanaan— menutup
mata akan tuntutan demikian.
Kelima, adanya penghargaan minimal. Reward atas
pencapaian hasil kreativitas merupakan pendulum bagi guru-guru yang
lain, di samping memberikan motivasi positif pada yang bersangkutan.
Jargon hidup, Jer basuki mawa bea hendaknya diterjemahkan
sekolah dengan berbagai bentuk. Ragam penghargaan karena itu bisa berupa
material maupun nonmaterial. Penghargaan nonmaterial misalnya dapat
ditempuh dengan sekali waktu memberikan kesempatan pada guru kreatif
untuk mempresentasi hasil kreatifnya di depan teman guru, memberikan
ucap selamat pada rapat-rapat dinas, atau memberikan piagam penghargaan
khusus dari sekolah.
Sedangkan, yang bersifat material dapat berupa (a) pemberian
tambahan “bonus” jam, (b) membebaskan dari tuntutan-tuntutan
administrasi, atau (c) memberikan hadiah tertentu setiap keberhasilan
kreatif yang dilakukan para guru dengan variasi: lokal, provinsi, dan
nasional.
Keenam, terfasilitasinya pembelajaran berbasis konteks.
Kepala sekolah menarik untuk mendorong para guru memanfaatkan konteks
sosial sebagai basis pembelajarannya. Konteks belajar dalam pendidikan
diyakini merupakan faktor kejelian guru dalam menggali kreativitas.
Semakin kontekstual pengemasan materi tertentu, dimungkinkan akan
mendukung pemahaman dan kemanfaatan materi pembelajaran. Sebab,
verbalisme pembelajaran hanya dapat dihindari manakala guru mampu
mengubahnya dengan berbagai naluri dan teknik kreatif dalam
pembelajarannya.
Dalam pelaksanaan pendidikan berbasis kompetensi kualitas pendidikan
dengan guru sebagai panglimanya, akan ditandai oleh (i) adanya
peningkatan kualitas pendidikan, (ii) peningkatan efisiensi dan
efektivitas, (iii) adanya peningkatan partisipasi warga dan masyarakat
sekolah, (iv) adanya peningkatan tanggung jawab sekolah dan komponen
terkait, (v) adanya kompetisi sehat antarsekolah, (vi) tumbuhnya
kemandirian, (vii) tumbuhnya iklim pembelajaran yang menekankan pada learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together, (viii) tumbuhnya pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), dan (ix) proses evaluasi dan perbaikan pembelajaran yang berkelanjutan (lihat Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakter, dan Implementasi (Rosdakarya, 2003:181-182).
Kepala sekolah, karena itu, bersama komponen sekolah yang lain diharapkan mampu mewujudkannya. Di masa depan, life skill
tampaknya, dipandang sebagai “obat mujarab” untuk SDM masa depan.
Persoalannya adalah “dokter-dokter pendidikan” di lapangan seringkali
melakukan “malpraktek pendidikan”. Inilah tantangan kita ke depan.
Mudah-mudahan kita mampu menjadi “dokter pendidikan” yang profesional
dan berkualitas. Dan lebih-lebih, bagaimana dapat mengorkestrasikannya
menjadi pembelajaran yang menyenangkan. Buku-buku berikut menarik untuk
disediakan oleh kepala sekolah yang baik. Bobbi DePorter, Mark Reardon,
dan Sarah Singer-Nourie dengan Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-Ruang Kelas. (Kaifa, 2000). Bob Samples dengan Revolusi Belajar untuk Anak: Panduan Belajar Sambil Bermain untuk Membuka Pikiran Anak-Anak Anda (Kaifa, 2002). Gordon Dryden dan Dr. Jeannette Vos dengan Revolusi Cara Belajar (Kaifa, 2001).
Wasana Akhir
Dengan demikian, berbicara kultur sekolah sesungguhnya adalah
berbicara jiwa dan raga sekolah. Artinya, budaya sekolah yang baik hanya
tercipta oleh iklim psikologis yang baik. Jika tidak sehat, maka akan
berpengaruh pula pada sehat tidaknya kultur sekolah yang bersangkutan.
Bagaimana melihatnya? Barangkali kita lebih banyak jujur memandang
karena hukum keseimbangan alam akan menjadi jawaban pada waktunya.
Sebuah falsafah fatalis kelihatannya tetapi ia berenergi kuantum yang
siap mencengangkan kita pada saatnya. Sebuah keabadian waktu dengan mata
yang jujur.
***
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/03/membangun-kultur-sekolah-berbasis-energi-waktu/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar