Sutejo
Aku tak tahu, akan bagaimana aku jadinya. Jika aku salah merespon hinaan. Si "anak thuyul", si miskin, si tolol, si liar, si brandal, si tekek, si tempe, si dono, si bodoh, dan si dungu. Bahkan, guru SPG-ku dari keluarga ponpes sangat terkenal di kotaku, mencaciku "anake wong ngaret" dan "anake tukang becak". Jiwaku remuk redam. Kepalaku pecah. Masa kecil dan mudaku dihadapkan pada perkelaian dan dendam. Insyaallah, semua sudah berubah.
Fitnah bertubi-tubi, cacian tak henti. Dampaknya, luar biasa: tumbuh jadi remaja minder, pendendam, sentimentalis, liar, tapi tak percaya diri. Orang bilang, tak berbentuk. Sampai sekarang pun, tak jarang aku dikatain, tak berbentuk, tak beraturan. Haha. Sejatinya: 100 persen berbentuk, berpola. Bukankah tak beraturan hakikatnya sebuah bentuk?
Aku awalnya membenci mereka, termasuk tiga keluarga sumber fitnah keluargaku. Setelah kuliah, entah --tiba-tiba--aku jadi pemaaf. Tak tega terus bertengkar. Aku datangi kekuarga mereka satu-satu, yang telah membenci, memfitnah, dan mengucilkan keluargaku. Ya Allah, anehnya, usai itu tak lama: roda berputar 180 derajat. "Diangkat" dan "dijatuhkan". Cukup 2 tahun drama hinaan itu, perlahan sirna. Terlebih, saat aku dapat beasiswa di tengah kuliah.
Hinaan adalah cambuk. Fitnah adalah tanah subur. Ambil benih terindah, tanam dengan niat benar, sirami dengan air keikhlasan, dan pupuk dengan orea keyakinan: tumbuhlan pohon keindahan. Taman harapan terhampar luas, tinggal waktu yang menjadi hakimnya.
Jika kini, sisa-sisa "kekerasan" itu ada, maafkanlah semua sahabat, kolega, murid, mahasiswaku. Terlebih, anak-anakku, anak biologis dan kulturalku. Bukankah menghapus itu lebih susah dari menukiskannya? Bekas dan jejaknya. Dinding yang terpaku memang tak pernah membenci palu? Tersebab, palu dan paku ada yang menggerakkannya.
Hinaan itu cambuk biar kita berlari kencang. Menyingsingkan baju dan lengan, mengepalkan tangan, dan menggerakkan kaki seperti dikejar anjing atau sebaliknya. Cambuk itu hanya cara Tuhan mengubah kita. Percayalah, maafkanlah semuanya.
Bangsa yang maju masih percaya akan kekerasan, hukuman, dan "target paksa". Korea, Jepang, dan Cina sekadar contohnya. Etos mereka barangkali cermin besar. Ya, cermin.
00.19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar