Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Di bawah pohon ringin itu, kau tanyakan bagaimana aku mencintaimu. Pohon itu teduh. Besar dan perkasa di tengah aloon-aloon. Sepuluh tahun yang lalu. Sebelum kota kita begitu materialis dan hedonis. Aku akan melihat tajam bola matamu. Bulat hitam matamu utuh menyentuh hatiku.
Kau rebahkan tubuhmu menghadap langit senja dan bianglala bercerita tentang percakapan hati kita. "Obat sakit hati itu akan tiba pada saatnya." Aku pahamkan itu, kaupun setuju sebelum setahun kemudian kau tinggalkan aku. Sembilan tahun sudah, aku menunggu di bawah pohon itu. Setiap tahun, di bulan yang sama, dan tanggal yang sama, kunikmati jejak pertanyaanmu. Aku memang belum menjawab, tapi bukan berarti aku tak bisa menjawab. Apalagi, tak ingin menjawab. Sama sekali, bukan. Tetapi, bagaimana aku menjawab kala sorot matamu meneluhku hingga aku terbisu. Maafkanlah, aku terlambat memaafkan cinta yang tak bisa kusembunyikan.
Perhatian, kerelaan, kepedulian, dan pengorbananmu tak bisa kulupa. Nun jauh kau dari luar pula, hanya ingin datang untuk melihat keadaanku yang tak muda lagi. 41 tahun bisa jadi usia yang matang, tetapi sesungguhnya, tergantung.
***
***
Besambung
01.30
01.30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar