Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Ayahku bukanlah ayahku. Begitulah tiba-tiba, spontan kalimat yang muncul dari seorang lelaki kecil ketika kutanya. Ayahku bukan ayahku? Akukah? Aku jadi tergoda dengan kalimat bocah itu. Bocah ingusan yang hanya mengerti setiap hari adalah permainan gadget atau ipad. Sejak usia dua tahun, dia sudah begitu akrab. Bahkan ketika ibunya kesulitan menenangkan tangisannya, si ibu mengulurkan benda modern itu sebagai ganti hiburannya. Itu dulu, sebelum ibu meninggalkannya karena alasan ekonomi yang diperjuangkannya.
Bocah itu, di usianya kedelapan tahun, dia sudah mahir memainkan segala fitur gadget. Sampai-sampai sang ibu pun begitu bangga. Dia selalu diam, asyik, dan suntuk ketika menggunakannya. Tetapi itu, tidak ketika dia harus bermain dengan teman-temannya. Dia menjadi sangat pendiam. Bahkan, lambat dalam merespon pergaulan. Terlebih hubungannya dengan gurunya. Di usia belianya, kelas 2 SD, dia telah mengenal semua jenis permainan, tayangan kreatif dari youtube, bahkan sesekali tayangan erotis menghampirinya. Aku menangis. Mengumpulkan airmata yang mengalir dari mana-mana. Tetapi, itu tidak dari airmata bocah belia itu. Atau kakaknya, yang sudah punya kebiasaan meninggalkan sekolah, karena alasan tak betah di sekolah. “Sekolah tak menarik lagi,” katanya.
Aku mengenal betul anak itu. Ya, anak seorang TKW Hongkong yang baru saja pulang kampung untuk melepas rindu. Sebuah pertaruhan yang luar biasa. Menjadi seorang lelaki –meskipun sebenarnya dia bukan lelaki--. Ibu perkasa yang mempertaruhkan semua yang dimiliki untuk perubahan ekonomi awalnya. Tetapi, dia sama sekali tidak menyadari, jika itu memiliki dampak yang mengerikan bagi anak-anaknya. Dua anak yang ditinggalkan sering meracau kerinduan dalam keterputusaan. Sentuhan ibu tergantikan oleh gadget, kasih sayangnya diperankan oleh permainan modern dengan segala muslihatnya.
Sementara, kakaknya yang kelas dua Tsanawiyah berkali divisitasi ke rumah yang ada ada derita nenek usia 75 tahun yang sudah mulai renta. Tanpa bisa berkata ketika ditanya guru, hanya menjawab bahwa, “Si Marhan lagi sekolah.” Padahal, nenek tidak mengerti jika yang menanyakan itu adalah gurunya. Sang guru, Halim pun, sambil menggeleng, menarik nafas dalam, tak mampu berkata apa-apa. Dia berpikir, itulah risiko kehidupan mutakhir. Akrab dengan teknologi, jauh dan tak dimengerti di keluarga sendiri.
Nenek Kartun hanya mengerti ladang. Sepenuh waktu. Bahkan seharian penuh bisa jadi di ladang, yang ditumbuhi oleh empon-empon berikut ketela dan tumbuhan sederhana lainnya. Kedatangan guru Halim misalnya, menyadarkan bahwa begitu rapuhnya keluarga TKW. Sang ayah, cucu dari nenek Kartun, tak ada di rumah. Ketika guru Halim menanyakan di warung depan rumahnya, ia terkejut lagi, jika ia menemukan kabar miring perihal ayahnya. Ayahnya berkali menjalin cinta dengan beberapa perempuan desa ketika ditinggal isterinya mengadu nasib untuk anak dan suaminya.
Guru Halim kecut. Sorot matanya nanar. Tetapi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Sementara, guru Halim tak mengerti jika adik dari lelaki usia belasan tahun itu mengeluh bahwa, “Ayahku bukanlah ayahku.”
Aku jadi mengerti atau mulai mengerti bagaimana anak sekecil itu –baik sadar ataupun tak sadar—mengatakan ayahku bukanlah ayahku. Sungguh, pemandangan biasa di desa-desa, tetapi menjadi sangat luar biasa di mata agama. Beruk dirimba di susukan anak dipangku dilepaskan. Aku mengunting langit. Menyamar pemburu hutan. Menyisir pantai. Mendaki gunung. Untuk menemukan sari perjalanan hidup anak-anak terluka, terlupa, tak pernah ketemua jawabannya. Mungkin, seperti kalimat bocah itu, “Ayahku bukanlah ayahku.”
***
(bersambung)
00.55
***
(bersambung)
00.55
Tidak ada komentar:
Posting Komentar