Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Dari manakah munculnya kesadaran bagi seseorang ketika telah kehilangan akal sehat dalam hidupnya? Itulah kalimat yang menakutkan bagi Sadar, lelaki yang merindu telaga. Karena itu, ia sudah sepuluh tahun berkhusuk untuk menjaga telaga dari segala goda manusia. Telaga baginya, sumber mata air dan mata air hidup yang wajib diperjuangkan dengan segala kekuatan. Telaga kehidupan bagi keluarga, tentu berbeda lagi.
Dan itulah, ia memandang telaga sebagai metafora kehidupan yang mesti untuk dinikmati, dipelihara, dan dijaga kesuciannya.
Sadar adalah lelaki desa yang berbeda dari umumnya laki-laki. Jika kecenderungan lelaki desa berpenampilan nyentrik, sok melebih-lebihkan diri, maka tidaklah dengannya. Dia suka bermain di sendang desa, kemudian dia menyebutnya pula dengan telaga. Sesekali pula ia pergi ke belik tetangga desa, kemudian dia menyebutnya dengan telaga pula. Semua sumber air, kemudian Sadar membayangkannya sebagai telaga.
Sadar adalah lelaki desa yang berbeda dari umumnya laki-laki. Jika kecenderungan lelaki desa berpenampilan nyentrik, sok melebih-lebihkan diri, maka tidaklah dengannya. Dia suka bermain di sendang desa, kemudian dia menyebutnya pula dengan telaga. Sesekali pula ia pergi ke belik tetangga desa, kemudian dia menyebutnya dengan telaga pula. Semua sumber air, kemudian Sadar membayangkannya sebagai telaga.
Tetapi, tidak untuk kali ini. Sepulang dari ziarah makam, dia bermimpi banyak telaga kehidupan telah rusak. Uniknya, telaga itu ada di dalam keluarga. Dia kesulitan untuk mengabstraksikan. Metafora telaga dalam imajinasi Sadar adalah jalan hidup, sumber hidup, dan tempat kepuasan hidup. Sadar tahu tapi tidak tahu, Sadar mengerti tetapi tidak mengerti. Semua mengalir seperti derit air sungai yang menimpali batu-batu menjadi nada dan lagu. Tetapi, sungai dalam mimpinya telah kering. Batu-batu menguning kalau tidak memutih. Itu sekali lagi, mengusik imajinasi sehingga sering ia berhalusinasi untuk pergi begitu jauh.
Entah, kemana. Ia membayangkan terbang bersama burung putih, berputar-putar di langit, kemudian mengadukan semua yang ia impikan kepada langit. Tapi dia sadar tak punya sayap, tak mungkin menyentuh langit. Ia hanya memiliki airmata langit yang ingin ia jatuhkan ke bumi sehingga ketulusan langit bisa merasakannya. (*)
***
(bersambung)
00.01
***
(bersambung)
00.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar