Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Menjadi suami, ternyata tidak gampang. Paling tidak, itulah yang disadari Martadi selama 50 tahun menikah. Usia pernikahan emas. Martadi hanyalah lelaki sederhana, pegawai menengah, dan tak memiliki keberanian ekstra untuk bermain-main. Ia boleh dibilang pendiam. Yang ditahu kawan-kawannya, dia suka ke makam-makam, masjid tua yang bersejarah, dan silaturahmi hati dengan tawasul.
Martadi tahu, hidup sekarang tak gampang. Teknologi telah menjadi sahabat dan musuh sekaligus bagi kehidupan. Sebagai lelaki yang sudah berusia 70 tahun, dia begitu banyak makan asam garam. Tapi tidak untuk kali ini. Dia sulit menemukan pengalaman apa tang bisa dimaknai. Dia bisu. Ia hanya mengadukan ke langit, pohon-pohon, batu, laut, dan entah apalagi. Sekali waktu, ia suka menepi ke puncak gunung melepas mata untuk mencatat gerak rasa.
Menjadi lelaki yang hidup du zaman mutakhir, seperti mendaki di jalan sunyi. Jalan kebenaran yang sepi. Jalan spiritual yang lengang. Ia tahu. Anak-anak terperangkap dunia maya, remaja terpapar media sosial, dan pornografi telah menjadi hati. "Ke mana bersembunyi dari kepungan musuh teknologi dengan selusin belati yang siap mematikan?" Kalimat-kalimat itu diulang, ditanya, dan diusapi dengan air mata.
Sebagai seorang suami, dia tidak saja suami tetapi juga menjadi ibu. Sebagai suami dia tahu hati para isteri di muka bumi. Bagaimana ingin hatinya, kamuflase seorang isteri, kesukaan para isteri, dan mimpi-mimpi ilusi isteri era mutakhir. Di situlah ia, sering menangis. Memungut air mata di sepanjang jalan hidup dan kehidupan. Ibu sudah bukan menjadi ibu lagi. Ayah bukan menjadi ayah lagi. Suami sudah bukan suami lagi. Isteri sudah bukan seorang isteri lagi. Hidup mutakhir peran kebolak-balik, dunia terbalik, hati terbalik. Cinta pun terbolak-balik.
Bagaimana mungkin seorang suami bisa tersenyum melihat anak-anak mutakhir diasuh malam, dipeluk hedonisme, dipagut erotisme seksualitas, dan dinikahi oleh kemunafikan hidup. Suami adalah penanggung jawab abadi. Jalan hidup suami mestinya jalan sunyi, sepi, dan hati untuk mengembala generasi. Tapi di manakah itu? Malam mengirimkan airmata. Rembulan menyiksa dengan goda cahayanya. Gelap bertingkap di balik alpa dan lupa hidup yang semakin menganga.
***
***
(bersambung)
00.01
00.01
Tidak ada komentar:
Posting Komentar