Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Kamar bagiku adalah dialog ruang. Tempat partikel energi yang saling berdialog dan tarik-menarik. Tapi bagaimana dengan kamar kosong? Ruang kosong di mana ruang-ruang jiwa yang rumpang menjadi dialog sepi yang abadi? Menjelma permainan langit dengan seribu ornamen misterius. Mencintai ruang kosong dengan seribu luka adalah teluh cinta atas nama ketakdiran yang menakutkan.
Kamar bagiku adalah percakapan jiwa yang terlantun ke langit-langit, dinding, almari, tempat tidur, bantal, guling, sprei, serakan baju, celana, dan sejumlah buku yang menjadi kekasih simpanan abadiku. Kamar sering mengundang aku untuk bercakap tak terputus. Kamar! Mengapa harus ada derita dalam percakapan dan laku bahagia?
Kamar kosong? Begitulah kemudian aku menyepakatinya dengan sepi. Kamar adalah saksi kesepian sejati –yang hanya dimengerti oleh malaikat dan Tuhan—Sementara, aku adalah tersangka yang barangkali akan diadili –entah mengapa harus terjadi! Paling tidak, kamar itu telah mencatat dialog jiwa, nyawa, ruh, sukma, rasa, dan pikiran yang bertempur habis-habisan sepanjang waktu. Sekali waktu, kamar itu menjelma neraka dengan air mata yang kering tak kuasa lagi untuk mengalir. Begitu panasnya, menelan air mata tanpa jeda waktu.
Kamar kosong! Begitulah kemudian aku mengutuknya, meyumpahinya dengan gelisah yang tak bertepi waktu. Kesendirian adalah abadi. Kebersamaan hanyalah perjalanan waktu. Semu. Nyanyian sumbang dengan berbagai judul lagu adalah nada-nada fals abadi. Diputar terus-menerus tanpa akhir. Aku tersiksa dalam telanjang tubuh waktu. Keringat dan peluh sebatas ilusi seorang petani yang merindu tubuh. Tumbuh.
Kamar kosong! Begitulah kemudian aku mengutuknya, meyumpahinya dengan gelisah yang tak bertepi waktu. Kesendirian adalah abadi. Kebersamaan hanyalah perjalanan waktu. Semu. Nyanyian sumbang dengan berbagai judul lagu adalah nada-nada fals abadi. Diputar terus-menerus tanpa akhir. Aku tersiksa dalam telanjang tubuh waktu. Keringat dan peluh sebatas ilusi seorang petani yang merindu tubuh. Tumbuh.
Sesekali, tiba-tiba di kamar kosong itu datang tamu yang tak diundang. Entah dari mana, siapa, bagaimana, dan mengapa harus datang; sama sekali aku tak mengerti. Yang jelas, aroma harum tiba-tiba meruang, mengepung kesadaran menjadi kekhilafan. Setelah itu, pesta imajinasi terjadi, tercipta tanpa kontrak, tanpa permintaan dan pemberian. Semua mengalir dalam pagut aroma yang menghanyutkan. Senandung dan suara timang mengayunkan imaji tak tergantung tali. Tali kehidupan yang mengakar di langit.
Sebagaimana galibnya seorang lelaki normal, aku ingin membunuh waktu dengan apa saja untuk menaklukkan kegelisahan. Sementara, bidadari yang menghuni menjelma patung suci yang menembangkan lagu-lagu puja. Puji hati tanpa mengerti mengapa ruang-ruang itu telah menjadi perjamuan dan pembantaian yang tak bertepi. Mengutuki kamar kosong dengan selusin serigala piaraan adalah kemunafikan takdir. Aku pantang menghindar sebelum ada yang terkalahkan.
***
(bersambung)
01.50
***
(bersambung)
01.50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar