Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Dia adalah anak lelaki yang lepas dari gendhongan. Tak terasuh oleh sutera lembut tangan ibu. Dia diasuh malam, juga gadset. Melihatnya, ada trenyuh yang dalam. Hingga ke dasar. Bayangkanlah, usia SMP kelas dua dia sudah menggauli pacar-pacarnya berganti. Sebuah sorot luka seorang ayah yang terhina karena dia disanjung ibu dengan harta. Ibunya TKW Hongkong.
Menemukan lelaki itu, aku menggeleng tak terhitung kali. Apalagi, sedikit pun tak ada sesal. Bahkan, aura dan aroma kebanggaan tergambar jelas dari sorot mata: menantang yang mengingatkan. Apalagi ia, seorang pendekar baru yang membutuhkan musuh-musuh tanding. Lelaki itu mencari musuh dengan keangkuhan yang menggenaskan.
Bagaimana mungkin, pemuda 15 tahun telah menjalani hidup layaknya suami isteri atas nama cinta. Pacaran. Dia begitu gampangnya memutus dan mencari baru. Lelaki belia dengan motor istimewa untuk ukuran desa. Motor sport kisaran harga 40-an juta. Teringat lelaki itu, aku pusing. Apalagi, para gurunya sama sekali tak tahu apa yang dilakukannya.
Ketika kutunjukkan indikasi mencurigakan, salah seorang guru justru tersinggung. "Jangan gampang menuduh, Pak. Jangan suudzon." Timpalnya ketika aku bercerita tentang kemungkinan apa yang menimpa lelaki belia itu. Hidupnya diasuh malam. Teman kopi, rokok, gorengan, bir, sesekali putihan. Namanya beragama tetapi lakunya --tentu jauh dari impian agama--.
Malam adalah guru dan sahabatnya. Rambut ada sulak merah, meski tak banyak. Dia mengelana dari warung yang satu ke warung lainnya. Dari angkringan yang satu ke lainnya. Pada malam tertentu, akunya, dia ke warung remang ketika sang pacar tak bisa diajak keluar malam. Bahkan punya pacar lebih dari satu menjadi kebiasaannya.
Lelaki belia itu menantang matahari. Menjaring matahari. (*)
(bersambung)
22.58
22.58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar