Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Sudah jadi kebiasaanku duduk berlama di taman itu. Tidak saja kini, tetapi sudah setahun lalu, dua tahun, bahkan sepuluh tahun yang lalu. Sejak pertama kali, aku berjumpa dengan penjaga taman. Aneh. Penjaga taman itu menghiasi kerindangan dan keteduhannya dengan potongan-potongan puisi di sana sini. Ada bait yang ditempelkan di batang pohon merindang begini bunyinya: //Cinta itu rindang teduh/ akar-akarnya adalah serabut jiwa/ menembus tanah dan batu/ akar cinta sulit dilihat/ tapi kuat dirasa//. Sungguh penasaran aku siapakah penjaga taman itu.
Seluruh sudut taman terberai oleh puisi, potongan syair yang menyihir. Entah, hanya akukah yang terkulai jiwa olehnya, atau ada gadis lain terpanggang oleh keanehan kata-katanya. Ya, sudah sepuluh tahun aku bisa menemukan diksi bahagia dan hakikat cinta di taman itu.
Taman itu berukuran seluas lapangan bola. Dikelilingi pohon relatif besar, tidak berjajar lurus, berliku seperti lekuk puisi Sutardji: tragedi sihkawinka. Bukankah aku belum menikah? Ada pohon ringin besar di tengah, terlingkari oleh bundaran taman dan tempat duduk menghadap pangkal batang pohon yang rindang. Begitu kokoh pohon ringin itu. Seperti penjaga taman: kokoh dalam benturan angin kehidupan. Mungkin ya, mungkin tidak. Bukankah rumah jiwa susah dikenali dengan telanjang mata?
Aneka warna bunga kemudian berserakan rapi di taman itu. Aku sendiri hampir tak bisa mengenal nama-namanya. Bunga Tulip yang sulit saja ditemukan, di taman itu ada. Bunga yang sering menjadi simbol keterusterangan jiwa dan rasa. Aku sering memandanginya, sambil bermimpi si penjaga taman itu memetiknya dan mengukurkannya padaku. Di dekat bunga Tulip itu, ada potongan puisi yang tertulis dengan cat minyak warna kuning emas dengan dasaran warna gelap. Cokelat kehitaman. //Jika syairku dapat menghiburmu/ masuklah ke rumah jiwaku/ ada kamar-kamar kosong, ruang-ruang kosong/ barangkali kita bisa mengeja kesepian bersama// tapi di manakah itu//
Ya, sudah menjadi kebiasaanku duduk mewaktu di taman itu. Aku suka terpagut hanyut dalam suasana puitik, taman puitik, dan aneka bunga yang puitik pula. Aku membayangkan jadi salah satu bunga di taman itu. Aku ingin menggoda si penjaga taman dengan keindahanku, sampai ia tak tahan, kemudian menulis puisi impresif untukku.
Aneh, taman itu kutemukan begitu saja. Setiap sepi itu tiba.
***
(bersambung)
Aneh, taman itu kutemukan begitu saja. Setiap sepi itu tiba.
***
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar