Cerpen: S. Tedjo Kusumo
"Mbah, ceritakan kepadaku. Siapakah yang paling sering datang ke sini?" Tanya seorang perempuan setengah umur kepada seorang paranormal, 60 km dari kotaku. Dia katakan itu dengan gemetar. Suaminya telah berkali selingkuh, dan kali ini keadaannya --sungguh dramatik. Diancam bunuh!
Sorot mata beraroma derita, luka, sesal, caci, maki, dan --entah emosi apalagi-- begitu padat di kepalanya. Perempuan genius sebenarnya, cerdas, dan tahan banting. "Tapi, bagaimanapun, sekuat apapun aku..." Akunya kepadaku dengan terputus.
"Ada apa, Kartika?"
Perempuan itu terisak sangat dalam. Aku seakan bisa mengenali kedalamannya. Perempuan dengan tiga tanda cinta di rahimnya harus mempertanyakan ulang kebersamaannya selama ini. Dia tak mau sebenarnya, meragukan suami, apalagi berprasangka buruk kepadanya. Tiba-tiba dia jatuhkan tubuhnya di pangkuanku.
"Ada apa, Kartika?"
Perempuan itu terisak sangat dalam. Aku seakan bisa mengenali kedalamannya. Perempuan dengan tiga tanda cinta di rahimnya harus mempertanyakan ulang kebersamaannya selama ini. Dia tak mau sebenarnya, meragukan suami, apalagi berprasangka buruk kepadanya. Tiba-tiba dia jatuhkan tubuhnya di pangkuanku.
Ada sesuatu yang menekan paha kiriku, aku tak bergerak. Tanganku sedikit gemetar. Sementara, lelaki yang dipanggilnya Mbah memandangku tajam. Lekat.
Aku sedikit terkejut. Tak pernah bayangkan, perempuan yang kukenal kuat itu terkulai lemah di pangkuanku. Ya, perempuan yang menjadi isteri sahabatku. Rainaldi.
Aku sedikit terkejut. Tak pernah bayangkan, perempuan yang kukenal kuat itu terkulai lemah di pangkuanku. Ya, perempuan yang menjadi isteri sahabatku. Rainaldi.
Kedatanganku ke paranormal kali ini pun seizin suaminya, Rainaldi. Malam itu, desa Tegalrandu tersaput kuning emas rembulan. Setengah redup. Bahkan usai tengah malam, terjadi gerhana purnama dengan durasi tetpanjang dalam sejarah. Rembulan dengan tetang cahayanya jadi tak berarti. Seperti perempuan itu, seakan sedang mengalami gerhana.
"Percayakan kepadaku, Bu Ika. Atas izin Gusti, semoga suami berhenti. Tak mengulangi lagi." papar Mbah Sahid tiba-tiba. "Pernikahan itu seperti memasuki lorong gua yang panjang Bu. Paling tidak, kita harus bawa senter. Jika mungkin petromak. Tapi ingat, aroma pengap dan lembab adalah hal yang biasa. Basah oleh lembab hidup rasanya sebuah pengalaman yang mendebarkan. Mengesankan. Juga menjengkelkan. Yang penting kita tak salah lorong sehingga kehabisan oksigen.
***
(bersambung)
***
(bersambung)
11.03
Tidak ada komentar:
Posting Komentar