Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Malang nian dosenku. Seumur hidupnya ia melajang. Perjaka hingga di ujung usia. Ia ingin buktikan pada kekasihnya, bahwa itulah persembahan terindah: meninggal dengan memeluk suci cinta. Biarkan perempuan yang mengkhianati --yang juga dosen itu-- membaca sendiri teks gaib dalam sejarah langit yang hanya bisa terbaca bersama, nanti. Dosen luka itu meninggal dengan tersenyum. Luka yang indah, bahagia atas luka.
***
***
Aku temukan dosenku, terluka. Parah. Luka cinta. Seperti remaja, dosen itu putus hati. Tak ingin menikah. Gadis dosen yang ditinggalkan ke luar negeri, dititipkan ke sahabatnya, ternyata menikah dengan dosen yang ditipinya. Mendung menggantung sepulang ia dari Amerika. Mengeca dengan air mata jiwa.
Dia hanya percaya rokok. Mengajar 1 jam pelajaran, lebih dari 5 batang rokok kretek yang harus dibakar. Selalu menggoda. Liuk asapnya, katanya, sebuah tarian klasik yang bisa tenteramkan sukma. Meski tak lama. Ia tahu, ia sadar. Bahwa itu, sungguh sementara. Bahagia dosenku hanya pada sebatang rokok. Dari sorot matanya, kutemukan taman-taman kering, rumah kosong, dan halaman rumah yang kumuh.
Aku pernah datang di rumahnya, perumahan dosen maksudnya, kepalaku tiba-tiba nyeri. Aku memasuki rumah besar di pojokan jalan kota. Di pojok pertigaan. Ada bunga-bunga yang mengering, rumah tak terawat, dan ada kesepian menalu-nalu di taman depan rumah dosenku. Sebuah potret ketulusan cinta yang teraniaya oleh bahagia sahabatnya. Ya, sahabat yang kejam merebut cinta kekasihnya. Di rumah itu, begitu jelas lukisan duka. Terlebih saat kepergiannya yang indah. Langit tak lagi mendung, embun tak lagi menggantung di daun-daun. Hangat matahari mengelus bumi dengan lembutnya. Bibirku kelu terpagut pula oleh masa lalu. Terluka cinta memang melahirkan seribu mata luka. Menganga.
***
...
bersambung
***
...
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar