Minggu, 17 Maret 2019

Menulis dengan Hati : Itulah (Itukah) Pentingnya! (?)

Sutejo

“Tugas penulis adalah mengambil tinta hati, menemukan pulpen jiwa, dan menggoreskannya penuh rasa” (Sutejo)
***

Aforisme itu, jujur –terinspirasi usai membaca buku Sirikit Syah—berjudul “Cancer and Me” (Konzum Book, 2019). Buku ini, seperti pendora kecil, yang bilik pintunya membukakan makna besar: “rasa jiwa” dan “perjalanan rasa” Sirikit berkenalan dengan penyakit di lintasan karier jurnalistiknya, baik di tingkat nasional maupun internasional. Aku membaca tulisan demi tulisan, menemukan karakter perempuan yang kokoh, tangguh, mandiri, tegas, pantang menyerah, dan bertanggung jawab.

Di balik pribadinya yang kalem fisiknya, tetapi “keras dan kuat” pendiriannya. 2012 adalah waktu pertama aku bertemu secara fisik di ruang kelas, saat aku presentasi proposal disertasi. Jauh, sebelumnya ketika kuliah S1 aku telah menikmati ragam karyanya.

Awal mula berkenalan dengan kanker, bergulat dengannya, mengenal dan mengakrabinya, sebelumnya “melawan” dan mengatasinya dengan –sadar ataupun tak—melahirkan pemahaman menarik: derita hanyalah cara Tuhan menguatkan otot jiwa umat-Nya. Secara umum kita sering salah paham tetapi itu tidaklah bagi Sirikit Syah. Lintasan waktu, tempat, dan situasi dramatik –dalam buku kecil nan menarik itu—seperti pernik-pernik cahaya yang berkilau menyisakan tanya. Imajinasi pembaca bergerak, pengalaman begitu banyak, dan niat baik begitu kuat mengantarkannya menjadi “perempuan tangguh” –dan itu ternyata tidak seperti tokoh perempuan yang dia ceritakan dalam cerpen-cerpennya: sebut misalnya, Perempuan Suamiku. Perempuan di silang arah, di silang ketaktahuan, terarus dalam dilema cinta keluarga. Suami menjadi “penggoda” yang harus diperjuangkan karena “terlena” oleh cubitan cinta perempuan lain –yang lebih komunikatif dan sederhana--.

“Sirikit Syah adalah Sirikit Syah, diapa-apakan pun tetap Sirikit Syah.” Tulis Budi Darma di pengantar buku Sirikit lainnya, “Akhirnya Jadi Doktor” (Penerbit Delima, 2019). “Diberi anugerah kebahagiaan, diterjang kejengkelan, digantung masalah yang tidak terselesaikan, karena namanya Sirikit Syah ya tetap Sirikit Syah, tanpa berubah. Nama dan kepribadian menyatu, dan apa pun yang menghalangi di depannya, siap digilas oleh nama dan kepribadian yang kokoh (hal. iii). Begitulah, ia. Sirikit!

Lama, saya mengagumi perempuan ini. Jauh ketika aku masih duduk di kuliah S1 di IKIP Malang hingga awal-awal menjadi sarjana (awal 1990-an) aku sering menemukan tulisannya di media massa. Sementara, aku adalah lelaki miskin yang berjuang untuk melepaskan diri dari pagut hina-derita dan jerat keminderan yang akut. Tulisan-tulisan “kerasnya” mencerahkan, “teror-terornya” seperti membaca cerpen-cerpen Putu Wijaya. Potongan realitas sosial dianalisis kritis, disikapi tegas, dan dihadapi dengan pisau pikiran yang tajam.
***

Maka, ketika membaca awal buku “Akhirnya Menjadi Doktor” karya Sirikit misalnya, mengingatkan derita yang sama saat berjuang untuk menyelesaikan studi yang sama pula. Tetapi godaan kegiatan, kurang konsistennya penulis, dan uniknya para promotor menjadi panorama menggoda yang membutuhkan kedewasaan diri. Sebagai mahasiswa rasanya serba salah: banyak bicara salah, diam apalagi, kelihatan bodohnya. Ganti judul, ganti teori; itu biasa. Tujuh tahun bukan waktu yang pendek untuk menyelesaikan sejumlah SKS yang jauh di bawah SKS S1. Tetapi itulah, kuliah S3, dan itulah Indonesia.

Saat itulah, di beberapa bulan sebelum menyelesaikan disertasi –dengan keluh kesulitannya--, datanglah Sirikit di rumah buku saya. Tugas saya: menyuntikkan motivasi! “Disertasi yang baik adalah yang selesai ditulis, kesulitan harus dihadapi.” Kataku kala itu, kala ia mempertanggungjawabkan proses kreatif dan sikap keperempuanannya atas cerpen-cerpennya di kampus desaku.

Setelah itu, kembali dia datang ke rumah itu, bersama mbak Esthi Susanti Hudiono Anam –koleganya sebagai aktivis trafficking anak dan perempuan--. Eh, juga suaminya, Cak Anam.

Kala itu, mbak Esthi berbisik, “Mbak Ikit butuh motivasi, ia sedang bergulat dengan deteksi kankernya yang tumbuh kembali. Padahal, sebelumnya sudah divonis sembuh beberapa tahun lalu.” Pesan Mbak Esthi sambil menarik tangan saya ke sela-sela rak almari buku yang melintang berjumlah empat. Setengah berbisik.

Sekali lagi, Sirikit Syah memang Sirikit Syah. Dia menggenggam idealisme purna akan sesuatu, apalagi jika diyakini benar dia akan terus “berkomentar”. Salah satu pesan saya kala di Ponorogo, “Mbak tahan dulu gak usah komentar politik. Bikin stress.” Kataku. Untuk beberapa waktu, dia tahan tidak menuliskannya. Tetapi, selang beberapa minggu pulang dari Ponorogo, komentar kritis dengan sudut pandang tertentu kembali meng-api. Beberapa kawan kolega fb-nya, bahkan mencurigai berafiliasi ke salah satu paslon. Sesungguhnya, --sepengetahuan saya tidaklah begitu--. Sikap jurnalisnya yang mendorong ia menuliskannya itu. Tersebab, bagaimana jurnalisme, tampaknya, telah kehilangan fungsi kontrol di era Orde –yang paling unik—ini.
***

Buku Cancer and Me berbicara tentang panorama diri (pengalaman tepatnya), bersebar ke dalam 22 tulisan menarik. Dua diantara adalah prolog dan epilog. Dua tulisan –prolog dan epilog—itu meneguhkan bagaimana ia berkenalan dengan kanker, tak disadari, berjuang, dan akhirnya berjuang kembali untuk menghadapinya. Tentu, bukan masalah ringan, buktinya menjadi titik pangkal dan akhir dari buku. Seakan ia mau menegaskan, titik mula itu adalah api kehidupannya. Semangat!

Perjalanan dan pengalaman hidup yang panjang –mendapatkan beasiswa di delapan perguruan tinggi ternama, melanglang ke empat benua dari 20 negara—adalah kebanggaan dalam kesyukuran. Dia berbagi dalam retorika yang datar di aula Saraswati Ponorogo, ternyata pengalaman di California dan Australia kemudian menjadi bagian di buku Cancer and Me. Bulan penulisannya tertera: Januari 2019.

Di sela aktivitasnya yang nyaris tidak berkurang, ia berjuang melawan penyakit –yang tentu sama sekali tidak diinginkannya—tetapi ia harus mengakrabi. Sebuah inspirasi yang menyadarkan agar kita lebih waspada terhadap kesehatan diri. Seakan ia mau bercerita bahwa manajemen pikiran –hindari stress—adalah bagian penting untuk menghadapi sakit. Tulisan tampaknya adalah media katarsis, pelepasan untuk memerdekakan. Pendek kata ekspresi katarsis itu bisa puisi, tulisan harian, dan cerpen. Ini mengingatkan saya –yang menulis buku Menulis untuk Terapi—sudah tiga tahun belum selesai. Selalu ada yang menarik, energi di balik tulisan. Kompleks dan penuh misteri jiwa. Inilah fungsi terapi sebuah tulisan diri.

Menulis karena itu, dapat dimanfaatkan untuk mengubah diri. Seorang penulis –jika tulisannya tidak berdampak pada diri sendiri—tentu akan menjadi sesuatu yang aneh dan tidak masuk akal. Minimal menjadi kekuatan dan pelepasan segala penat jiwa, pikiran, rasa oleh dentuman pengalaman diri dan sosialitas yang semakin ironi dan paradoks.
***

Langkah terakhir Sirikit menerbitkan sendiri buku-bukunya adalah sebuah upaya perlawanan lain dari kapitalisasi yang menarik untuk ditiru. Siapa yang tak kenal ia, mengapa harus menggunakan sarana “capital”, jika tanpa pagut kapitalisasi kita dapat menunjukkannya. Bravo Mbak Sirikit, doa indah untuk pulih dari derita sakit adalah kata sunyi dalam doa-doa sepi itu. Tetap bergerak.

Oh ya, terima kasih atas kiriman 4 buku barunya: (i) International Journalism & Its Problems of Ethics: Collection of Essays on Mass Media and Journalisme (Airlangga University Press, 2018), (ii) Kebebasan dan Kemerotan Etika: Perbincangan tentang Islam, Bangsa, dan Etika Media (PWI Pusat, 2019), (iii) Akhirnya Menjadi Doktor: An Academic Memoir (Penerbit Delima, 2019), dan (iv) Cancer and Me (Kanzum Books, 2019). Semakin memesona Mbak, bukankah karya itu melukis pesona?

Sebuah wasilah kehidupan yang memijarkan peradaban. Setiap orang yang waras, pasti merindukan. Rindu kebaikan perabadan dan keadaban kehidupan, itulah hakikat terdalam dari cita-cinta seorang penulis. Itulah, kata saya salah satu visimu, Sirikit Syah!

Ponorogo, 26/2/2019
Pukul 05.00-06.14 : catatan kopi segar pagi inspirasi dari Sirikit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo SMA 1 Badegan Ponorogo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) STKIP PGRI Ponorogo Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo