Minggu, 17 Maret 2019

Penulis Penjual Buku?

Refleksi Pendampingan Komunitas Baca-Tulis di Mojokerto
Sutejo

“Tugas penulis memang menulis yang berkualitas, tetapi jika tidak mengerti medan pasar, untuk apa kita menulis. Tersebab, menulis bukan sekadar idealisme tetapi juga bernilai ekonomi.” (Sutejo)
***

Sebelumnya, mohon maaf kepada para guru kehidupan yang sudah lebih dulu menulis. Ini hanya untuk menggairahkan kehidupan kata.

Ingat saya, sudah empat kali (yang bertema komunitas) diundang Balai Bahasa Jatim untuk mendampingi workshop pengembangan komunitas di Jatim: (i) Pacitan, (ii) Trenggalek, (iii) Tuban, dan (iv) Mojokerto.

Apa yang menarik? Keempat kota ini memiliki kecenderungan respon yang berbeda. Mengapa? Saya tidak tahu, tetapi dapat diduga, bahwa mereka ada yang bukan sesungguhnya komunitas. Artinya, ada beberapa yang diundang, patut diduga sekadar formalitas mengatasnamakan dirinya sebagai komunitas. Karakter komunitas sesungguhnya adalah militansi dalam berkumpul dan berkarya, itulah tesis saya yang ada di kepala.

Kali ini, saya ingin berbagi respon atas salah satu pertanyaan dari peserta di Mojokerto (19/2) begini: Mengapa, kata Bapak, penulis harus bisa menjual bukunya? Bukankah tugas penulis adalah menulis. Sementara, yang menjual sudah ada sendiri. Saya pernah mengikuti pelatihan motivasi, tambah si penanya, itu bukan urusan kita (penulis). “Bagaimana tanggapan, Bapak?”
***

Jawaban saya kira-kira komplitnya seperti ini. Sebab, kala di Mojokerto, jujur saya tidak seeksploratif ini, karena keterbatasan waktu; tersebab ada belasan pertanyaan yang harus diselesaikan dalam “tempo sesingkat-singkatnya” (1 jam) karena pemateri selanjutnya sudah menunggu sejak dua jam sebelumnya. Hehe. Sekaligus, sudah menjadi kebiasaan: merenungkan ulang pertanyaan dan jawaban karena ketakutan atas kesalahan dalam “berkata”, dan –maaf—banyak tulisan saya yang bermuara dari pengalaman pendampingan macam begini.

Pertama, tentang tugas penulis. Betul, sangat betul, bahwa tugas penulis adalah menulis sesuai dengan “namanya”. Jika dilihat dari diksinya, maka bukan “penjual”. Jika penjual, pasti mereka adalah “pedagang”. Tetapi jujur: maukah Anda menderita karena karya Anda tidak laku? Siapa pun kita, dipastikan tidak menginginkannya. Apalagi saya.

Pengalaman saya, awal merintis penerbitan buku mandiri begitu banyak omongan nyinyir menghampiri saya begini: (i) Opo Tedjo ki, nulis buku dhewe didol dewe, (ii) buku saya dinilai tidak melalui proses evaluasi keilmuan, (iii) kalau memang buku saya layak, mestinya dibedah di mana-mana, dan (iv) mengapa tidak menggunakan penerbit mayor (besar) sehingga kualitas buku dapat dipertanggungjawabkan. (Saya anggap, orang-orang ini sebagai “buta literasi”, bahasa ekstrimnya “buta huruf”). Selesai.

Keempat nyinyiran itu puluhan kali mampir di kepala saya. Saya tak memedulikannya. Sebab, ini sebuah pilihan. Pada tahun 1998 saya punya pengalaman, buku saya menjadi pemenang di tingkat nasional kemudian dibeli “proyek nasional”, tetapi royalty saat itu hanya terima dua kali. Ingat saya sebesar Rp 3,9 juta (1999) dan 1,9 juta (2000). Padahal, buku itu untuk sebuah provinsi saja, terketahui jumlah eksemplarnya 17.000 (berdasarkan “surat laporan” penerbit). Saat itu, sungguh saya sangat bodoh. Pertama kali mengenal dunia buku. Jadi sangat bangga buku dibeli oleh penerbit. Buku yang kedua yang dibeli penerbit lagi (1999), lebih mengerikan. Tak jelas, sungguh tak jelas kabar beritanya.

Keduanya adalah buku bacaan untuk anak SMA, kategori buku fiksi, yang mestinya menjadi “hidangan renyah” –meskipun tidak semenggoda buku popular lainnya. Judulnya: (i) Monolog Pengakuan Anak Pemburu, dan (ii) Warok Kucing (Kumpulan Cerpen).

Di situlah, bermula: saya punya pikiran, “Wow, kalau begitu penulis buku wajib bisa menjual buku.” Ini disebabkan, kala tahun 2007, mengisi seminar di beberapa kota, mulai ada pertanyaan, “Karya buku-buku Bapak apa saja, apa yang bisa saya koleksi?” Otak saya seperti tertampar. Pertama, ketika dibeli penerbit besar kita tidak bebas, terkebiri, dan “terbodohi”. Kedua, lebih parah lagi, jika tidak punya bukti memiliki karya buku. Inilah awalnya, mengapa saya harus menulis buku, menerbitkan mandiri, dan mampu menjualnya sendiri. Semua ada sejarahnya, karena saya adalah orang yang dibesarkan oleh pengalaman hidup, pemaknaan hidup, dan tentu wajib mampu mensintesakan problema kehidupannya. Termasuk tentu, berkaitan dengan produk tulisan (buku utamanya).

Selama tujuh tahun saya benci menerbitkan buku! (2000-2007). Setelah itu, selama 3 tahun (2008-2011) saya menerbitkan buku lebih dari 15 buah. Rata-rata ketebalan di atas 200-300 halaman. Yang saya bidik adalah mahasiswa dan para guru. Di sinilah, buku itu relatif laku. Rata-rata tercetak di atas 3.000 eksemplar dengan penjualan mandiri melalui jejaring. Bahkan ada buku yang paling saya tidak suka sudah tercetak 15.000 eksemplar: Bahasa Indonesia: Mahir Berbahasa untuk Profesi (maaf, sudah cetak ulang 8 kali sejak 2013).

Maka jawaban pertama, adalah betul tugas penulis adalah menulis! 100 persen itu betul. Tetapi, ingat masih ada tetugas lain yang harus diselesaikan: (i) menyesuaikan dengan “pesanan”; (ii) bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya (kata-dan-perbuatan profesi kita); dan (iii) mampu menjualnya. Maka tugas penulis, bagi saya, sungguh tak cukup hanya menulis!

Menyesuaikan dengan pesanan misalnya (tak usah tersinggung wahai para penulis) adalah filosofi dari kemampuan kita menghargai orang lain (pembaca). Misalnya, menulis untuk kepentingan penerbit –yang tentu layak jual—berarti kita mengabdi pada penerbit dan aktualitas, dan pasar tulisan.

Untuk kepentingan lomba misalnya, wah, ini wajib melewati tahap rumit. Misalnya, kita penting mengenali siapa juri di balik lomba, mengenal gaya, dan menyonteknya sesuai dengan “pesanan batin” juri. Itu pun, belum cukup: wajib menyesuaikan pesanan tema. Wah, merendahkan profesi menulis? Sungguh, tidak. Kita professional kok!

Untuk kepentingan media massa, maka kita wajib mencocokkan dengan gaya media yang dituju. Gaya selingkung dan visi-misi media berikut karakternya, masing-masing berbeda. Saya sempat kecewa diawal memasuki menulis di dunia media massa karena mengusung idealisme pribadi. Akibatnya, kirim ke Kompas, harus bernasib sial. Baru tulisan yang ke-24 yang berhasil dimuat. Judulnya: Sinema Wanita dalam Sastra Indonesia (tahun 1995), edisi lupa.

Secara tidak langsung, fungsi “menjual tulisan” sesungguhnya sudah ada dalam filosofi pikiran kita. Kita tidak usah sombong dengan idealisme, buta kejujuran, takut dianggap melacur dalam tulisan. (hehe, kok kelihatan serius). Lupakan saja. Kita fokus: bagaimana belajar berarti bagi orang lain dalam tulisan. Maaf, inilah yang saya lakukan selama kurang lebih 30 tahun!

So, tugas penulis itu, bagi saya, tak cukup hanya menulis. Tak setuju, monggo dipersilakan saja. Tersebab, ini membawa konsekuensi sangat panjang dalam dunia kepenulisan kita di masa depan.
***

Kedua, jika kita hanya menulis, maka berarti kita hanya sebagai “karyawan kata-kata”; padahal, mestinya kita bisa menjadi “juragan kata”. Masa, kita terus akan menjadi karyawan, kapan menjadi bosnya? Ini logika indah, mengapa salah satu filosofi pengembangan komunitas yang saya bawakan kemarin di Mojokerto adalah pentingnya komunitas berjiwa entrepreneurship. Simple: agar kita menjadi Bos, minimal, atas karya kita sendiri, jika memungkinkan menjadi Bos bagi kolega dan teman-teman sejawat dan penggiat kata-kata. (Yang penting kita tidak memanfaatkan kelemahan orang lain). Jangan cengeng, karya kita tak laku. Kita saja yang tak kreatif menjualnya. Banyak tip yang bisa dilakukan. Jika malu, suruh orang lain untuk menjualkannya dengan berbagai cara. Katakanlah, semacam EO buku Anda, buatkan kegiatan (even) berbasis buku kita, dengan misalnya kegiatan berbasis “barter buku”. Ini sudah jamak, dan banyak yang melakukannya. Pelatihan menulis gratis, dijamin bisa! (syarat: membeli 100 eks buku).

Jika masih malu, jual saja melalui online, bisa sendiri atau orang lain. Tak ada masalah. Banyak pemilik depot merangkap juru masak, atau ahli masaknya. Tetapi, untuk pelayannya tidaklah mereka sendiri. Pilih mana? Monggo direnungkan sebelum dijawab dengan kata-kata. Pikiran kita butuh jujur dan terbuka. Maka jika ini dipikirkan, bayangkan kepala kita seperti cangkir yang kosong, masukkan dulu, lihat, baru dinikmati. Jika cangkir kita penuh, maka tulisan ini akan sia-sia saja adanya.

So, bagi saya: tugas penting penulis adalah mampu menjual karya-karyanya! Pelukis menjual lukisannya, biasa.
***

Ketiga, ini lebih ngawur saya. Semua penulis wajib bisa melatih menulis secara praktis. Langsung, bisa dipratikkan kemudahannya. Penulis tidak saja seorang rhapsodist (kata Budi Darma, bergagasan cemerlang dan bernas kata), tetapi bagaimana dia wajib menjadi pelatih. Seorang perenang, bisa melatihkan renang secara langsung. Guru lukis bisa melahirkan pelukis. Guru tari bisa melahirkan anak penari. Tetapi guru bahasa Indonesia, di mana letaknya? Mari berenung. Mestinya, guru bahasa Indonesia bisa melahirkan banyak penulis, minimal untuk kebutuhan hidupnya, untuk medan ekspresi, untuk katarsis jiwa, untuk mengembangkan idealismenya.
***

Maka, untuk pengembangan komunitas, sekali lagi monggo jujur kita bertanya: untuk apakah kita membangun komunitas. Untuk wah-wahan, untuk hobi, untuk sekadar berkumpul, atau untuk mentasbihkan sendiri kita sebagai “raja kata”. Wow, akan menjadi lucu, ironis, bahkan paradoks jika kita gagal menggenggam filosofi komunitas yang benar. Oke, semua orang memiliki “filosofi hidup matinya komunitas” tetapi jika kita jujur maka “bagaimanakah menghidupkan dan menumbuhkan komunitas”? Ini penting. Ini bukan pertanyaan ringan, butuh kreativitas dan inovitas yang joss. Butuh mental, butuh pengorbanan, dan tentu –dibutuhkan beragam hinaan—yang menguatkan otot jiwa-pikiran sehingga berdaya tarung tinggi. Berdaya tumbuh dahsyat! Pinjamlah logika pir, ketika ditekan ia akan melahirkan lompatan yang sepadan dengan tekan yang diterimanya. Mental-otot penulis mestinya melampui benda mati bernama pir.

Memangnya, komunitas untuk medan pertarungan? Bukan, ibaratnya beraktivitas hidup selalu berhimpitan antara bertarung atau bersahabat, kompetisi atau kooperasi. Jika logika berkomunitas benar, maka dipastikan akan saling bisa menghidupkan. Mendayakreasikan bagi kehidupan yang lebih luas! Kita saling berlomba untuk menebarkan kebaikan dalam kata, bukan simbol-simbol yang dipuja-mitoskan.
***

Terakhir ini, barangkali catatan ngawur selanjutnya. Tugas penulis adalah jujur, konsekuen, dan bertanggung jawab atas apa yang dituliskannya. Karena tulisan itu akan menuntut kita, menjadi hakim kita, dan memang, di akherat kita akan dimintai tanggung jawab atas karya-karya kita. (hehe, seperti khotbah saja ini).

Artinya, penulis itu bukan sekadar bisa menulis. Tetapi seperangkat mental, wajib lekat dalam apa yang dituliskannya. Jika tidak, maka tulisan akan menjadi pisau yang sangat berbahaya bagi kehidupan. Sebut misalnya, hoaks. Ini adalah produks mentalitas yang nihil di balik seorang penulis. Tulisan, bisa jadi menjadi pisau tajam yang digunakan untuk membunuh seseorang. Kita bisa mencemarkan nama baik, dan jika di medsos, kita bisa berkepanjangan. Berurusan dengan hukum dan lain sebagainya.

Di sinilah, saya ingin menyebutnya bahwa penulis itu –bagaimanapun—menuntut moralitas super. Makanya, dulu para penulis disebut dengan empu. Pujangga. Mereka melalui proses kejiwaan yang dahsyat sebelum melahirkan kata. Kita di era digital, bisa mentasbiskan apa saja tentang diri, orang lain, dan –termasuk komunitas. Sayang, moralitas tulisan sering dilupakan, diabaikan, atau bahkan dinomorsekiankan.

Pesan menarik sebagai akhir dari refleksi ngawur ini adalah: menjadi penulis tidak gampang, membangun komunitas bertanggung jawab, tentu juga tidak gampang. Sendiri saja susah, apalagi berjamaah tentu lebih susah. Tetapi, sebenarnya jika mau berpijak pada moralitas yang sama: dunia kata adalah surga yang indah karena kata adalah wasilah diri untuk jariyah yang indah di akherat.

Salam perubahan, mindset baru untuk perubahan. Tugas penulis yang paling asasi bagi saya: wajib mampu mengubah mindset, perilaku, dan kehidupan diri untuk lebih baik dari sebelumnya! Baru, mengubah orang lain.

Bravo penulis, bravo komunitas!
Ponorogo, 20/2/2019
http://sastra-indonesia.com/2019/02/penulis-penjual-buku/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo SMA 1 Badegan Ponorogo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) STKIP PGRI Ponorogo Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo