Judul buku: Identitas Politik Umat Islam
Pengarang: Kuntowijoyo
Penerbit: Mizan, Bandung, 1997
Tebal: xxvii+253 halaman
Peresensi: Sutejo
Merdeka, 2 Nop 1997
DALAM buku Dakwah & Politik Dai Berjuta Umat (1997),
Zainudin MZ mensinyalir tentang demokrasi kita yang bagai ‘’bunga dalam
jambangan’’. Karena itu, keberadaanya dipertahankan, dirawat, dan
disiram. Tapi dijaga jangan sampai tumbuh terlalu besar. Akarnya tak
boleh menghujat dalam (hal. 2003).
Bidikan kritis Zainudin demikian, tampaknya, banyak dirasakan oleh
banyak pengamat dan praktisi politik. Tak terkecuali Kuntowijoyo.
Kehadiran buku Identitas Identitas Poitik Umat Islam dari
tangan arifnya adalah suplemen khusus buat pendamba dan praktisi
demokrasi. Karena itu, dalam salah satu bagiannya yang menarik
-Kaidah-kaidah Demokrasi- (hal.9-104). Kuntowijoyo mengungkapkan adanya
parameter sebuah demokrasi: saling mengenal (ta’arruf), musyawarah (syura), kerja sama (ta’awun), menguntungkan umat (maslahah), adil (‘adil), dan adanya perubahan (taghsyir).
Ta’aruf dalam persepsi Kuntowijoyo mengamanatkan pentingnya
komunikasi dialogis. Tidak adanya dominasi satu kelompok atas kelompok
yang lain. Semua hal dilaksanakan atas kepentingan pihak terkait, tidak
monologis oleh kelompok mayoritas yang dominan. Bahkan, lebih dari itu, ta’aruf bisa menjadi cermin dari asumsi negara hukum.
Jika meneropong fenomena politik mutakhir, hal demikian boleh jadi
semacam antonimnya. Tak heran jika tiga tahun yang lalu Adam Schwarz
memandang picik tentang ketidakpastian hukum di tanah air. Sampai-sampai
dia bilang, tujuan hukum adalah untuk kepentingan pemerintah. Mengapa?
Karena kuatnya dominasi kelompok mayoritas yang punya otoritas di satu
sisi, sedangkan di sisi lain menuntut pihak lain wajib punya loyalitas.
Kondisi demikian, menurut Kuntowijoyo, ta’aruf tidak mungkin terjadi.
Tradisi musyawarah (syura) di Indonesia masih terlalu muda.
Sedang demokrasi sendiri yang dikenal di tanah air kita adalah produk
dunia modern (hal. 97). Demokrasi pada dunia (negara) modern -menurut
Max Weber- menuntut adanya sesuau yang legal-rasional.
Persoalannya, selama ini musyawarah mufakat kita ternyata sebuah
realita yang semu, sehingga tak mengherankan kalau Dr. Anwar Harjono
dalam buku Perjalanan Politik Bangsa (1997) mensinyalir bahwa
keberhasilan musyawarah-mufakat yang terjadi selama ini karena wibawa
dan pengaruh Presiden Soeharto, bukan pada proses musyawarah-mufakat itu
sendiri! Dilemanya, tentu akan menimbulkan persoalan pascasuksesi
nantinya.
Sedangkan kerja sama (ta’awun) dalam pandangan Kuntowijoyo
harus bermuara pada dua kepentingan: kepentingan manusia dan kepentingan
Tuhan. Demokrasi politik arifnya tiadanya hambatan dari kekuasaan.
Karena itu, demokrasi yang kita kehendaki adalah demokrasi yang berarti
‘’merdeka untuk’’ bukan dalam persepsi negatif yang berarti ‘’merdeka
dari’’.
Dalam wacana lebih luas, ta’awun ini menghendaki adanya demokrasi sosial dan ekonomi: tidak adanya dualisme ekonomi, monopoli, oligopoli, nepotisme, dan ersattz capitalism!
Ketidakmaslahan dalam demokrasi sering terjadi karena dalam praktek demokrasi tidak terjadi apa yang disebut dengan politik amar ma’ruf nahi munkar.
Prakteknya, masih dijumpai masyarakat yang kuat ‘’membeli’’ demokrasi
(hal.101), dan ironinya masyarakat pun bersedia ‘menjual’ suaranya.
Dengan demikian, maslahah hanya menjadi milik para elit penguasa.
Jika perilaku politik Orde Baru yang dinilai oleh berbagai pihak ban cinde ban siladan (politik pandang bulu), tentu hal ini bisa jadi sebuah penafikan dari entitas demokrasi yang ‘adil. Pun, kalau nuansa demokrasi mengamanatkan pentingnya perubahan (taghyir), maka kemantaban status quo yang ‘’dipaksa-paksakan’’ menjadi cermin mutakhir yang sangat memprihatinkan.
Kalau pesta demokrasi 1997 lalu -di beberapa tempat- diwarnai
keonaran dan kerusuhan -puncaknyanya rusaknya surat suara karena
pembakaran massa di Sampang- (lihat Kompas, 31/5). Barangkali
satu aspeknya disebabkan oleh tidak terpenuhinya parameter yang
diusulkan Kuntowijoyo. Mengapa? Karena kecurangan masih saja terjadi.
Manipulasi tak henti. Tak pelak, hal ini memicu Kiai Alawy untuk
menyatakan pernyataan yang keras. Kenyataan ini memalukan, apalagi
dilakukan oleh orang “pintar”.
Akibatnya, Pancasila sebagai objektivasi Islam, sebagai asas tunggal
-dalam kehidupan demokrasi politik-, baru merambah pada matra
strukturasi dan mekanisme, bukan pada matra substansinya!
Pembahasan yang dilakukan Kuntowijoyo dalam buku ini “mengingkarkan”
pembahasan politik klasik —yang menekankan pada syariah dan akhlak–.
Karena itu, pemikiran politik klasik seperti Al-Farabi, Al-Mawardi, dan
Ibn Taimiyah disingkirkan, karena mengandung asumsi negara kerajaan.
Sebaliknya, penjelajahan macam yang dilakukan Abul A’la Al Maudadi dan
Musthafa Husni As-Sibai’i menarik diketengahkan karena mengandung
asumsi tentang negara Republik dengan pemahaman tentang system (hal.
xxv).
Kuntowijoyo meninggalkan pendekatan akhlak (moral yang bergerak ke
pendekatan sistem yang impersonal! Meski katanya, pendekatan ini akan
bisa menjadi sangat popular karena adanya tuntutan clean government.
Umat Islam karenanya, sudah waktunya mempunyai dokumen politik yang
tidak ‘’sekadar’’ syariah dan akhlak, tetapi berbicara tentang kenyataan
yang konkret. Pentingnya semacam jembatan antara akhlak dan sistem,
moralitas pribadi dan realitas politik perlu dibangun!
Sayang, selama ini semboyan politik yang berpayung amal saleh, ‘’politik akhlaqul karimah’’ atau ‘’politik amar ma’ruf nahi munkar’’ hanya menjadi utopianisme, karena adanya semacam pelembagaan. Karena itu, kata Kuntowijoyo, tanpa pelembagaan politic of meaning itu akan menjadi meaning, dan tak pernah menjadi politics (hal.74).
Di sinilah, menurutnya, pentingnya keberadaan Organisasi Peserta
Pemilih (OPP). Ini pun hubungan umat dengan partai harus instrumental
dan sementara. AArtinya, kalau suatu partai tidak lagi aspiratif
terhadap umat dapat saja meninggalkannya setelah melakukan evaluasi.
Kalau format politik Islam secara historis pernah demikian kuat dan
pengaruh dan ‘’perilakunya’’ yang karenanya –hanya menjadi instrument
dalam kondisi krisis macam tahun 1965- maka sejarah itu tentu tidak
boleh berulang.
Bagaimana agar umat Islam bisa berperan dengan baik? Kuntowijoyo
melontarkan alternatif berpolitik Islam sebagaimana tersirat pada ujung
bagian objektivasi (hal. 76). Didirikannya semacam ‘’Partai Islam Plus’’, ‘’Partai Tanpa Nama’’, atau pun didirikannya ‘’Partai campuran’’.
Selain hal-hal di atas, Kuntowijoyo juga membahas tentang Pancasila yang sering menjadi mitos dan menafikan objektivasi, politik
industrialisasi sampai pentingnya strategi dan metode berpolitik umat
Islam. Semua itu dibahasnya dengan investigasi dan pola penalaran yang
argumentatif dan dalam.
Sebagai buku amatan, karya Kuntowijoyo ini sebuah karya yang rasional, plus empatif. Rasional, karena penalaran Kuntowijoyo sebagai ilmuwan ‘ulung’ yang tak perlu diragukan lagi kompetensinya. Sedangkan empatif, karena sosok Kuntowijoyo yang di samping sebagai ilmuwan, juga sebagai sastrawan.
Buku ini sekaligus merupakan penjelajahan empati untuk memberdayakan
dan pemihakan pada ‘’wong cilik’’. Karena itu, tak jarang karya sastra
yang ditulisnya juga bertemakan politik: Laki-laki yang Kawin dengan Peri (1995) yang menjadi label kumpulan cerpen Kompas dua tahun lalu adalah bukti konkret empatinya.
*) Sutejo atau S. Tedjo Kusumo, Dosen Kopertis VII Surabaya, tinggal di Ponorogo, Jatim.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/12/ijtihad-demokrasi-kuntowijoyo/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar