Judul:Ectasy Gaya Hidup Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia
Editor: Ida Subandy Ibrahim
Penerbit: Mizan, 1997
Tebal: 394 halaman
Peresensi: Sutejo
Surabaya Post, 23 Nov 1997
BUKU ini mengungkapkan semacam ‘’ideologi baru’’: kelas selebritis
dalam bahasa Darmanto Jatman adalah simbol masa mutakhir yang disebutnya
dengan the Era of Imagology -citra, menjadi lebih penting dari
realitas empiriknya- (hlm. 126). Simpul pengusaha sukses karenanya,
ditayangkan dengan mobil BMW, yach, heli atau bahkan jet pribadi. Kalau haus ‘’nyocor’’Coca-cola, jika lapar mojok ke Mc Donald’s! Oleh media, dia didudukkan serba ‘’wah’’: semacam elite without power, karena tentu rich and famous!
Kelompok nina bobok adalah kelompok yang membahasakan aura sensasi
pada betis Ken Dedes -istilah Jawa Atmaja-. Sebuah potret masyarakat
komoditas yang dibelenggu oleh tayangan erotis, pantulan sensasi film
yang erotis (hlm. 156-163). Sinema film karenanya, tak pernah mengajak
jidat berkernyit, mata memancing; tetapi menggiring penonton ‘’mabuk’’,
ter-ectasy! Tak ada yang menuturkan postpower syndrome macam yang dialami mantan perwira tinggi bernama Franke Slade (Al Pacino) dalam Scent or Woman. Mengapa? Karena bisa, dianggap kurang etis dan ‘’melawan’’ wacana (discourse) kemapanan. Inilah barangkali yang menimbulkan sinema film kita akreatif, tapi kompromistif dan erotik.
Sedangkan kelompok ketiga, adalah masyarakat komoditas yang
memalingkan pandangannya pada industri hiburan, film, sinetron,
teledrama, iklan, atau show, yang lain. Tak heran, masyarakat
tipe demikian, begitu menikmati budaya pop macam film Hollywood,
Mandarin, India, Hongkong, telenovela Amerika Latin, atau sinetron dalam
negeri sendiri yang dalam bahasa Rano Karno menjajakan mimpi. Istilah
Idy Subandy Ibrahim -sang editor- menjual mimpi; -yang dewasa ini– telah
menjadi sebuah proyek raksasa. Sebuah megaproyek bernama televisi yang
menghasilkan makna-makna yang berasal dari kebudayaan daur ulang (recycling). Memoles dunia permukaan imanen, mencipta consumer schzoprenik,
dan mementaskan parodi dalam satu permainan rumit estetika realitas
semu, yang menjerat dan memperdaya masyarakat. Bukan dengan membatasi
informasi tapi menjejali dengan sebanyak mungkin informasi, tanpa rasa
belas kasih-gitu bahasa Yasraf A. Pilang.
Formulasi pemikiran melalui titik nadir berbeda dari para penyumbang tulisan buku ini, mampu memotret ectasy gaya hidup dari kebudayaan pop dalam masyarakat komoditas Indonesia. Ectasy
dalam buku ini, bukanlah sesuatu yang harfiah dan leksikal! Tapi sebuah
simbolisasi dari perilaku hidup yang ‘’menenggelamkan’’, memperdayakan!
Suatu qiyas dari ectasy yang dalam behavioral sciences, banyak dikenal sebagai zat psikoaktif (psychoactive substance)
yang mampu berpengaruh nyata terhadap psikis, pkiran, perilaku, dan
kehendak manusianya. Yang pada ujungnya -, terjangkitlah semacam
ketergantungan.
Kalau dalam referensi behavioral sciences, penyebab penyalahgunaanya bisa bersifat internal dan eksternal, maka ectasy gaya hidup ini, dari sisi internal , bisa berupa gangguan jiwa dan perasaan tidak sejahtera (dysphoric feeling) dari masyarakat komoditas itu sendiri.
Sedang dari sisi eksternal bisa berupa: kurangnya alternatif peran,
terpenetrasi oleh ‘’budaya tontonan’’, terhegemoni oleh media, dan
adanya ketidakstabilan sosial masyakarat komoditas. Akumulasi era
informasi dan hiburan karenanya yang dipadu dengan ideologi
bisnis-ekonomi, telah menjadikan masyarakat komoditas sebagai objek
eksploitasi yang empuk.
Sebagai buku yang mengkritisi fenomena mutakhir -melalui amatan dan
analisis- maka menjadi penting membimbing pembaca untuk tidak menjadi
‘’epigon’’ budaya pop yang mistis dan semu! Untuk tidak menjadikan
sebagai masyarakat Pronocitro yang tersihir masyuk pada rokok klobot
kuluman Roro Mendut. Sebab dalam bunga rampai ini, masih banyak
ditemukan mutiara hikmah dari tambang pemikiran nama macam Kuntowijoyo,
Bre Redana, Cilifford Geerts, Onghokam, dan 17 penulis lainnya. Buku ini
akan memberikan cakrawala baru yang prismatisional.
*) Sutejo atau S.Tedjo Kusumo, peresensi tingggal di Ponorogo.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/12/menimbang-media-sebagai-narkotika/
Minggu, 17 Februari 2013
Menimbang Media Sebagai Narkotika
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar