Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Awalnya, lelaki itu takut makam. Apalagi, di masa kecil cerita tentang makam, orang mati, dan mistifikasi lainnya tentang kuburan berseliweran tak terhitung jumlah dalam ingatannya. Sampai pada suatu waktu, di masa kecil, ia trauma akan makam. Tersebab, hal gaib yang mengiringi pemakaman tetangganya, baik saat sakit, kematian, apalagi pasca pemakaman. Menakutkan!
Tak mudah menghalau masa lalu dari ingatan. Ingatan adalah rumah masa lalu yang selalu menggoda dan menunggu. Entah indah, terlebih trauma yang menggelisahkan. Ia serupa samudera maya yang diatasnya kita melayarkan perahu. Gelombangnya tak terduga, bahkan sering menggoda.
Kisah makam yang paling mengharukan adalah ketika lelaki itu mengantarkan kepulangan kekasihnya. Patok nisan seperti berkata tak berakhir. Saat itu, ia menjadi orang terakhir yang terkikir rasa, terkilir oleh silaf cinta berujung maut. Ia tak mengira jika kekasihnya mengakhiri hidup hanya karena cemburu.
Karena sangat pendiam, dia ingin berkata dengan caranya. Ternyata hal itu menjadi tindakan dan perkataan terakhirnya. Lelaki itu memintal getun dalam lamun. Tapi untuk apa? Bukankah aku tak berniat menjadi pembunuh? Apalagi pembunuh seorang kekasih, yang kubayangkan menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Begitulah akunya kepadaku, di sebuah senja, ketika rintik hujan mengabarkan tentang elegi waktu. Senja adalah transisi gelisah dari terang waktu ke kegelapan angan.
Lelaki itu, di mataku adalah lelaki terbaik yang pernah kutemukan. Ia lebih memilih derita daripada bahagia di atas derita orang lain. Maka, kejadian tragik yang menimpanya, ditinggal bunuh diri kekasihnya, adalah drama paling tak kumengerti dalam sejarah hidup manusia. Hanya cemburu yang tak terkatakan, hanya karena siksa rindu yang menegangkan, hanya karena kata yang belum sempat diucapkan, dan hanya karena isyarat yang belum terpahami. Lelaki itu seperti memanggul goni berat di pundaknya. Limbung di luar kekuatannya.
Sejak itulah, ia menjadi pengelana makam, pemuja makam. Tamasya terindah adalah makam. Terlebih kenudian, di makam-makam yang dikunjungi ia bertemu dengan guru-guru kehidupan yang mengajarkan ketidakberartian. Mereka ajarkan makna kesendirian, ketakberartian, dan pentingnya untuk mempersiapkan perjalanan kembara di samudera kehampaan. Makam telah menjadi sekolah terindah dalam perjalanan keilmuan. Meski, ia telah menempuh puncak tertinggi dalam pendidikan formal, rasanya, puncak ilmu itu adalah sekolah tentang makam.
***
***
bersambung
07.35
07.35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar