Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Aku kasihan melihat perempuan itu. Di usianya yang tak muda lagi, masih hobi mengejar bayangan. Bukankah bayangan tak mungkin direngkuh? Kaki wajib berinjak dan menapak di lapak yang tegak. Itulah lapak realita, bukan bayangan. Apalagi, ayang-ayang. Sering ia menunjuk langit, menumpahkan kekesalannya, untuk merengkuh rasa puasnya.
Aku menangis, ya begitu dalam di sudut malam, kemudian kutemukan perempuan itu sedang menulis naskah bertema bayang-bayang. "Untuk apa?" Tanyaku kala itu, ia menjawab, "Untuk membunuhmu. Ternyata, kau adalah musuhku." Aku tak mengerti dengan perjumpaan maya itu. Aku menggeleng. Bertanya pada nurani terdalamku, "Memangnta kau telah melakukan apa, Taufik?"
Setelah itu, aku sering didatangi perempuan tengah baya itu dalam fiksi dan puisiku. Tiba-tiba saja, ia melesak dan mendesak untuk dituliskan. Aku kelelahan dan kuwalahan. Kupikir dia perempuan hebat dengan selusin talenta untuk mewariskan perubahan. Tetapi tidak dalam kenyataannya, dia pemburu bayang-bayang. Menimang layang-layang siap dimainkan ketika angin kehidupan itu memungkinkan. Gemulai layang-layangnya sering mengundang kagum dan tanya. Aku hanya layang-layang lain, yang dimainkan oleh perempuan tengah baya yang lain.
Bukan dimainkan sebenarnya, tetapi menempuh jalan keterpaksaan agar perjalanan tetap berujung indah. Doa-doaku adalah memintal derita sekuasa jiwa untuk belajar berterima atas nama takdir hidup bagi manusia. Layang-layang itu adalah keikhlasan ditarik ulur oleh energi alam yang menggerakkan, memainkannya.
***
bersambung
08.00
bersambung
08.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar