Sutejo
Surabaya Post, Feb 1990
Setiap saat kita selalu dihadapkan pada pertanyaan klasik, namun bila
kita bicarakan akan semakin asyik. Yakni, tentang manakah sastra kita?
Sehingga jawabannya akan sangat perspektif sekali, tanpa ada suatu
kepastian. Termasuk para ‘’dewa-dewa sastra’’ sekarang tak mampu
memberikan jalan tengah. Mereka berpendapat
sendiri dengan penuh kesubjektivitasan.
Di satu sisi, di dengungkan
tentang sastra adiluhung yang mempunyai nilai sastra tinggi, dengan
begitu orientasi diarahkan pada lapisan masyarakat tertentu, yakni para
kritisi sastra. Sementara, di sisi lain didengungkan tentang sastra yang
kontekstual, yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat (sosial,
budaya, pendidikan, teritorial daerah, dan seterusnya).
Satu hal yang patut kita amati adalah masalah penentuan manakah
sastra, dan manakah yang bukan (belum) sastra. Agaknya keputusan masih
terletak erat di tangan para kritisi sastra. Efek dari keadaan ini
tampak sekali dalam dunia pengajaran sastra di sekolah, yang banyak
memanfaatkan vokal para kritisi sebagai senjata andal dan pamungkasnya.
Bahkan, tidak jarang dalam mengajarkan sastra mereka mengenakan
‘’seragam apresiasi’’, kemudian dikenakan beramai-ramai oleh siswa
sebagai penikmat sastra. Dan jarang sekali, memilih karya sastra yang
bertebaran dan yang telah terpublikasikan di media massa.
Inilah kenyataan sekarang. Terkecuali bila pengarangnya sudah
mempunyai tahta –sebagai sastrawan yang mapan- bukan sastrawan pemula
yang masih banyak mencoba-coba mencari bentuk dan jati diri. Maka dari
keadaan ini, tidaklah mengheranka bila pada ‘’pertemuan Sastrawan Muda
Jawa Timur’’ tempo hari, ada semacam kesepakatan masalah perlunya respon
para kritisi terhadap karya mereka, minimal diperhatikan dan
diperhitungkan kehadirannya. Atau, katakanlah, ada semacam kesepakatan
dibutuhkannya ‘’keterterimaan’’ atas kehadirannya, bukan antisipasi
ataupun ‘’keteracuh-tak-acuhan’’.
Barangkali, inilah suatu keironisan panjang yang akan menjadi
keriskanan, bila sang kritisi tidak juga mau dan sudi mengerlingkan mata
pada sastrawan muda yang mencoba merangkak untuk menemukan sosok
sastranya yang ideal, karena mereka ibarat tumbuhan adalah calon-calon
benih yang akan tumbuh. ‘’Bagaimana agar mereka tidak mati?’’ tentunya
dibutuhkan siraman dan perhatian terhadapnya agar tidak musnah.
Sastra Universal
Sastra inilah, agaknya yang diidealkan oleh kritisi sastra, yakni
‘’sebuah karya sastra yang berada di awang-awang’’, karena sastra ini
dianggap mempunyai nilai rasa universal, yang tidak dibatasi oleh ruang
dan waktu, yang berlaku kapan saja dan di mana saja. Dan sastra macam
ini hanyalah milik orang-orang tertentu. Ambillah contoh, karya sastra
yang mendapat Hadiah Nobel, yang penciptaannya cenderung diorientasikan
untuk konsumsi bagi konsumen tertentu, yakni para kritisi sastra. Dengan
begitu, akan terasa adanya kesenjangan panjang dengan penikmat yang
lain.
Pada keadaan ini, muncullah problema bahwa sastra kita akan menjadi
tidak akrab lagi dengan publik sendiri (masyarakat), tepatnya hanya
untuk kalangan tertentu. Sehingga akan terasa menyakitkan bila
ketidaktahuan penikmat yang lain, dianggap sebagai suatu
keterbelakangan, kebodohan, dan kepicikan apresiatornya. Bukankah
sebenarnya sastra kita mempunyai corak tersendiri dengan yang lain?
Dan barangkali, sastra yang macam inilah yang diidealkan dalam tulisan sastrawan Bandung ‘’Obsesi Resepsi Sastrawan Muda Jawa Timur’’,
dengan menampilkan beberapa tuntutan dalam menentukan kebermaknaan
suatu karya, diantaranya (i) sudahkah karya sastra yang dimaksudkan
memenuhi harapan si apresiator (Jauss dan Mandelokov) sehingga dengan
begitu akan diperoleh adanya perluasan jarak estetis dan penemuan norma
baru, (ii) apakah faktor ketidaktentuan (inerden) dan bidang kosong
(Iser) dapat dihadirkan oleh sang kreator dan konstruktif, sehingga
karya mempunyai pesona untuk diapresiasi.
Dalam keadaan ini, agaknya yang patut dicatat adalah apresiator kita
yang beragam, sehingga akan muncul kemungkinan bahwa karya itu bermakna
bagi yang satu belum tentu bagi yang lain, indah bagi apresiator yang
satu belum tentu indah bagi apresiator lain. Padahal, keindahan dan
kebermaknaan itu bukankah ada pada karya itu sendiri, penikmat sastra
(apresiator), dan keindahan yang ada di luar antara keduanya. Barangkali
yang terpenting adalah bagaimana karya itu bisa berinteraksi secara
elastis dan fleksibel dengan penikmatnya.
Sastra Kontekstual
Sastra ini secara ekstrem dapatlah dikatakan sebagai pertentangan
dari sastra universal. Sastra yang dibatasi oleh konteks tertentu,
mempunyai nilai yang berbeda dari kelompok yang satu dengan kelompok
yang lain, tempat yang satu berbeda dengan tempat yang lain, begitu
seterusnya. Mungkin karya sastra yang bertebaran hijau di lahan massa
dapat digolongkan dalam sastra ini, di mana sastra yang demikian
mempunyai hubungan yang lebih akrab dan menyatu dengan penikmatnya.
Bukan saja bentuk-bentuk yang demikian dapat dikatakan sastra, seperti
halnya Yudhistira yang mengatakan bahwa karya sastra adalah sesuatu yang
bisa berkomunikasi dengan lingkungan. Dicontohkan salah satu bentuknya
sastra dangdut. Bagi Romo Mangun, lebih berbicara masalah keagunan yang
menggantikan konsep keindahan secara formal dalam dunia sastra
–keindahan adalah formal dalam dunia sastra – keindahan adalah
kecerlangan kebenaran (puchrum splendor est veritas), sehingga sastra yang berkualitas baginya adalah sastra yang mempunyai nilai (dimensi) religius.
Bila kita apresiasi beberapa karya sastra yang sudah mapan, banyaklah
yang dapat kita golongkan ke dalam karya sastra ini. Di antaranya (1) Pengakuan Pariyem (1981) karya Linus Suryadi AG, (2) Ronggeng Dukuh Paruk (1982), (3) Lintang Kemukus Dini Hari (1985), (4) Jantera Bianglala (1986), yang ketiganya karya Ahmad Tohari, (5) Burung-burung Manyar (1981) karya Romo Mangun, dan masih banyak lagi.
Pada Pengakuan Pariyem tercermin adanya kepasrahan seorang pembantu yang digauli oleh bendoronya, dia terima dengan kepasrahan lego lilo pasrah sumarah
menggambarkan adanya ‘’dunia kecil’’ dan ‘’dunia besar’’. Pada ketiga
karya Ahmad Tohari tercermin warna lokal kedaerahannya, yang
menggambarkan warna lokal Jawa (tepatnya Jawa Tengah). Sedangkan Burung-burung Manyar Romo Mangun,
lebih menonjolkan suatu nilai yang patut dipersembahkan kepada
bangsanya, yang mencerminkan keadaan masyarakat (tepatnya masyarakat
Indonesia).
Kalau kita mau jujur, sebenarnya banyak sastra Jawa yang mempunyai
nilai tinggi. Seperti halnya Wayang, yang banyak mengandung nilai
filosofis dan mistis tersendiri, bahkan mistis itu begitu tertanam dalam
masyarakat Jawa (tepatnya yang masih memegang adat Jawa). Keyakinan
akan ‘’candrane pewayangan’’ terhadap seseorang yang lahir pada
hari tertentu, misalnya seorang anak yang lahir pada hari Wage,
dianggap mempunyai tabiat dan perwatakan yang mirip Bima (=Bayuputro,
Werkudoro). Sehingga anak itu, dianggap mempunyai ciri berpendirian
teguh, kuat keyakinan, pantang mundur, mempunyai sikap yang sederhana (prasojo), dan seterusnya.
Lalu Sastra Kita?
Barangkali kita tidak terlalu repot dan bersusah-susah dengan teori
Barat kemudian kita paksakan pada sastra kita untuk sekadar menentukan
baik atau buruknya. Karena, kita mempunyai ciri karakteristik yang khas
pada sastra kita yang berbeda dengan yang lain. Tapi, bukan menutup
kemungkinan bahwa sejumlah teori Barat yang dianggap agung bisa
diterapkan pada sastra kita, namun jangan disalahkan sastranya. Itu
semua adalah sastra kita, milik kita. Mengapa harus memakai ukuran orang
lain? Agaknya bukanlah suatu keharusan.
*) Sutejo, atau S.Tedjo Kusumo, (dulu) penulis tingggal di Malang.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/10/yang-manakah-sastra-kita-sebenarnya-antara-kontekstual-dan-universal/
Kamis, 11 Oktober 2012
Yang Manakah Sastra Kita Sebenarnya? (Antara Kontekstual dan Universal)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar