Sutejo
Karya Darma, 27 Mei 1995
Bagaimanakah potret kritik sastra kita dewasa ini? Tampaknya kritik
sastra kita masih centang perenang, belum mempunyai sosok pribadi yang
jelas. Beni Setia, pernah melontarkan tulisan ‘’Demistifikasi Kritik’’. Pemikiran Beni Setia demikian menyadarkan kita pada fenomena kritik sastra yang tanpa karakter.
Sampai gemasnya penyair Bandung ini (kini tinggal di Caruban Jawa
Timur-red) melihat fenomena kritik sastra dengan menyebutnya sebagai
sebuah arogansi elite sastra yang begitu determinatif dalam pengukuan
dan kualifikasi kepenyairan seorang penyair.
Sebuah tombak dengan arsitektur kokoh terbangun Indonesia kecil yang
terkotak-kotak. Sastra universal dan konstektual, puisi gelap dan puisi
terang (komunikatif?), penyair kota dan daerah, penyair ibu kota dan
penyair pedalaman. Akankah tembok-tembok yang muncul demikian, yang
membagi dunia sastra menjadi dua –mungkin saling bertentangan- adalah
upaya untuk melindungi ideologi individu dan komuna kolektif
masing-masing? Dalam pandangan Beni Setia, kearifan kasusastraan itu tak
mengenal pusat dan daerah, tak mengenal sastrawan ibu kota dan
sastrawan pedesaan, dan juga tak mau tahu karya yang adiluhung dan
picisan. Bagi kearifan kasusastraan, setiap karya adalah karya, setiap
karya sastra adalah karya sastra.
Sampai saat ini, manakala kita memperbincangkan teori dan kritik
sastra, keadaannya menjadi demikian kompleks dan menarik. Bagaimana
seorang Arif Budiman dan Ariel Haryanto mengetengahkan paham kontekstual
sastra sehingga menjadi sebuah perdebatan panjang di tahun 1984? Di
satu pihak didengungkan sastrawan yang membumi. Sehingga karya sastra
yang dihasilkan haruslah mencerminkan konteks sosiologisnya. Karenanya,
karya sastra tidak akan seperti coca-cola yang dapat berlaku
kapan saja dan di mana saja. Sedangkan di pihak lain didengungkan karya
sastra yang adiluhung, yang mempunyai universalitas tersendiri, yang
mempunyai nilai estetis yang dapat diterima oleh lapisan pembaca dalam
berbagai kurun waktu.
Kemudian muncul isu sastra gelap di tahun 1994, yang diawali dengan
wawancara Yos Rizal dengan pastor puisi Sutardji Calzoum Bachry.
Meskipun tak seheboh perdebatan sastra kontekstual, namun puisi gelap
sempat mengundang gairah yang berujung dengan ledekan-ledekan, apologis,
maupun sekadar ‘gurauan’, begitu tulus Ahmad Y. Herfanda, yang
memberikan semacam ‘catatan kaki’ dari sejumlah perdebatan puisi gelap.
Referensi yang lama berkembang ternyata bukan saja dalam kasus hibah
Bapindo. Tapi juga dalam dunia sastra. Referensi itu bersanding dengan
kedudukan penyair mapan sebagai legitimator. Sehingga hampir bisa
dipastikan manakala muncul kumpulan cerpen atau puisi, di situ pula
terdapat ‘’referensi’’ dari elite sastra. Mereka sebagai ‘’kritikus’’
yang merefensi atau mencocoki dan mengantarkan pembaca pada satu nilai
estetis yang ditawarkannya. Kritikus yang demikian barangkali akan mampu
menginstrumalisisr antara apresiasi pembaca dengan sebuah karya sastra.
Namun persoalannya: kritikus sastra yang ‘’rendah hati’’, yang
melemparkan ‘’kejujuran ‘’ esetetis tidaklah banyak. Bahkan ada yang
menyindir bahwa kritikus sastra kita cenderung destruktif. Misalnya
saja, istilah Afrizal Malna terhadap fenomena kritik Sutardji Calzoum
Bahcri, yang cenderung memberikan penyerangan. Sehingga sastrawan Misran
Hadi dalam sebuah wawancaranya pernah mengaku bahwasanya dia berhenti
menyair karena kritik penyerangan yang dilakukan Sutardji yang
mengatakannya bahwa puisinya jelek-jelek.
Tak mengherankan kalau sastrawan kawakan, A.A Navis, berkomentar
terhadap keberadaan teori dan kritik sastra yang cenderung merusak
terutama bagi seorang pemula. Padahal, jika kita mau jujur yang
bagaimanakah sosok kritik sastra kita sebenarnya, belumlah jelas sosok
jati dirinya. Sehingga Budi Darma pernah menyebut bahwasanya kritik
sastra kita centang perenang. Tanpa sosok pribadi (lihat Horison edisi
November 1992, No. 11/XXVII). Atau bagaimana bergeloranya pencarian
kritik sastra yang relevan untuk membedah karya sastra yang khas
Indonesia, seperti Seminar Susastra Indonesia di Universitas Bung Hatta
tanggal 23 s/d 26 Maret 1988.
Tembok kritik sastra yang dibangun kritikus sastra belakangan justru
mengesankan keangkuhan dunia sastra. Yang tidak semua orang boleh omong
sastra. Tak pelak, jika karya sastra di sebagian pandangan terkesan:
teraleanasi dari masyarakatnya. Bagaimanakah Umar Yunus yang begitu
angker dengan teori-teori Baratnya? Demikian juga dengan Andreas
Hardjana. Kita tidak lagi menemukan sosok kritikus seperti HB.Jassin
yang begitu rajin, yang benar-benara menjembatani pembaca dengan karya
sastra. Lebih dari itu, mengenalkan pada penyairnya, sampai sejauh mana
perjalanan peta sastra kita bergerak.
Kalau di kalangan penyair dan elite sastra sendiri demikian kompleks
dn rumitnya persoalan itu, maka dapat dibayangkan dampaknya pada penyair
pemula atau pada pembaca dalam menangkap kompleksitas kehidupan sastra
kita secara makro.
Sehingga tak mengherankan, jika banyak para pemula gagal menapaki
dunia sastra. Padahal, pemula, ibarat tunas-tunas muda membutuhkan
siraman sejuk untuk mendewasakan pertumbuhan dan perkembangannya. Karena
itu tentu bagi pemula dituntut mempunyai stamina tahan banting yang
akan mengantarkannya pada dunia sastra, atau sekadar ‘’dunia sastra.’’
Karena itu bagi pemula perlu disadari beberapa fenomena berkaitan dengan
dunia sastra kita.
Pertama, karena penyebaran sastra kita banyak berhutang budi
pada media massa (khususnya koran), maka langkah pertama seorang pemula
harus menembus keredaksian budaya media massa yang tentu mempunyai
ideologi estetis sendiri. Dan fenomena sastra koran dengan segala
ihwalnya beberapa minggu lalu sempat menjadi pembicaraan terutama di Republika.
Menyangkut digugatnya adanya kolusi antara sastrawan dengan redaksi,
adanya norma estetis redaksi yang tidak jelas, sampai isu bagaimana
media koran khususnya telah menjadi semacam tempat pembatisan sastrawan.
Namun isu demikian ditepis oleh Aan Kawisar, redaksi Horison,
yang mengatakan, ‘’Tidak ada kolaborasi, tidak ada pembabtisan, yang ada
layak muat’’. Atau adanya gejala dominasi sastrawan pusat, yang
kemudian juga dibantah oleh Efix Mulyadi redaktur budaya Kompas dan Djadjat Sudrajat redaktur budaya Media Indonesia.
Kedua, tentunya pemula akan dihadapkan pada mitos dan tembok
komunikasi sastra, penyair pemula dan penyair mapan, seniman pedalaman
dan seniman kota, dan seterusnya. Fenomena demikian sesungguhnya
memprihatinkan. Bagaimana pengadilan Redi Panuju yang mendeskripsikan
fenomena pembacaan puisi ‘’Semangat Tanjung Perak’’ pada akhir
tahun 1992, terhadap penyair pedalaman misalnya, yang mengatakan begini:
‘’…sistem RAPBN yang orientasinya hanya pada pemerataan, berbuat tanpa
menimbang kualitasnya, saya kuatir hanya melahirkan ‘’permasalahan
penyair’ dengan kualitas yang rendah. Malam itu telah betapa hanya
dengan konsep ‘kesempatan’ saja (tok) telah melahirkan penyair-penyair
plesetan, istilah teman yang duduk di depan saya, penyair tiban’’.
Demikian elegankah kepenyairan seorang Redi Panuju?
Di samping harus berhadapan dengan para penyair mapan, penyair pemula
dalam bertarung di media massa mereka juga harus berhadapan dengan para
sastrawan mapan yang sampai saat ini masih produktif. Nama-nama seperti
Putu Wijaya, Umar Kayam, Satyagraha Hoerip, Nilson Nadeak, Sori
Siregar, sekadar untuk menyebut beberapa contoh. Belum keberadaan
kritikus sastra yang secara eksklusif determinatif akan mengukuhkan dan
memberikan pengakuan terhadap sebuah karya. Dan ini, jelas mimpi buruk
bagi pemula.
Jangankan seorang pemula, seorang sastrawan, dramawan, sutradara,
teaterawan terkenal saja, Putu Wijaya, terengah-engah dengan potret
kritik sastra kita. Dan ini, terjadi ketika aspek historis dan
sosiologis tiba-tiba menjadi ‘’norma estetis’’ terhadap pengakuan
terhadap sebuah karya sastra. Bagaimana Dr. Daniel Dakidae, tiba-tiba
menobatkan ‘’Para Priyayi’’ sebagai karya yang monumental karena nuansa historis dan sosiologisnya, setelah ‘’Bumi Manusia’’-nya Pramudya Ananta Toer, dan ‘’Burung-burung Manyar’’-nya YB Mangun Wijaya?
Kritik sastra yang ada kini tidaklah menjangkau wilayah dalam peta
yang ada, begitu tulis Putu Wijaya dalam suratnya yang dikirim kepada HB
Jassin dari Jepang, kemudian dimuat dalam Horison edisi Maret
1993, Nomor 3/XXVII/76. Tambahnya, dalam seperti itu, mudah sekali
muncul kesesatan yang tak terselesaikan. Akhirnya tak terasa terjadi
penjungkirbalikkan nilai… apa sebenarnya sasaran sastra itu? Bagamana
cara /pertimbangan kita untuk menentukan karya sastra itu baik?
Bagaimana kita meningkatkan diri kita kalau tidak tahu ukurannya?
Begitulah wajah kritik sastra kita yang tanpa sosok pribadi. Penuh
dengan tembok-tembok untuk melindungi egoisme komunalnya. Penuh
relativias estetis. Sehingga banyak lapisan yang mengharapkan kritik
sastra itu harus akomodatif, bukan tersegmentasi oleh kepentingan
individu dan sebuah kepentingan kolektif.
Yang pada ujungnya keadaan demikian bukan iklim positif bagi calon
para pemula. Fenomena demikian mengingatkan kita betapa centang perenang
kehidupan sastra dan kritik kita. Sehingga berbagai kecenderungan bisa
muncul dalam berbagai bentuknya. Mudah-mudahan iklim sastra demikian
bukanlah faktor berarti bagi penulis-penulis pemula, tapi cambuk yang
senantiasa membangkitkan semangat tulis yang tak pernah habis.
*) Pengajar Sastra di Lingkungan Kopertis VII Surabaya, tingggal di Ponorogo.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/10/kekaburan-kritik-dan-fenomena-penulis-pemula/
Kamis, 15 November 2012
Kekaburan Kritik dan Fenomena Penulis Pemula
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
Afifah W. Zhafira
Afifah Wahda Tyas Pramudita
Andry Deblenk
Anugerah Ronggowarsito
Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi)
Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati)
Berita
Budaya
Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar)
Catatan
Cerpen
Cover Buku
Djoko Saryono
Esai
Filsafat Ilmu
Gatra
Gerakan Literasi Nasional
Gufron Ali Ibrahim
Happy Susanto
Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis)
Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya)
Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria)
Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa)
Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya)
Karya Darma
Kasnadi
Kliping
Kompas
Literasi
Literasi Budaya
Majalah Dinamika PGRI
Makam Sunan Drajat
Masuki M. Astro
Memasak
Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa
Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen)
Merdeka
Mesin Ketik
Metafora Kemahiran Menulis
Nur Wachid
Nurel Javissyarqi
Obrolan
Orasi Ilmiah
Ponorogo Pos
Prof Dr Soediro Satoto
Puisi
Radar Madiun
Resensi
S. Tedjo Kusumo
SMA 1 Badegan Ponorogo
STKIP PGRI Ponorogo
Sajak
Sapta Arif Nurwahyudin
Sekolah Literasi Gratis
Senarai Motivasi
Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna)
Seputar Ponorogo
Sidik Sunaryo
Soediro Satoto
Solopos
Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra)
Spectrum Center
Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya)
Suara Karya
Sugiyanto
Sujarwoko
Sumarlam
SuperCamp HMP 2017
Surabaya Post
Surya
Sutejo
Suwardi Endraswara
Swadesi
Teknik Kreativitas Pembelajaran
Tengsoe Tjahjono
Tri Andhi S
Wisata
Workshop Entrepreneurship
Workshop Essay Budaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar