Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Pagi ini, takdir mempertemukan aku dengan lelaki gendut, berjenggot lebat: Zainal. Sorot matanya tenang, terbiar atas segala hal. Tak membutuhkan apapun, katanya. Tetapi dia masih ngurus BKD dan pajak motor. Artinya, Zainal butuh sesuatu.
"Hidup itu," katanya, "Ngunduh wohing pakerti. Yang menanam, pasti menuai. Apa yang kita makan, wajib halal." Aku berpikir juga oleh pukulan kata Zainal, "Jangan-jangan apa yang kulakukan juga tak halal. Astahhfirulloh. Lindungi kami ya Rabb. Aku bukan ahli surga itu pasti. Tapi aku tak kuat dengan api neraka."
Spontan aku teringat Abu Nuwas.
Spontan aku teringat Abu Nuwas.
Lelaki di depanku ini, nyaris tak punya hasrat dunia. Ada perempuan cantik, hem tak butuh. Aneka mobil berkelas, tak butuh. Dia tak butuh, kecuali Tuhan. Dia tak ingin tergoda oleh kebutuhan dunia. Dia hanya merindu cinta Tuhan. Jenggotnya seperti bercerita tentang sunnah, tentang keislaman yang penuh. Aku luluh, terkeluh harap dunia --yang kadang masih menggoda. "Maafkan, aku Tuhan."
***
***
Beberapa jam aku tersandera api yang berkilat-kilat menjilati kepala sehatku. Sorot mata lelaki itu api. Lelaki sederhana, bodi tak menggoda, wajah tak biasa, kaca mata tebal, dan ketika bwrbicara mulutnya berbusa. Tapi, sungguh kata-katanya menggoda kepala. Msmukul otakku. Menghancurkan hasrat manusiaku. Lunglai. Terkapar akan hasrat manusiaku, "Kau butuh apa lagi? Masih rakus kamu tentang duniawi? Mengapa masih saja kau memaksa-maksa? Yang berhak mengatur itu bukan kamu, tahu! Kalau aku kehendaki, apa yang ada di dunia ini akan selesai." Suara-suara itu, menghajarku tiba-tiba.
"Ada apa, Pak?" tanya lelaki itu. Zainal bertanya datar. "Kamu punya pacar, Pak? Sepertinya, ada bayangan yg melintas-lintas. Menggoda." Aku gemes sama lekaki gila di depanku. Dia mengipas-kibaskan api. Menjilat kesadaran, membakar keinginan. Membekukan harapan. Jalan kembali selalu lebih penting dari kepalsuan. Meniti duri memagari hati menjadi perjalanan pulangvyang berarti. Aku diam. Kutemukan siul gaib di telingaku, menghibur. Mengubur nafsu, menggantang haru. Diam. Sembilu merajah-rajah jiwa, mengiris sukma, mengikis nafsu serigala. Aku tetrkapar panas api dari sorot mata lelaki itu. Hanyut. Berdenyut denyut.
***
***
(bersambung)
Kediri, 2/8/2018
11.24
Kediri, 2/8/2018
11.24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar