(Ending): bersambung dengan sebelumnya
Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Langit gemetar. Perempuan berambut hitam, mata tajam, dan hidung mancung itu terdiam. Ia menghitung waktu. Mundur. Jari-jari waktu seperti menguliti tubuh kenangannya saat masih bersama kekasihnya. Seminggu, sebulan, setahun, dan --bahkan sewindu sudah--.
Jaket dengan aroma kemerahan, sisi kiri kanannya kotak-kotak, celana jean biru, dan kaos putih tulang bergalur sketsa adalah saksi sewindu sudah kenangan itu tak bisa ditimang. Kekasihnya hilang menyisakan bayang. Tepat sewindu sudah pengkianatan terbesar lelaki yang pernah berjanji akan menjadikannya ibu dari anak-anaknya, meninggalkannya. Sewindu pula ia menemukan lelaki lugu yang tak pernah mudah berjanji tetapi perhatian, kepedulian, kerelaan, dan pengorbanannya melampaui kekasihnya. Lelaki itu nyaris tanpa nafsu dan --tiba-tiba rasa memiliki, takut kehilangan, dan cemburu-- silih berganti, saling silang melintas di kepalanya. Ia bermimpi menukar kenangan buruk tentang lelaki dengan lelaki suci yang kini jadi penguasa taman imajinasinya.
Malam datang lebih lama. Tak seperti biasanya, perempuan itu tiba-tiba membaca tartil tubuhnya untuk dipersembahkan --entah pada waktunya-- kepada lelaki yang kini telah menjadi penguasa pikiran, rasa, hati, dan jiwanya. Dia tersiksa olehnya, tapi ia pula bahagia dengannya.
"Malam, mengapa lelaki itu menjadi sihir dalam taman sepiku? Mengapa pula, penyair itu tiba-tiba telah menyihir dengan selusin kata tetapi merupa ribuan imajinasi makna?" Akunya dengan penuh tanya. Malam diam. Sewindu sudah perempuan itu menunggu dan sewindu pula kenangan buruk tentang kekasihnya saling bertemu. Dan, sewindu, dua windu, tiga windu, empat windu sudah dia merawat mimpinya untuk bisa bertemu dengan sihir penyair itu. Sia-sia tapi bahagia.
Dia terpatuk oleh masa lalu, ia bertekuk lutut pada setia jiwanya pada lelaki yang kini telah mewariskan buah kasih: Sindu Pratama, Windu Kinanti, dan Pandu Jiwa. Trisula buah cinta itu yang menguatkannya kala tersihir oleh kata penyair, terjerat oleh kenangan yang mewindu. (*)
06.33
Tidak ada komentar:
Posting Komentar