Sutejo
Hem, aku benar-benar takjub pada kotoran. Ia tak pernah cemburu kepada siapapun. Ia tak malu dihina dan dipandang rendah oleh siapapun. Ia hanya belajar sadar diri, mengenal dirinya, sampai suatu waktu dia berdoa untuk bisa diambil manusia. Dipinang jadi pupuk.
Di situlah, kotoran mulai tersenyum. Ikhtiar dan keikhlasannya ada harapan berbuah. Sampai di ujung waktu, ia mampu meneguhkan pepohonan: subur bunga, subur padi, subur kelapa, subur pisang, subur mangga, dan entah tumbuhan apa yang telah dibantunya.
Kotoran tetap menunduk, tak ada yang tahu apa yang telah dilakukannya. Aku cemburu. Aneka kotoran itu, sungguh ajarkan bagaimana menyikapi takdir. Dari kotoran sapi, kuda, kambing, ayam, dan sahabat kotoran lainnya. Mereka seperti berdialog dalam masing-masing jamaah mereka. Bermunajat untuk bisa berbuat. Tanpa dilihat okeh siapa pun. Aku malu. Malu.
Sampai pada suatu waktu, ada seorang Salik berkultum sambil meneteskan airmata. Ia ingin jadi kotoran saja. Jauh lebih susah jadi manusia. Kotoran menyadarkannya tentang hakikat kesadaran, proses, dan perbuatan yang tak harus ditunjukkan, diketahui, apalagi ditepuk-riuhi dengan pujian. Sang Salik, tak mampu melanjutkan kultumnya. Ia terisak, kemudian mengakhiri dengan salam, "Biarkanlah bapak-ibu jamaah, aku baru belajar jadi kotoran. Aku belum pantas berwasiat. Maafkan. Wassalamu'alaikum ..."
21.34
Tidak ada komentar:
Posting Komentar