Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Tanpa sengaja aku temukan gadis itu memandang langit. Lama sekali. Sangat lama. Sorot matanya terpagut pada gemawan. Menari-nari. Aku diam. Gadis itu memagut langit. Memungut mimpi.
"Jika kata-katamu saja bisa menjadi nadiku, maka kau bisa bayangkan, bagaimana elang tajam matamu?" Bisik perempuan berbibir kecil itu. Aku hanya mengamati. "Apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh gadis itu?" tanya batinku tiba-tiba.
Awan sore itu beriringan berjalan pelan. Warna putih angsa, bersaput putih salju, berlapis-lapis dan berikal-ikal. Aku ingat kala naik pesawat, dari atas, mestinya awan sore yang cerah itu jauh lebih eksotis. Bergumpal-gumpal, bergurun batu putih, berkristal cahaya kekungan tersaput cahaya matahari sore. Lautan awan itu mestinya jauh lebih menawan dinikmati dari jendela pesawat.
Aku tidak tahu, apa yang dibayangkan gadis itu. Apalagi yang dipikirkan. Terlebih yang dirasakan. Aku hanya menemukan vibrasi yang menggetarkan dari sorot mata yang sempat menerkamku ketika aku memergokinya memagut langit.
"Satu-satunya bahagiaku adalah menunggu senja, sambil menggodamu wahai lelaki misterius." Desisnya pelan. "Jika senja saja mampu membuatmu bahagia, apalagi dengan malam purnama." Sahutku. Aku saling berjauhan, kira-kira berjarak 100 meter tetapi aneh suara desisnya dapat kukenali. Aku yang aneh, atau gadis pemagut langit itu yang aneh. Aku tertawa kecil menyaksikan sore menjemput senja dengan sekusin cerita tang dijanjikan.
***
***
(bersambung)
22.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar