Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Malam 01.58. Di depanku, terduduk seorang lelaki perlenta. Kaos sulak putih dengan bulat bulat merah. Sambil makan, ia terus ngoceh saja dengan seorang petempuan di balik gadget. Siapakah, apakah, dan ada hubungan bagaimana, aku menduga-duga. Hem. Begitu asyiknya ia. Hingga wajahnya penuh aura bahagia.
IT dengan gadget, memudahkan sekaligus menggayakan. Aku jadi ingat kawan sales, yg lagi bermasalah sama isterinya. Sekarang sedang menjalin asmara dengan gadis desa. Kemarin Minggu baru saja aku bertemu mereka berdua. Ironis. Kini, lelaki di depanku tadi, ternyata juga seorang sales. Dari gerak geriknya, rasanya bukanlah isterinya.
Beberapa waktu lalu, sahabatku yang lain mantan sales juga eksotik: melakukan hal yang sama. Temanku lainnya, di sebuah kota sebelum jadi PNS di Sidoarjo juga sales. Setahun lalu cerai, sebelumnya dia membakar rumah satu-satunya. Dia kemudian ditinggalkan isterinya pulang ke Trenggalek, dan harus menanggung kedua anak yg mulai sekolah di SD. Aku ngungun mengenangnya, nggumun melihat lelaki di depanku tadi.
Tak selang waktu lama, tiba-tiba sejumlah pemuda dengan dua orang purel asyik memesan nasi pecel dengan canda yang sangat menggoda. Salah satu dari perempuan itu, melintas di dekatku sambil teriak, "Mas, aku kebelet nguyuh. Terno!" Saya kira aku, yang diminta untuk antar ke toilet. Hem, terpaksa aku menoleh. Kulit putih, rambut kemerahan, celana sangat pendek, dan masih kelihatan muda. Menggoda. Kedua pahanya putih kekuningan, padat berisi sepertinya.
Lima menit kemudian, datang lagi perempuan melintas di sampingku. Kali ini kelihatan lusuh, kurang segar. Ada tato di lengan kanannya. Dengan pundak terbuka kutemukan tali kotang berwarna putih menarik beban yang kelihatan berat. Montok. Lebih segar daripada tubuhnya.
Aku terhibur sekali menatap pemandangan malam menantang. Lima menit kemudian, juga datang lima laki-laki muda dengan dua perempuan lain. Mereka tampak menikmati. Sebuah dunia yang mengasyikkan? Begitulah barangkali. Sementara, dua kawanku, yang satu ada di samping kiriku sambil asyik menonton siaran langsung yang baru saja diupload 15 menit lalu. Durasi hampir 20 menit melintasi batas kota ke selatan aloon-aloon.
Sahabatku satunya, berhadapan denganku agak ke samping kiri. Sehingga tak menghalangi pandangan mataku melihat pemuda pertama yang begitu latah dengan aroma goda. Keduanya adalah sahabat dari kota Lamongan. Tiba-tiba, dan ini agak kusuka: rambut biasa, hitam lurus, sebahu, wajah tak kelihatan norak, keduanya antri untuk menikmati gocel yang enak. Pikiranku menari, di sinilah kotaku. Siapakah yang memikirkan mereka, menanggung mereka?
Entah benar, entah tidak, aku sangat tergoda oleh dua perempuan yang melintas di sampingku. Muda, muda, dan mestinya masih begitu asyik jika mau aktivitas yang lebih indah. Rambut pirangnya dengan sulak kekuning kemerahan menceritakan tentang hutang kebahagiaan. Hem. Malam dalam pagut kelatahan hidup.
Di jelang pulang, ah mengejutkan. Dua perempuan sangat cuek, lumayan cantik, tinggi sekitar 160-an. Aku perhatikan keduanya, sama sekali tak peduli. Kedua rambut perempuan itu, jujur kesukaanku: lurus, hitam, lebat, panjang di atas pantat. Saat menyilakkan rambutnya ke belakang, perempuan si kaos merah seakan menceritan tentang tato tulisan di atas dua buah dadanya. Hem. Sementara, yang satu memilih acuh kepadaku. Kaos hijau lumut kehitaman, wajahnya oval besar. Kemudian melintas di depanku, kira-kira berjarak dua puluh cm dariku. Aku menikmati pemandangan pegunungan dari sisi samping yang terbelah oleh tali tas kecokelatan, yang menggantung. Indah.
'Peyek ebinya mana, Mas?" tanya perempuan berkaos hijau dengan wajah utuh di dekatku. Ada raut yang terawat, sangat terawat. Berbeda dengan beberapa perempuan sebelumnya. Seperti ornamen lukisan yang ditata. Direncana untuk memancarkan lukisan yang memesona. Dua perempuan itu, hanya duduk berdua. Di dalam, sementara beberapa sebelumnya di luar. Seperti membuat etalase. Berbeda dengan beberapa perempuan sebelumnya, bersama sekitar tujuh laki laki dengan kesan yang norak. Tetapi tidak, untuk keduanya.
Kabar dan cerita pemilik warung, biasanya mereka disengker oleh ... Karena itu, lebih santun dan elegan. Ceritanya, kedua perempuan itu berasal dari kota yang jauh. Jawa bagian barat. Melihat mereka, aku merasa biasa. Ya, beginilah hidup, begitulah kisah juang. Narasi dan mimpi terpintal dalam lukisan perjalanan yang tidak mesti, tak tentu. Ada doa yang menyelinap tiba-tiba, semoga jalan indah --yang sebenarnya indah-- tersingkap oleh waktu. "Jejak dan langkah hanyalah ketakpastian. Semua belum berakhir, ujung baik masih bisa diukir." Begitulah doaku pada dua perempuan terakhir. Jika ada ujung terindah, semoga bisa bersapa di Surga (itupun jika aku dridaiNya untuk menikmatinya).
***
***
(bersambung.
01.55-03.21
01.55-03.21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar