Cerpen: S. Tedjo Kusumo
Entah, dari mana datang perempuan itu. Gadis misterius dengan selusin keanehan. Matanya seperti pernah kukenal. Suaranya sensasional. Bulu matanya bisa cerita. Hidungnya unik menggelitik. Bibirnya aneh. Belum lagi tahi lalat yang memikat.
Bulan, katanya pada pohon di depan rumah, kutitipkan perasaanku kepadamu. Sebab kaulah yang mungkin sekali setia menunggu rembulan. Aku kagum pada rembulan. Tidak saja, tetapi ... Kalimat perempuan itu terputus, tak usai berkata kepada pohon. Diam.
Aku menemukan perempuan itu berdialog dengan pohon sawo depan rumah, pada suatu malam. Ketika jari rembulan membelai daun-daunnya, sesekali meraba batang dan ranting. Pohon sawo itu pun bergerak-gerak tanpa ada angin. Seperti sedang berdialog menggunakan tubuh. Hem.
Sementara, pohon mangga di sebelahnya cemburu. Merindu suara gadis itu. Jari rembulan hanya hinggap di permukaan saja. Tak sentuh batang dan ranting. Lebat. Menyimpan bayang gelap. Itu betbeda sekali dengan jari rembulan di pohon sawo itu.
Aku sendiri tak aneh melihat gadis itu suka berbicara dengan pohon, benda, dan entah apa lagi. Pernah suatu malam aku temukan ia, dengan bulat mata marah-marah dengan rerumputan lapangan depan rumah. Mulanya, biasa, tapi tiba-tiba menyiramnya dengan seliter bensin, kemudiam menyulutnya dengan korek api sambil teriak, "Maaf, maafkan aku. Aku hanya ingin melihat api darimu sebagai cahaya kuning rembulan." Aku diam menyaksikannya.
Sesekali, perempuan itu memanggil aku dengan bulan. Bulan. Bulan! Bulan? Aku membayangkan jadi rembulan. Dan, itu memang sudah kebiasaanku sejak muda membayangkan jadi rembulan. Bukan karena apa, hanya ingin berbagi sinar palsu, cahaya maya yang kupinjam dari matahari. "Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Jangan panggil aku rembulan!" Protesku kepada gadis itu suatu malam. Tapi dia justru mengeja ulang dengan nada datar, tanya, dan perintah!
***
***
Perempuan itu bermata sembrani. Ada kedut yang menarik-narik serupa kedut magnet. Aku sering temukan perempuan itu bersal unik, gelap, kadang tampak tulisan. Kadang lukisan. Kadang menyerupai ukiran Bali dengan getar gambar tarian erotis. Aku sering menunggu berlama-lama dia menari. Ya, tarian yang sepertinya aku kenal, tetapi sama sekali tak ingat tarian apa.
Sebuah tari persembahan, katanya ketika suatu malam aku tanya. Dia menari biasanya lepas pukul 12.00. Sendiri. Menari sambil berlinang air mata. Seperti sedang bercerita. Seperti meminang bayang-bayang. Sesekali gerak liuk tangan serupa menggendong bayi. Aku menggeleng menontonnya. Dia menari tanpa iringan musik, tapi gerak dan hentakannya berirama. Aku seperti mengenal betul iringan musiknya. Klasik. Trasdisional kadang seperti suara yang menhentak.
Dia menari di lapangan rumput, dimana dia pernah tiba-tiba marah. Membakar. Sambil teriak memanggil rembulan. Setiap purnama tiba, dia menari lebih lama, lebih menggoda. Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, telentang ke langit. Mencari pusar rembulan.
Setelah itu, biasanya dia menangis. Memanggil-manggil sebuah nama, selain rembulan.
Setelah itu, biasanya dia menangis. Memanggil-manggil sebuah nama, selain rembulan.
Aku sering mencuri-curi untuk melihat dia menari. Esok paginya, ketika kutanya dia selalu menolak kalau malamnya menari. Selalu, dia hanya menjawab, "Aku sedang bermimpi rembulan." Aku menggeleng. Darimana perempuan itu begitu mahir menari. Padahal, selama ini dia tak pernah melakukannya, berlatih maksudnya di siang hari. Bahkan, oleh kawan-kawannya dia dikenal sangat membenci musik. Apalagi gemulai perempuan adalah aurat. Aku tak habis pikir, mengapa aku sering menemukannya sedang menari di depan rumah, di lapangan rumput. Lapangan yang pernah kupakai untuk membakar sejumlah buku yang dimakan rayap.
"Apakah pada malam purnama itu kamu menari?"
Aku tanya, gadis itu diam. Dia jawab, dengan sorot mata. Tak berkata.
"Tak bisa menari lho, rembulan."
"Aku melihatmu?"
"Tidak."
Aku tanya, gadis itu diam. Dia jawab, dengan sorot mata. Tak berkata.
"Tak bisa menari lho, rembulan."
"Aku melihatmu?"
"Tidak."
Tarian itu, terus berputar mengusik malam. Terus berulang dalam mimpi. Berulang. Semalam bisa dua tiga kali. Aku menonton tarian suci. Persembahan kepada dewa cinta, katanya.
***
***
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar