Rabu, 03 Oktober 2018

Perempuan yang Menari di Malam Purnama

Cerpen: S. Tedjo Kusumo

Entah, dari mana datang perempuan itu. Gadis misterius dengan selusin keanehan. Matanya seperti pernah kukenal. Suaranya sensasional. Bulu matanya bisa cerita. Hidungnya unik menggelitik. Bibirnya aneh. Belum lagi tahi lalat yang memikat.

Bulan, katanya pada pohon di depan rumah, kutitipkan perasaanku kepadamu. Sebab kaulah yang mungkin sekali setia menunggu rembulan. Aku kagum pada rembulan. Tidak saja, tetapi ... Kalimat perempuan itu terputus, tak usai berkata kepada pohon. Diam.
Aku menemukan perempuan itu berdialog dengan pohon sawo depan rumah, pada suatu malam. Ketika jari rembulan membelai daun-daunnya, sesekali meraba batang dan ranting. Pohon sawo itu pun bergerak-gerak tanpa ada angin. Seperti sedang berdialog menggunakan tubuh. Hem.
Sementara, pohon mangga di sebelahnya cemburu. Merindu suara gadis itu. Jari rembulan hanya hinggap di permukaan saja. Tak sentuh batang dan ranting. Lebat. Menyimpan bayang gelap. Itu betbeda sekali dengan jari rembulan di pohon sawo itu.
Aku sendiri tak aneh melihat gadis itu suka berbicara dengan pohon, benda, dan entah apa lagi. Pernah suatu malam aku temukan ia, dengan bulat mata marah-marah dengan rerumputan lapangan depan rumah. Mulanya, biasa, tapi tiba-tiba menyiramnya dengan seliter bensin, kemudiam menyulutnya dengan korek api sambil teriak, "Maaf, maafkan aku. Aku hanya ingin melihat api darimu sebagai cahaya kuning rembulan." Aku diam menyaksikannya.
Sesekali, perempuan itu memanggil aku dengan bulan. Bulan. Bulan! Bulan? Aku membayangkan jadi rembulan. Dan, itu memang sudah kebiasaanku sejak muda membayangkan jadi rembulan. Bukan karena apa, hanya ingin berbagi sinar palsu, cahaya maya yang kupinjam dari matahari. "Aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Jangan panggil aku rembulan!" Protesku kepada gadis itu suatu malam. Tapi dia justru mengeja ulang dengan nada datar, tanya, dan perintah!
***
Perempuan itu bermata sembrani. Ada kedut yang menarik-narik serupa kedut magnet. Aku sering temukan perempuan itu bersal unik, gelap, kadang tampak tulisan. Kadang lukisan. Kadang menyerupai ukiran Bali dengan getar gambar tarian erotis. Aku sering menunggu berlama-lama dia menari. Ya, tarian yang sepertinya aku kenal, tetapi sama sekali tak ingat tarian apa.
Sebuah tari persembahan, katanya ketika suatu malam aku tanya. Dia menari biasanya lepas pukul 12.00. Sendiri. Menari sambil berlinang air mata. Seperti sedang bercerita. Seperti meminang bayang-bayang. Sesekali gerak liuk tangan serupa menggendong bayi. Aku menggeleng menontonnya. Dia menari tanpa iringan musik, tapi gerak dan hentakannya berirama. Aku seperti mengenal betul iringan musiknya. Klasik. Trasdisional kadang seperti suara yang menhentak.
Dia menari di lapangan rumput, dimana dia pernah tiba-tiba marah. Membakar. Sambil teriak memanggil rembulan. Setiap purnama tiba, dia menari lebih lama, lebih menggoda. Setelah itu dia merebahkan tubuhnya, telentang ke langit. Mencari pusar rembulan.
Setelah itu, biasanya dia menangis. Memanggil-manggil sebuah nama, selain rembulan.
Aku sering mencuri-curi untuk melihat dia menari. Esok paginya, ketika kutanya dia selalu menolak kalau malamnya menari. Selalu, dia hanya menjawab, "Aku sedang bermimpi rembulan." Aku menggeleng. Darimana perempuan itu begitu mahir menari. Padahal, selama ini dia tak pernah melakukannya, berlatih maksudnya di siang hari. Bahkan, oleh kawan-kawannya dia dikenal sangat membenci musik. Apalagi gemulai perempuan adalah aurat. Aku tak habis pikir, mengapa aku sering menemukannya sedang menari di depan rumah, di lapangan rumput. Lapangan yang pernah kupakai untuk membakar sejumlah buku yang dimakan rayap.
"Apakah pada malam purnama itu kamu menari?"
Aku tanya, gadis itu diam. Dia jawab, dengan sorot mata. Tak berkata.
"Tak bisa menari lho, rembulan."
"Aku melihatmu?"
"Tidak."
Tarian itu, terus berputar mengusik malam. Terus berulang dalam mimpi. Berulang. Semalam bisa dua tiga kali. Aku menonton tarian suci. Persembahan kepada dewa cinta, katanya.
***
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

Afifah W. Zhafira Afifah Wahda Tyas Pramudita Andry Deblenk Anugerah Ronggowarsito Apresiasi Prosa (Mencari Nilai. Memahami Fiksi) Apresiasi Puisi (Memahami Isi Mengolah Hati) Berita Budaya Cara Mudah PTK (Mencari Akar Sukses Belajar) Catatan Cerpen Cover Buku Djoko Saryono Esai Filsafat Ilmu Gatra Gerakan Literasi Nasional Gufron Ali Ibrahim Happy Susanto Inspiring Writer (Rahasia Sukses Para Penulis Inspirasi untuk Calon Penulis) Jurnalistik 2 (Kiat Menulis Resensi. Feature dan Komoditas Lainnya) Jurnalistik Plus 1 (Kiat Merentas Media dengan Ceria) Kajian Prosa (Kiat Menyisir Dunia Prosa) Kajian Puisi (Teori dan Aplikasinya) Karya Darma Kasnadi Kliping Kompas Literasi Literasi Budaya Majalah Dinamika PGRI Makam Sunan Drajat Masuki M. Astro Memasak Menemukan Profesi dengan Mahir Berbahasa Menulis Kreatif (Kiat Cepat Menulis Puisi dan Cerpen) Merdeka Mesin Ketik Metafora Kemahiran Menulis Nur Wachid Nurel Javissyarqi Obrolan Orasi Ilmiah Ponorogo Pos Prof Dr Soediro Satoto Puisi Radar Madiun Resensi S. Tedjo Kusumo SMA 1 Badegan Ponorogo STKIP PGRI Ponorogo Sajak Sapta Arif Nurwahyudin Sekolah Literasi Gratis Senarai Motivasi Senarai Pemikiran Sutejo (Menyisir Untaian Kata. Menemukan Dawai Makna) Seputar Ponorogo Sidik Sunaryo Soediro Satoto Solopos Sosiologi Sastra (Menguak Dimensionalitas Sosial dalam Sastra) Spectrum Center Stilistika (Teori. Aplikasi dan Alternatif Pembelajarannya) Suara Karya Sugiyanto Sujarwoko Sumarlam SuperCamp HMP 2017 Surabaya Post Surya Sutejo Suwardi Endraswara Swadesi Teknik Kreativitas Pembelajaran Tengsoe Tjahjono Tri Andhi S Wisata Workshop Entrepreneurship Workshop Essay Budaya

Sutejo, Sang Motivator

Maman S Mahayana, Sutejo, Kasnadi di Jakarta

Sutejo & Hamsad Rangkuti di Jakarta

Sutejo dan Danarto di Jakarta

Maman S Mahayana di STKIP PGRI Ponorogo